Dilabeli sebagai destinasi wisata nasional membuat Pemko Sabang jumawa. Qanun pariwisata yang sejatinya dapat mengatur ketetapan tarif belum juga berhasil dibentuk.
Sabang ditetapkan sebagai destinasi wisata nasional pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2014. Namun hingga kini, realita di lapangan dinilai tidak menggambarkan Pulau Weh sebagaimana label tersebut.
Hal itu diakui Heri Tarmizi misalnya. Ia sudah dua kali mendapat kekecewaan dalam dua kali kesempatannya mengunjungi Sabang. Ia yang terakhir kali ke Sabang pada minggu kedua Mei lalu, tidak senang dengan pelayanan di Sabang, mulai dari Pelabuhan Ulee Lheu sebagai pintu masuk Sabang juga di Pelabuhan Balohan yang menurutnya banyak permainan calo.
“Di Ulee Lheu penumpang terlalu lama menunggu untuk penyeberangan dan juga tidak tertib saat masuk ke kapal, serta adanya permainan calo tiket yang selalu menganggu rutinitas perjalanan ke Sabang,” ujar pria asal Bireun itu kepada Pikiran Merdeka, pekan lalu.
Penumpukan penumpang misalnya kerap terjadi dalam April dan Mei terakhir, disebabkan libur nasional yang berkepanjangan. Kurangnya armada penyeberangan membuat penumpang harus antri untuk naik kapal.
“Seharusnya penumpang harus antrian, namun karena ada permainan calo, penumpang tanpa antrian lansung bisa naik kapal beserta dengan kedaraanya dengan mudah,” sebut Heri.
Menurut fotografer itu, ketidakstabilan harga di Pulau Weh juga kerap ditemukan di selain transportasi, yaitu penginapan dan warung makan. Jika pengunjung tidak bertanya di awal, katanya, harga makanan bisa bisa dipatok tarif sangat tinggi.
“Namun karena viewnya bagus, orang tetap akan pergi ke Sabang tanpa menggubris permasalahan pelayanan tersebut,” ungkapnya.
Ia berharap Pemerintah Kota Sabang agar membenahi jalur transportasi karena itu kunci ke Sabang, dimulai dari pelabuhan Ulee Lheu yang kurang tertib dan banyaknya calo yang bermain, juga sebaliknya di Pelabuhan Balohan Sabang.
“Untuk ASDP sendiri juga perlu ada pembenahan, jangan setiap ada event besar selalu kapal ferynya docking. Artinya kalau memang itu untuk alasan safety, kenapa tidak jauh-jauh hari persiapan docking atau mencarikan kapal penganti,” tuturnya.
Sementara itu, pelaku usaha pariwisata di Sabang selama ini sudah menjalankan sebuah stadar operanasinal sebagaimana tercantum dalam Destinasion Management Organization (DMO) yang dibentuk pada 2015.
“DMO ini mengatur dan menstabilkan harga, baik itu dari hotel, travel dan juga penginapan,” kata Irwan Mahdi, seorang pengusaha travel di Sabang.
Menurutnya, selama ini memang banyak kendala bagi pelaku usaha jasa travel, khususnya terkait perlindungan pelaku usaha dan konsumen. Hal ini disebabkan belum adanya aturan resmi dari Pemko Sabang yang mengatur standardisasi pengelolaan pariwisata di Sabang.
Baru-baru ini misalnya, kata dia, beredar di Grup Facebook Anak Sabang soal kasus kenaikan tarif rumah makan yang sangat drastis. Wisatawan dikejutkan dengan bill (faktur) harga yang sangat fantastis oleh warung makan, yang di luar ekspektasi wisatawan tersebut.
“Disinilah perlunya sebuah aturan yang harus diatur agar komsumen tidak merasa dirugikan. Kejadian seperti ini sebenarnya banyak, cuma baru kali ini heboh di grup Facebook Anak Sabang,” ujar pria kelahiran 1980 ini.
Lanjutnya, wisatawan terkadang berekpetasi akan mendapatkan harga murah jika makan di warung di gampong. Tapi sebenarnya mahal, sehingga usai makan dan saat ditanyakan harga, wisatawan baru sadar mahalnya harga makanan tersebut.
“Sebenarnya Kota Sabang belum siap dengan wisata massal, karena banyak fasilitas yang belum memadai, seperti penginapan, rumah makan dan juga fasilitas pendukung wisata lainnya,” kata Master Pariwisata Flinders University, Australia itu.
Ia sendiri mengakui saat ini masih bisa mengakali permasalahan standardisasi tarif barang dan jasa di Sabang jika ada pengunjung yang mengambil paket travelnya.
“Namun sayangnya bagi wisatawan yang tidak menagambil paket travel. Mereka harus kesana-kemari, jika berkunjung ke Sabang saat libur panjang. Tidak jarang kebutuhan kamar tidak terpenuhi karena banyak sekali permintaan, sehingga rumah kosong pun dapat dihargai dua juta rupiah,” ujarnya.
Ketika besarnya permintaan pasar sementara barang (jasa) tidak ada, sebut Irwan, akan berlaku hukum suplay and demand di mana adanya pemasangan tarif yang tinggi, sehingga wisatawan terpaksa menyewa kamar dengan harga melonjak namun fasilitasnya tidak sesuai tarifnya.
Belum ada komentar