Warisan Sejarah untuk Anak Cucu

Warisan Sejarah untuk Anak Cucu
Warisan Sejarah untuk Anak Cucu

Generasi masa depan Aceh tak dapat lagi menyaksikan peninggalan sejarah di daerah mereka. Bangunan bersejarah malah dibongkar oleh pejabat setingkat wali kota.

 

NYARIS tak ada yang menyangka jika bangunan di ujung Jalan Diponegoro, Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh itu salah satu peninggalan bersejarah di Aceh. Sepintas, swalayan bernama Atjeh Collection yang bersebelahan dengan Perum Percetakan Negara RI Banda Aceh ini terlihat seperti kedai biasa yang menjual aneka barang dan souvenir.

Padahal, bangunan ini sebelumnya merupakan Gedung Percetakan Aceh (Atjeh Drukkerij) milik Belanda. Di gedung inilah sejarah pertama Pemerintah Darurat RI 1945-1949 mencetak uang negara yang bernama Oeang Repoeblik Indonesia atau ORI setelah kemerdekaan.

Sastrawan Aceh Hasyim KS menyebutkan bangunan tersebut sempat diambil alih dari Belanda dan dijadikan sebagai Percetakan Negara RI sampai 1960-an. Namun, setelah itu diubah menjadi market mini Metro. Selanjutnya diganti lagi menjadi swalayan Atjeh Collection.

Pemerhati sejarah Aceh Harun Keuchik Leumik mengatakan Gedung Percetakan Aceh merupakan bangunan bernilai sejarah sangat tinggi. “Di situ dicetak uang, kemudian cetak surat kabar. Saya waktu tahun 1970-an sering pergi ke sana karena saya membantu surat kabar Mimbar Swadaya. Jadi kita patut sesalkan itu tidak dipugar, tetapi dibiarkan untuk dagang ini itu, sehingga di depannya itu sudah diubah total,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.

Seharusnya, kata Harun, bangunan itu dijadikan museum percetakan. “Jadi mesin-mesin cetak yang lama itu bisa ditaruh di sana, kemudian uang-uang, dokumen-dokumen, dan koran-koran awal 1900-an yang dicetak dulu bisa dipajang di situ. Namun tak ada yang peduli,” keluhnya.

Ketidakpedulian itu, kata dia, nantinya akan menyebabkan generasi masa depan Aceh tak dapat lagi menyaksikan peninggalan sejarah di daerah mereka. “Jadi mereka nanti tidak bisa memberikan penghargaan kepada nenek moyang mereka,” tuturnya.

Contoh lain, kata Harun, pembongkaran rumah orientalis Belanda Snouck Hurgronje di dekat bekas penjara Keudah. Rumah itu dibongkar Wali Kota Banda Aceh saat itu, Said Hussain Al-Haj. Said menjabat wali kota sejak 1993 hingga 1998. “Seharusnya dipugar dan dijadikan sebagai perpustakaan. Snouck juga banyak mengarang buku Aceh,” ujarnya.

Harun menyebutkan, bentuk sebuah bangunan lama memiliki nilai seni, arsitektur dan sejarah yang tinggi. Menurutnya, pembongkaran tak perlu dilakukan karena bisa menghilangkan bentuk asli bangunan.

Ia mencontohkan juga Hotel Aceh yang berada di jalan menuju Taman Sari. Hotel itu kini lenyap tanpa bekas. Padahal, hotel ini memiliki sejarah sangat tinggi karena berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan RI di Aceh. “Rakyat Aceh menyerahkan emas kepada Presiden Soekarno itu untuk membeli pesawat terbang dalam rangka berjuang melawan penjajahan Belanda. Itu punya nilai sejarah paling tinggi,” katanya.

Mencatat Bukti Sejarah
Perubahan-perubahan ikon-ikon kota itu tak luput dari catatan Harun. Ia menuliskannya dalam buku Potret Sejarah Banda Aceh. Buku ini berisi foto dan teks yang memperlihatkan perbandingan perubahan bangunan bersejarah di masa lalu dan kini di Banda Aceh.

