Oleh Ramli Cibro
^Magister Pemikiran Agama Islam, UIN Ar-Raniry, mantan Santri Dayah Darul Hasanah Singkil.
Minat berumrah masyarakat Aceh belakangan ini cukup tinggi. Ini patut disukuri sebagai bagian dari meningkatnya rasa kesadaran beragama umat Islam, khususnya di Aceh. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa hati manusia tidak dapat lepas dari nuansa-nuansa spiritual, kesyahduan beragama, kekhusyuan dan keintiman dengan sang Ilahi. Sudah menjadi fitrah bahwa di situasi kehidupan yang sulit, manusia membutuhkan medium yang dapat melepaskan dahaga spiritual.
Fenomena umroh jika ditelusuri memiliki hubungan erat dengan masifnya geliat keislaman yang ditampilkan oleh media-media, para artis, ustadz-ustadz selebritis dan tokoh-tokoh politik. Umrah yang semula tidak begitu diminati telah berubah menjadi trend, incaran dan mode, khususnya bagi masyarakat muslim kota.
Umrah, dalam identitasnya sebagai ritual juga mengandung indikator-indikator kemewahan yang mengantarkan pelakunya pada prestis dan gengsi sosial yang tinggi. Dengan umrah, seorang dapat merasakan naik pesawat, tidur di hotel, memperoleh pelayanan VIP, plesiran keluar negeri, dan belanja produk-produk internasional. Dalam beberapa situsi, penyelenggara umrah bahkan dapat menghadirkan tausiyah ustadz-ustadz selebriti sebagai pelengkapnya.
Walaupun ada opsi umrah backpacker yang katanya lebih murah, namun pilihan tersebut tentunya kurang diminati. Karena, selain membutuhkan tenaga yang kuat sehingga hanya cocok dilakukan oleh orang-orang muda, juga karena faktor kenyamanan dan resiko perjalanan yang lebih besar dibandingkan dengan umrah reguler atau umrah VIP. Bagi masyarakat yang menginginkan “kenyamanan” dalam berumrah, opsi backpacker tentu kurang menarik. Apalagi bagi mereka yang menjadikan umrah sebagai trend, tentu opsi backpacker sepertinya terlihat kurang bergensi.
Jika kita membaca perubahan tersebut dari prespektif sosiologi agama, akan ada setidaknya tiga peralihan sosiologis, yang dapat dipetakan. Pertama, perubahan dari perkampungan tradisionalisme ke urban-revivalisme. Masyarakat Aceh pada umumnya adalah masyarakat tradisional, di mana tradisi ziarah dan wali begitu melekat dan erat. Di Aceh sendiri kita temukan makam-makam ulama yang terus menerus diziarahi. Tradisi ziarah dan wali sarat akan muatan kekeluargaan dan tradisional, di mana masyarakat akan mendatangi makam wali secara berkelompok dengan keluarganya untuk mengambil berkah dan bertawasul kepadanya.
Fenomena ini rupanya mulai bergeser seiring dengan perkembangan keilmuan agama, yang lebih didominasi oleh nuansa urban-revival masyarakat kota. Artinya, bahwa pola keberagamaan yang ditampilkan dan disuguhkan oleh media adalah pola keagamaan masyarakat kota yang di satu sisi terkenal dengan sikapnya yang rasional dan di sisi lain kesibukan membawa mereka pada hasrat keagamaan yang kuat.
Gabungan sikap rasional dan kesadaran keagamaan tersebut membawa kepada keinginan untuk menjalankan agama dengan ketat, sekaligus melakukan pemurnian dari praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak rasional. Pola ini kemudian menjalar ke kampung-kampung. Pelan tapi pasti, paradigma dan pola fikir mereka dipengaruhi oleh masyarakat kota. Sehingga, dapat kita saksikan begitu banyak masyarakat kampung yang mengikuti pola keagamaan kota yang rasional, simbolis dan individualistik. Sebagian dari mereka bahkan mengganti tradisi menziarahi makam wali, kepada umrah karena dinilai lebih mendekati tradisi nabi dan kaum salaf daripada ziarah wali yang lemah dalil teologinya.
