Visi Aceh Hebat yang digembar-gemborkan Pemerintah Irwandi-Nova mulai layu sebelum berkembang. Berbagai kebijakan keliru mengiringi masa awal kepemimpinannya.
Usia Pemerintah Aceh di bawah Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah kini memasuki bulan ke tujuh. Irwandi dan Nova diambil sumpah sebagai pemimpin Aceh untuk lima tahun ke depan pada 5 Juli 2017. Namun, asa agar Aceh bisa hebat seperti visi besar Irwandi itu kini mulai tergerus.
Pemerintah Aceh hingga kini belum juga menuntaskan persoalan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018. Hingga pekan terakhir di bulan Februari, eksekutif dan legislatif masih berkutat di tahap pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
Baru-baru ini, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menuntut APBA 2018 dengan total Rp14,7 triliun segera disahkan. Menyahuti keinginan mahasiswa, Pemerintah Aceh yang diwakili Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Mulyadi Nurdin menjelaskan, saat ini APBA masih dalam pembahasan dengan DPR Aceh.
“Gubernur Irwandi Yusuf telah memberikan waktu hingga 27 Februari 2018. Kita berharap DPRA akan segera mensahkan,” ujar Mulyadi Nurdin.
Namun, Wakil Ketua DPRA Irwan Djohan mengaku pesimis dengan nasib RAPBA 2018 bisa dibahas bersama hingga menghasilkan Qanun APBA 2018. “Sejauh ini belum dapat saya pastikan, mungkin sudah mencapai 50 persen. Jujur, secara pribadi saya pesimis, karena walaupun setiap hari kerja kita rapat, tapi progresnya sangat lambat. Sampai sekarang juga belum masuk ke pembahasan soal belanja, baru sampai pada KUA PPAS dan itu pun baru bahas pendapatan, sangat panjang masih,” ungkap Irwan, Selasa, 20 Februari 2018.
Disebut Irwan, dengan serangkaian pembahasan yang masih panjang, sedangkan batas waktu hanya tersisa tujuh hari lagi sebelum APBA 2018 diparipurnakan yakni pada 27 Februari 2017, maka kecil kemungkinan anggaran tahunan ini akan selesai dibahas di Banggar.
Namun, pernyataan berbeda disampaikan Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani. Dia menyatakan APBA sedang dibahas hingga tenggat waktu 5 Maret 2018. Perbedaan informasi yang disampaikan Jubir dan Karo Humas kembali terjadi.
Irwandi sendiri tak pernah menyampaikan secara khusus kepada publik, baik secara langsung ataupun melalui siaran pers atas nama dirinya yang biasa dikirimkan Humas Pemerintah Aceh kepada media. Biasanya, rilis tersebut hanya atas nama Sekda atau Kepala Biro Humas.
Tercatat, Irwandi hanya pernah sekali menuliskan status di laman facebooknya menyangkut APBA, pada 30 Januari 2018. “Berhasil tidakkah tercapainya kesepakatan APBA antara DPR dan Pemerintah Aceh pada tanggal 4 Februari ini???” Begitu tulis Irwandi.
Selain satu status khusus soal penjelasan APBA, ada bayak hal yang dituliskan Irwandi di facebooknya demi berusaha dekat dan menajring aspirasi dengan rakyatnya.
Dalam catatan Pikiran Merdeka, Irwandi sebenarnya adalah tipikal pemimpin yang akrab dengan media. Periode pertama menjabat Gubernur Aceh, rentang 2007-2012 serta di awal-awal menjadi gubernur, ia begitu mudah ditemui dan bersedia diwawancarai di kediamannya. Namun belakangan begitu sulit akses media untuk menjumpai Irwandi Yusuf. Hal ini juga berlaku kepada Wagub Nova Iriansyah. Nova bahkan sangat jarang ditemui selain saat ada acara kedinasan.