Seperti Gedung Percetakan Aceh (Atjeh Drukkerij). Dari dua foto dari tahun yang berbeda terlihat bagaimana perubahan arsitektur gedung tersebut. Kondisinya yang tak terawat serta perubahan ornamen yang dinilai tak perlu dipermasalahkan Harun. “Sayangnya, gedung ini bukan dipugar menurut aslinya, tapi malah ditambah dinding triplek di teras depannya sehingga bentuknya sekarang bagai sebuah bangsal,” tulis Harun di buku tersebut.

Kemudian, bangunan Hotel Aceh yang terletak di seberang jalan sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hotel ini menjadi saksi Presiden Soekarno yang meminta rakyat Aceh menyumbangkan pesawat terbang Seulawah 01 dan Seulawah 02 ini.

Sekitar tahun 2002, bangunan Hotel Aceh yang saat itu sudah tak terurus lagi akhirnya dibongkar dan tinggal bagian depannya saja. Saat itu, salah seorang investor menawarkan untuk membangun kembali hotel ini menjadi hotel berbintang lima.

Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda pembangunan kembali hotel ini setelah dilakukan pemancangan pondasi bangunan hotel yang sekarang tampak dicat berwarna-warni.
Harun juga mengapresiasi langkah beberapa pihak yang masih tetap menjaga dan merawat bangunan-bangunan bersejarah itu. Salah satunya, bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kawasan Neusu, Banda Aceh. Kini bangunan tersebut sudah beralih fungsi menjadi kompleks rumah dinas tentara Kodam Iskandar Muda. “Kalau bangunan kantor dan rumah di situ masih tetap dijaga dan dilestarikan. Kan itu bangunannya masih bangunan model Belanda dulu.”

Harun menegaskan, tak ada kata terlambat untuk menyelamatkan bangunan bersejarah yang masih tersisa saat ini di Banda Aceh. Ia berharap bangunan seperti itu tidak dibongkar lagi oleh Pemko Banda Aceh, namun harus dipertahankan.

Harun sendiri tak mempermasalahkan ruko yang kini didirikan secara masif di Banda Aceh. Ia hanya menyayangkan jika bangunan bersejarah dibongkar dan dijadikan ruko. Bangun toko di tempat-tempat yang belum ada bangunan lama.”

Bukti Sejarah
Hal senada disampaikan sejarawan Aceh, Rusdi Sufi. Menurut Sufi, bangunan yang masih tersisa saat ini harus dipertahankan sehingga tak bernasib sama dengan bangunan-bangunan lain yang sudah punah. Tujuannya, kata Rusdi, agar generasi masa depan Aceh bisa melihat langsung bukti sejarah tersebut. “Jadi, anak-anak akan tergugah. Kita menerapkan nilai-nilai dan pendidikan sejarah bagi mereka ke depan. Ini penting bagi mereka agar bisa belajar dari masa lalu nenek moyang,” katanya.

Rusdi menambahkan, kita memang tidak bisa menghentikan laju perkembangan zaman karena budaya itu bersifat dinamis. Proyek pembangunan yang ada juga terus berlanjut. “Tapi perlu juga dipikirkan warisan-warisan lama yang bernilai sejarah di Aceh. Jangan bangunan bersejarah itu yang dibongkar, tapi buat pembangunannya di tempat lain,” harapnya.

Harun juga memiliki pandangan yang sama. Ia tak mempersoalkan modernisasi yang terjadi saat ini di Banda Aceh, terutama dalam sektor pembangunan. Hal-hal yang modern itu perlu, tegas Harun, namun dengan tetap menghargai warisan sejarah yang ada. “Di mana-mana itu, kalau turis itu tak perlu melihat hal-hal modern lagi. Di negerinya sendiri sudah modern kok. Jadi dia mau nikmati apa yang tidak ada di negeri mereka. Misalnya sekarang banyak turis Malaysia datang kemari karena ada hubungan sejarah dengan mereka.”[]Sammy Khalifa

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait