PM, Banda Aceh – Bencana alam setiap tahun terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, ada 14 kabupaten/kota yang sering dilanda banjir dan 3 wilayah lainnya seperti Aceh Besar, Bener Meriah dan Aceh Tenggara mengalami longsor parah.
Adapun 14 kabupaten/kota yang jadi langganan banjir setiap tahun, di antaranya Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Singkil, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang dan Bener Meriah.
“Banjir selama ini akibat meluapnya air sungai ketika musim hujan, begitu juga dengan longsor serta banjir bandang, ini menjadi bukti bahwa provinsi Aceh merupakan daerah rawan bencana alam,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur, Kamis (22/11).
Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan bencana alam kerap terjadi di Aceh. Pertama, akibat kebijakan pemerintah sendiri, dan yang kedua, bencana memang terjadi secara alamiah. Karena itu, setiap kebijakan pembangunan seharusnya benar-benar mempertimbangkan dampak lingkungan.
Namun pihaknya menyayangkan, apa yang dilakukan pemerintah hari ini justru bertolak belakang.
“Bagaimana mungkin pemerintah memaksakan diri mengizinkan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung, dan berbagai izin proyek energi yang mengubah fungsi hutan dan lahan di berbagai wilayah Aceh. Pemerintah juga membiarkan berbagai praktek perusakan secara ilegal,” tuturnya.
Ditinjau baik secara geografis, geologi, hidrologis, maupun demografis, M Nur menjelaskan, wilayah Aceh memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap terjadinya bencana. Kondisi alam yang kompleks telah menjadikan Aceh sebagai salah satu provinsi dengan indeks risiko bencana tertinggi di Indonesia.
“Maka harus ada sinergi menciptakan berbagai pembangunan dengan fungsi ruang dan daya dukung lingkungan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan sebagai upaya preventif agar bencana alam tersebut dapat dicegah ditahun berikutnya,” kata M Nur.
Lebih lanjut, M Nur memaparkan pembagian kawasan rawan bencana di Aceh berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033. Di antaranya:
- Kawasan gelombang pasang, yang tersebar pada kawasan pantai meliputi: Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Langsa, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Singkil, Simeulue, dan Sabang;
- Kawasan rawan banjir, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir, yang tersebar pada beberapa kawasan dalam kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Nagan Raya;
- Kawasan rawan kekeringan, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana kekeringan, meliputi sebagian wilayah kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Selatan dan Nagan Raya;
- Kawasan rawan angin badai, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana angin badai, meliputi Banda Aceh, wilayah pesisir Aceh Besar, pesisir Utara-Timur, pesisir Barat-Selatan, Pulau Simeulue dan Pulau Weh serta pulau-pulau kecil terluar lainnya;
- Kawasan rawan gempa bumi, Kawasan yang terletak di zona patahan aktif, meliputi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Barat, Nagan Raya;
- Kawasan rawan abrasi, yaitu kawasan di sepanjang pesisir wilayah Aceh meliputi Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Singkil dan pulau-pulau terluar lainnya;
- Kawasan rawan erosi mencakup seluruh wilayah di sepanjang aliran sungai besar dan/atau sungai berarus deras;
“Semua wilayah ini tercantum didalam dokumen RPJM Aceh 2017-2022,” tandas M Nur. []
Belum ada komentar