Sebulan setelah cuti kampanye pada 11 Februari 2017, Gubernur Aceh Zaini Abdullah kembali melakukan gebrakan. Ia melantik 33 pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Aceh.
Perombakan pejabat itu tidak berselang lama setelah dilakukan Mayjend (Purn) Soedarmo yang menjadi Plt Gubernur Aceh (28 Oktober 2016-11 Januari 2017). Pada 25 Januari 2017, lulusan Akmil Tahun 1983 ini melantik 62 pejabat eselon II untuk mengisi Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) Pemerintah Aceh yang baru, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Soedarmo yang juga menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri ini menegaskan, proses mutasi pejabat tidak boleh melanggar aturan.
Berikut petikan wawancara Pikiran Merdeka dengan Mayjen (Purn) Soedarmo, Sabtu (11/3) terkait mutasi pejabat eselon II yang dilakukan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Apakah mutasi yang dilakukan Gubernur Aceh sudah dilaporkan ke Mendagri?
Belum ada, tapi saya sudah dengar. Laporan resmi belum ada.
Dari sisi aturannya, apakah dibolehkan?
Nggak boleh. Kalau belum ada persetujuan Mendagri, itu tidak boleh. Pasti akan dibatalalkan. Pasti itu, pasti!
Bisa disebutkan dasar aturan yang membuat kebijakan mutasi ini dinilai salah?
Kalau tidak sesuai dengan aturan yang ada, seperti UU No.10/2016 dan Surat Edaran Menpan-RB, pasti dibatalkan. Semua sudah ada aturannya, termasuk di Aceh yang menggunakan Qanun Nomor 13 Tahun 2016. Itu semua kan sudah mengakomodir UU No.10/2016.
Baca Juga : Mutasi Ambisi Penghujung Jabatan
Itu tidak boleh dilakukan jika belum izin Mendagri. Karena kan dia (Zaini Abdullah) waktunya tinggal tiga bulan, nggak bisa itu.
Apakah ada sanksi atas tindakan Gubernur Zaini?
Ya, nanti kita lihat sejauh mana pelanggaran itu. Jika pejabat itu melanggar perundang-undangan, ada sanksinyalah. Kan percuma undang-undag dibuat kalau tidak ada sanksi atas pelanggaran.
Sebagai mantan Plt Gubernur Aceh, bagaimana tanggapan Anda terkait mutasi ini?
Tapi tidak bisa seenaknya begitulah (mutasi). Jadi pejabat itu harus baik, harus bijaklah. Saya yakin pasti buat pengaduan orang-orangnya.
Seharusnya Gubernur (Zaini) harus baiklah, harus bijak. Waktu tinggal sebentar lagi. Gunakan waktu untuk berkomunikasi dengan baik dengan kepala SKPA-SKPA yang ada. Bukan mengaduk-ngaduk kaya begitu. Itu kan tindakan tidak benar, tidak membuat suasana kondusif dalam pemerintahan. Tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Apa yang sebenarnya harus dilakukan Gubernur Zaini Abdullah di sisa masa pemerintahan yang tiga bulan lagi?
Sekarang waktunya untuk melanjutkan program-program yang sudah saya buat. SKPA harus segera melakukan lelang. Supaya tidak terlambat, bukan lagi melakukan pergantian personil seperti itu. Jangan lakukan (mutasi) itu karena untuk kepentingan. Itu juga untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan Aceh.
Sekarang sudah bulan Maret, lelang saja belum. Pada saat itu saya mati-matian memperjuangkan APBA segera diparipurnakan. Maksud saya, dengan mempercepat paripurna APBA maka bisa segera direalisasikan. Kita harapkan, pada akhir tahun tak ada pekerjaan yang terlambat. Sampai sekarang belum dilaksanakan (dilelang) itu. Di saat mau lelang, malah orangnya diganti.
Pejabat yang saya lantik itu orang-orang yang profesional dan bukan main-main. Saya tidak ada kepentingan dengan orang-orang yang diangkat kemarin. Saya memprioritaskan orang-orang yang profesional untuk duduk di setiap SKPA. Apalagi sekarang ini ambil orang-orang daerah. Nggak akan lebih baik orang-orang yang diangkat sekarang dengan yang saya lantik kemarin. Tak akan lebih bagus, karena mereka banyak masalah kok.
Ada salah satu kepala SKPA yang kembali diangkat menjadi kepala SKPA di instansi yang lain. Dulu kita geser ke tempat lain karena dia punya persoalan di SKPA yang lama.
Siapa yang Anda maksud?
Adalah, saya tidak sebut nama. Pokoknya ada kepala SKPA yang bermasalah, lalu kita geser. Dan, itu mendapat apresiasi yang cukup baik dari seluruh anggota DPRA karena memindahkan dia ke tempat lain.
Sekarang malah dikembalikan lagi jadi kepala SKPA. Itu kan hanya untuk kepentingan sesaat yang diutamakan, bukan untuk kepentingan membangun Aceh.[]
Belum ada komentar