Kedua, pergeseran dari pola tradisonalis-sosialis menuju modernis-kapitalis. Artinya, nuansa spiritualitas yang lebih cenderung pada pola-pola tradisional dan ikatan sosial yang tinggi berubah menjadi pola-pola keagamaan yang modern dan rendah ikatan sosialnya. Salah satu perbedaan yang mencolok dari ziarah dan umrah adalah ikatan kekeluargaan yang tinggi dapat ditemukan ketika masyarakat melaksanakan ziarah. Kita akan menemukan para penziarah yang membawa serta keluarga dan sanak famili. Para penziarah akan melakukan doa bersama yang dipimpin oleh imam dan berbagi bekal yang dibawa untuk bersantap bersama-sama. Pola-pola seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada tradisi umrah.
Lebih jauh lagi, fenomena umrah hari ini sangat kental disusupi oleh narasi bisnis. Kita dapat melihat dari berbagai promo dan iklan yang beredar di berbagai media. Menyertakan selebritis atau tokoh ulama untuk memancing minat serta perang harga jelas terpampang di depan mata. Bukan tidak mungkin, fenomena umrah telah berubah menjadi satu pusaran bisnis yang besar, mulai dari promo, kampanye hingga penipuan-penipuan adalah indikator betapa umrah telah menjadi sasaran bisnis dan kapitalisme yang menggila.
Ketiga, pergeseran dari gaya hidup produktif kepada gaya hidup konsumtif. Masyarakat Aceh di perkampungan dikenal sebagai masyarakat yang produktif dan hemat. Mereka biasanya bekerja cukup keras untuk mengumpulkan harta dalam bentuk investasi seperti emas, sawah dan binatang ternak. Harga diri dan gengsi masyarakat Aceh perkampungan biasanya diukur dari seberapa luas tanah yang ia miliki dan seberapa banyak ternak yang mampu ia pelihara. Masyarakat perkampungan tidak akan mudah mengeluarkan uang untuk hal-hal yang mubazir atau untuk perkara-perkara yang dinilai berlebihan.
Namun, seiring pergeseran pola fikir, maka masyarakat kampung mulai dicekcoki oleh kemewahan dan prestisius-spiritual umrah. Biasanya jika dahulu masyarakat kampung hanya berumrah satu atau dua kali seumur hidup, hari ini mereka ingin berumrah satu atau dua kali setiap tahun. Jika dahulu masyarakat kampung menganggap banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan, namun hari ini mereka tidak lagi ragu menghabiskan belasan hingga puluhan juta rupiah setiap tahun, demi dapat merasakan kemewahan dan spiritualitas dari umrah. Bahkan mirisnya, sebagian dari mereka memilih untuk berhutang demi memuaskan hasrat mode berbalut spiritualitas dari ibadah umrah.
Padahal, di era yang paceklik ini, sebaiknya masyarakat disadarkan untuk berhemat dan cerdas dalam mengelola keuangan. Tradisi bekerja keras dan mengumpulkan uang di masa lalu harus dipertahankan. Ulama juga harus jujur menjelaskan gagasan keagamaan yang realistis dan memaknai keberagamaan dalam piramida skala prioritas. Masyarakat harus diajarkan untuk mengenal mana ibadah yang harus didahulukan dan mana ibadah yang dapat ditunda. Masyarakat harus diarahkan untuk berprilaku produktif daripada menghabiskan uang dan modal untuk kepentingan prestisius berkedok ibadah.
Akhirnya, tulisan ini tidak hendak menggugat umrah karena ia adalah ibadah yang merupakan bagian dari agama. Namun di sini ingin dijelaskan bahwa narasi umrah hari ini telah menjadi semacam trend urban yang membawa implikasi-implikasi negatif di dalamnya. Sikap indifidualistik, sikap berlebih-lebihan, prilaku boros, perang harga hingga aksi tipu-tipu telah menyelimuti dunia umrah kita.
Masyarakat harus lebih realisitis bahwa masih banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan. Masih banyak tetangga kita, saudara kita yang hidup dalam garis kemiskinan. Bahkan situasi dan keadaan negeri yang genting sejatinya menjadi pengingat bahwa kita perlu mempersiapkan bekal untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga yang mungkin akan terjadi di masa depan.[]
Belum ada komentar