Kini, pola komunikasi Irwandi berubah. Ia lebih sering memberi penjelasan maupun menyampaikan perkembangan kinerjanya melalui akun media sosialnya. Bahkan, beberapa kali siaran pers yang dikirimkan oleh Karo Humas Mulyadi Nurdin adalah copy paste dari status Irwandi. Misalnya saja soal penjelasan penghematan bahan bakar pesawat yang dipakai Irwandi saat polemik pengusulan pembelian pesawat Pemerintah Aceh.
Sebenarnya pola ini sudah dipraktikkan Irwandi di masa kampanye, untuk berkomunikasi dengan relawan, melakukan propaganda ataupun melayani lawan debatnya. Namun setelah terlipih dan dilantik sebagai gubernur, gaya ini masih terus dipakai Irwandi. Ia kerap melayani perdebatan di media sosial ketimbang menjelaskan persoalan ke publik melalui media massa. Misalnya menyoroti kiprah LSM dan media hingga mempopulerkan kata bukhuem yang terkadang berujung pada sumpah serapah di medsos.
KEBIJAKAN SALAH KAPRAH
Berbagai kekacauan administrasi terjadi di Pemerintahan Irwandi Yusuf belakangan ini. Kondisi tersebut menunjukkan lemahnya tim penasehat maupun para Asisten Setda Aceh. Misalnya saja pencabutan Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2017 tentang Pembentukan Pusat Mediasi Aceh dan SK Gubernur Aceh Nomor 180/1195/2017 tentang Pembentukan Tim Pusat Mediasi Aceh.
Sebulan setelah diluncurkan, terpaksa dikeluarkan Pergub terbaru tertanggal 10 Januari 2018 untuk membatalkan Pergub tentang pembentukan Pusat Mediasi Aceh. Sementara Surat Keputusan Gubernur Aceh tentang pencabutan pembentukan Tim Mediasi Aceh diteken 12 Januari 2018. Pencabutan ini menyahuti desakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dan Koalisi NGO HAM Aceh
Selaian itu, Irwandi juga pernah menunjuk Husni Bahri TOB sebagai anggota tim Pansel fit and proper test pejabat eselon II. Padahal Irwandi atau orang di sekelilingnya tahu bahwa mantan Sekda Aceh itu tengah tersandera status tersangka kasus korupsi. Akibat desakan publik, Husni akhirnya mengajukan pengunduran diri. Tak hanya itu, ada pula kesalahan dalam penunjukan carateker pengurus Karang Taruna Aceh yang belakangan SK-nya terpaksa dibatalkan lagi.
Keanehan terakhir adalah penunjukan Juru Bicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata dan Saifullah Abdulgani. Pasalnya, ini adalah yang pertama di sepanjang pemerintahan di tingkat provinsi yang memiliki Jubir. Bahkan di tataran Pemerintah Republik Indonesia pun hanya dikenal Jubir Presiden, bukan Jubir Pemerintah Indonesia.
Jika itupun dibutuhkan dan tidak dilarang secara aturan, sejatinya lebih tepat disebut Jubir Gubernur Aceh. Bukan Jubir Pemerintah Aceh seperti yang dilakapkan untuk Wira dan Saifullah sekarang ini.
Pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail SH MHum mengatakan tidak ada aturan yang secara khusus mengatur jabatan juru bicara di pemerintahan suatu daerah. Keberadaan juru bicara, kata dia, semata-mata merupakan hak prerogatif gubernur.
“Setahu saya, tidak ada aturan yang mengatur Jubir secara resmi. Lagipula yang biasanya kita dengar itu kan juru bicara gubernur, bukan juru bicara pemerintah,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu, 10 Febrauri lalu.
Penegasan tidak adanya aturan khusus terkait posisi juru bicara pemerintahan disampaikan oleh Koordinator MaTA, Alfian. Ia menerangkan, pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kehumasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, telah secara jelas menyatakan bahwa menjadi juru bicara merupakan salah satu tugas dari pejabat Humas Pemerintah Daerah.
“Pada pasal 5 ayat (1) sangat jelas, bahwa pejabat kehumasan di lingkungan pemerintah daerah provinsi bertindak sebagai juru bicara gubernur,” terang Alfian.
