Zona Gempa Megathrust di Simeulue, Potensi Kekuatan Hingga 8,7 Magnitudo

Zona Gempa Megathrust di Simeulue, Potensi Kekuatan Hingga 8,7 Magnitudo
Ilustrasi Pixabay

Jakarta – Hasil monitoring aktivitas gempa bumi yang dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) selama 2019 menunjukkan, aktivitas gempa bumi di zona Nias-Simeulue terus meningkat hingga terjadi gempa kuat magnitudo 6,1 pada Selasa (7/1/2020) lalu.

Kepala bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, seperti dilansir Tirto, mengatakan, hingga Rabu (8/1/2020) pukul 09.00 WIB, tercatat telah terjadi gempa susulan sebanyak 15 kali Simeulue.

“Adapun magnitudo gempa susulan yang terbesar mencapai 4,2 dan yang terkecil 2,6,” kata dia, Rabu lalu.

Penting untuk diketahui, lanjut dia, gempa bumi itu ternyata berasal dari segmen megathrust. Segmen Nias-Simeulue ini aktif dan diyakini memiliki potensi energi yang bisa terlepas hingga 8,7 dalam skala Magnitudo.

“Potensi untuk terjadi gempa kuat memang sangat besar di wilayah ini, dan telah terjadi beberapa kali,” katanya.

Salah satu yang terbesar terjadi pada 1907 silam, dimana gempa bermagnitudo 7,6 di Simeulue memicu tsunami dan menelan korban meninggal lebih dari 400 orang.

Sementara itu, melansir Tempo, gempa kuat lainnya dari segmen yang sama terjadi pada 2 November 2002, dengan magnitudo 7,2 dan mengakibatkan puluhan orang luka-luka. Kemudian berlanjut pada gempa berkekuatan magnitudo 7,3, terjadi Februari 2008 yang menimbulkan kerusakan dan empat korban jiwa meninggal.

Sementara episentrum gempa pada 7 Januari 2010 berada di lokasi yang hampir sama dengan gempa pada 1907. Gempa dan tsunami lebih dari seabad lalu itu yang melahirkan istilah lokal ‘smong’ dan kini menjadi kearifan lokal.

“Termasuk menyelamatkan masyarakat Simeulue dari tsunami 2004 lalu,” kata Daryono. Informasi terkait gempa dan tsunami, sambungnya, harus direspon dengan langkah nyata. Salah satunya dengan memperkuat upaya mitigasi bencana. Dengan meminimalkan dampak, sehingga masyarakat tetap dapat hidup dengan selamat, aman dan nyaman meskipun di daerah rawan bencana.

“Tetapi yang paling penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakat. Selain itu, bagaimana menyiapkan infrastruktur menghadapi gempa dan tsunami,” tutup dia.

Sumber: Tirto, Tempo

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait