PM, Banda Aceh – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), mengajukan permohonan menjadi pihak terkait dalam perkara judicial review UU Pemilu terhadap Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh Tgk. H. Muharuddin, S.Sos.I dan Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Kautsar dan Samsul Bahri.
Permohonan menjadi pihak terkait dilayangkan oleh YARA kepada Mahkamah Konsitusi (MK), pada Senin (11/9) kemarin, oleh Ketua YARA Aceh, Safaruddin, SH.
Sebelumnya, DPRA, Kautsar dan Samsul Bahri mengajukan Judicial Review terhadap pasal 571 ayat (4) UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi : Pasal 57 dan Pasal 6O ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Baca : Kisruh Pencabutan Pasal UUPA, Tiyong dan Kautsar Resmi Menggugat ke MK
“Alasan kami ingin menjadi pihak terkait adalah untuk mempertahankan pasal 571 ayat (4) UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” ujar safaruddin.SH, kemarin.
Kata Safaruddin, dalam pandangan pihaknya keberadaan pasal tersebut justru menguntungkan Negara dan daerah, khususnya Provinsi Aceh dalam masalah penganggaran. Seperti pencabutan pasal 57 (1) UUPA disebutkan kalau anggota KIP 7 (tujuh) orang, maka dalam UU Pemilu hanya 5 (lima) orang.
“Jika di Kabupaten Kota selama ini lima orang, nantinya akan menjadi menjadi tiga orang komisioner saja sebagaimana dalam pasal 10 ayat (1) huruf a,b,c dan d (hanya Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie yang masih lima orang),” ujarnya.
“Ketentuan ini berlaku serempak di seluruh Indonesia dan ini akan menghemat anggaran Pilkada, justru dengan banyaknya komisioner akan menghabiskan banyak anggaran dan banyak masalah nantinya, dalam hitungan kasar kami saja dengan berlakunya pasal tersebut negara telah menghemat uang puluhan milyar dari gaji saja, belum lagi dana oprasional, tunjangan dan biaya lainnya lagi yang diberikan sebagai fasilitas dari Negara,” tambahnya.
Jika anggaran tersebut dialokasikan untuk pembangunan, sambung Safaruddin, tentu akan sangat bermanfaat bagi rakyat dan Negara. “Lagipun komposisi komisioner yang diatur dalam UU Pemilu sama di seluruh Indonesia, dan tidak akan menganggu proses kerja KPU/KIP di Aceh dalam melaksanakan penyelenggaran Pemilu maupun Pilkada,” tegasnya.
Kata dia, Mahkamah Komstitusi telah menegaskan bahwa keistimewaan Aceh merujuk pada Pasal 3 UU No 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Aceh yang meliputi: Penyelenggaraan Kehidupan Beragama, Penyelenggaan kehidupan Adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Penegasan ini juga terdapat dalam Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 30 Desember 2010, putusan No 31/PHP.GUP-XV/2017, Putusan Nomor 83/PUU-XIV/2016 dan Putusan Nomor 17/PHP.BUP-XV/2017.
“Jika membaca putusan MK tersebut, maka kewenangan istimewa tersebut adalah sepanjang di atur dalam pasal 3 UU No 44 tahun 1999, di luar itu tidak menjadi hak Aceh sebagai Provinsi dengan Otonomi Khusus. Terkait dengan permohonan a quo tidak ada kerugian konstitusional kedunya,” sambungnya.
Untuk itu, Farauddin meminta Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, agar berkenan memberikan kesempatan kepada YARA untuk menjadi pihak terkait dalam perkara a quo.()
Belum ada komentar