Demikian pula Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. “Dalam aturan tersebut dijelaskan mana yang menjadi struktur resmi perangkat daerah, dan hanya Biro Humas yang disebutkan di dalamnya,” sambung Alfian.
KOMUNIKASI GAGAL
Pengamat politik Universitas Malikulsaleh, T Kemal Fasya menyebut bahwa drama APBA yang bergulir tak berujung ditengarai akibat pola komunikasi yang buruk, antara Pemerintah Aceh dan DPRA. “Masyarakat terus menerima imbasnya, sedangkan eksekutif dan legislatif sibuk dengan kepentingannya masing-masing,” katanya pada Pikiran Merdeka, Sabtu (3/2).
Kemal menyesalkan pihak Pemerintah Aceh dan DPRA yang terkesan tak punya skala prioritas dalam menyelesaikan urusan pemerintahan. “Kalau kita lihat kemarin, aksi demo di mesjid raya, baik Irwandi maupun Tgk Muharuddin hadir di sana. Tapi sayangnya untuk urusan yang kini cukup membelit rakyat yakni soal pengesahan APBA, mereka abai berkomunikasi,” tutur Kemal.
Ia menambahkan, kedua pihak sudah dilalaikan dengan urusan di luar tupoksi masing-masing. Selain itu, kemacetan pembahasan APBA menurutnya akibat ego dari masing-masing kubu pemerintahan.
Dia mengkritik pola komunikasi yang selama ini dijalankan Gubernur Irwandi. Menurut Kemal, Irwandi punya masalah serius dalam melakukan komunikasi. Di laman Facebook resminya, misalnya, orang nomor satu di Aceh ini kerap mengomentari berbagai hal secara reaktif.
“Seharusnya dalam memberi pernyataan, ia bisa berkonsultasi dulu dengan Jubirnya. Dalam hal ini dibutuhkan jubir yang komunikatif, yang tak memperlebar ruang konfrontasi. Ini harus benar-benar dihindari,” kata Kemal.
Seorang pemimpin, tambah dia, perlu memberi penjelasan yang bijak dan tidak parsial kepada publik. “Harus menyatukan, bukan malah memperlebar jarak dengan lawan politiknya,” katanya.
Karena jika terus menerus dibiarkan, lanjut dia, bisa merembet ke perdebatan yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat. “Tidak perlu marah-marah, itu tidak baik. Perlu komunikasi yang baik dalam menjalankan roda pemerintahan yang progresif seperti ini,” katanya.
TURBULENSI POLITIK
Irwandi yang kini gemar dengan olahraga dirgantara dan akrab disapa sang kapten diibaratkan tengah mengalami turbulensi dalam pemerintahannya di tahun pertama. Dalam pemahaman yang sebenarnya, turbulensi bisa disebut adalah gerakan udara yang tidak beraturan atau berputar tidak beraturan akibat perbedaan tekanan atau temperatur.
Ada berbagai penyebab turbulensi, di antaranya karena gerakan manuver pesawat, gesekan angin dengan bangunan, gunung, atau benda lain yang menjulang ke angkasa. Akibatnya, hal itu bisa sangat mengganggu penerbangan.
Dalam konteks politik, pemerintahan Irwandi – Nova juga tengah mengalami turbulensi. Tensi politik yang semakin tinggi yang menyebabkan turbulensi hebat di tahun pertama Pemerintah Irwandi semakin terasa. Manuver-manuver Irwandi juga tak disukai lawan politiknya. Ketidakmampuan Irwandi menjaga komunikasi dan menghalau serangan dari oposisi membuat perputaran roda pemerintahan cenderung oleng. Proses pengesahan APBA 2018 jadi bukti nyata.
Keinginan Irwandi memasukkan 13 program unggulannya sesuai RPJM 2017-2022 ditolak DPRA yang dominasi Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Koalisi yang berkiblat kepada Partai Aceh ini tak mau mengakomodir keinginan Irwandi sebelum persoalan dana aspirasi yang dijanjikan Irwandi sebesar Rp20 miliar diperjelas.
Menurut Ketua Komisi II DPRA Nurzahri, Irwandi pernah menjanjikannya kepada dewan namun belakangan secara sepihak Irwandi mempersulit pengalokasian dana tersebut yang membuat DPRA marah. Akhirnya, DPRA sendiri tak lagi meminta “jatah” aspirasi dan menyatakan akan memeriksa seluruh program usulan eksekutif dengan teliti.
Padahal setahun lalu, tepat pada Rabu, 22 Februari 2017, sebuah pertemuan penting dilaksanakan antara Irwandi dan Muzakir Manaf, yang seminggu sebelumnya masih bersaing dalam Pemilihan Gubernur Aceh 2017-2022. Irwandi Yusuf adalah kontestan peraih suara terbanyak di Pilkada dan Muzakir Manaf di urutan kedua.
Pertemuan itu dianggap sebagai sebuah rekonsiliasi yang membuat rakyat Aceh kala itu yakin Aceh telah bersatu. “Hari ini kami sudah berjumpa, untuk memikirkan Aceh di masa hadapan. Kita samakan persepsi, tidak ada lagi dawa dawi,” sebut Mualem kala itu.
“Aceh mesti bangkit, Aceh mesti hebat. Dana Otsus tidak banyak lagi dan nggak banyak lagi, kita gunakan sebaik mungkin,” jawab Irwandi.
Irwandi juga sempat menyebut permintaan khusus kepada Mualem. Yakni, mendapat dukungan dari Fraksi PA di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Menurut dia, Mualem yang memimpin Partai Aceh sebagai pemimpin mayoritas di DPRA bakal dibutuhkan dalam kepemimpinannya di periode kedua. Hal ini diperlukan untuk memperkuat Aceh dengan memadukan peran eksekutif dan legislatif.
“Ini perpaduan legislatif dan eksekutif. Kalau kedua ini kompak, ya kloplah. Sinergitas keduanya akan mampu membawa Aceh lebih baik ke depan,” sebutnya.
“Saya mengharapkan Partai Aceh yang menguasai legislatif mendukung saya. Dalam artian bukan mendukung secara pribadi, namun mendukung program-program yang kita sepakati,” sambung Irwandi.
Mendengar permintan Irwandi, Mualem mengatakan akan menyampaikan kepada seluruh kader di tingkat bawah. “Seperti Bang Wandi katakan tadi, mari kita bersatu bersama membangun Aceh,” tutur Mualem.
Namun, setelah setahun pertemuan itu, hal sebaliknya terjadi. Bahkan hubungan Irwandi dengan Fraksi PA di parlemen semakin memburuk. Sepanjang kisruh APBA terjadi, Irwandi juga tak pernah berupaya menyelesaikan perasalahan ini dengan melakukan konsolidasi ke Mualem selaku pimpinan tertinggi Partai Aceh.
Padahal, rakyat sangat menantikan realisasi dari janji-janji Irwandi-Nova dalam mewujudkan visi “Aceh Hebat”. Masih terekam jelas yang disampaikan Irwandi di Gedung DPRA Jumat, 28 Oktober 2016. Kala itu, Irwandi menyatakan komitmennya untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera melalui pemerintahan yang bersih, adil dan melayani.
Dalam penjelasannya kala itu, Irwandi menyatakan ada 9 misi dan 13 program unggulan yang disusun untuk menggolkan visi besar Aceh Hebat. Dari 13 program itu, ada beberapa program yang begitu akrab di telinga publik, semisal Aceh Sejahtera (JKA Plus), Aceh Caroeng (Cerdas), Aceh Troe (Kenyang) dan Aceh Meuadab (Beradab).
Dengan APBA yang tak kunjung disahkan di tahun pertama kepemimpinan Irwandi-Nova, maka visi Aceh Hebat pun semakin jauh panggang dari api. “Padahal di masa kampanyenya, misi percepatan pembangunan mereka digembar-gemborkan di masyarakat. Pemerintah harus sadar hal ini, jangan sampai janji tinggal janji,” kritik Teuku Kemal Fasya dalam sebuah wawancara dengan Pikiran Merdeka.[]
Belum ada komentar