Jakarta — Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai Undang-Undang Pemilihan Umum yang disahkan DPR dalam rapat paripurna 12 April 2012 masih tumpang tindih.
Salah satu bentuk kelemahan dalam undang-undang itu adalah dalam hal penegakan hukum. “Penegakan hukum pemilu dalam UU ini masih sumir dalam menjelaskan mekanisme penyelesaian permasalahan hukum pemilu, baik pelanggaran administratif, pidana, maupun sengketa administratif pemilu,” kata Titi dalam diskusi di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Minggu 15 April 2012.
Titi mengemukakan lebih detail tentang beberapa ketidakjelasan itu, antara lain, pertama, pelanggaran administratif, membuat mekanisme penyelesaian lebih panjang yaitu dengan melibatkan Bawaslu-Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara-Mahkamah Agung.
Kedua, terhadap pelanggaran pidana pemilu, jangka waktu pelaporan tindak pidana pemilu masih singkat yakni tujuh hari setelah perbuatan dilakukan. Hal ini berarti segala perbuatan yang diketahui setelah jangka waktu tersebut menjadi gugur.
Ketiga, adalah soal sengketa administratif yang dinilai masih terdapat tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan perkara antara KPU dan Bawaslu. “Sehingga penanganan penyelesaiannya berbelit-belit,” katanya.
Titi menambahkan bahwa dalam aturan baru itu memang terdapat beberapa perubahan. Di antaranya adalah dari rumusan pasal, tahapan penyelenggaraan pemilu, daerah pemilihan, alokasi kursi, dan lainnya. “Perubahan substansi yang dilakukan tidak signifikan. Mengesankan perubahan ini hanya dilakukan terhadap sisi-sisi tertentu saja,” ujarnya.
Titi khawatir pelaksanaan pemilu 2014 akan lebih buruk dari pemilu 2009 jika UU yang menaungi masih banyak kekurangannya. Dia menekankan sistem penyelenggaraan pemilu perlu diikuti dengan penegakan hukum yang tegas dan jelas. “Terlebih jika sistem penyelenggaraan pemilu masih menyimpan sejumlah kelemahan dan kekurangan,” katanya.[vvn]
Belum ada komentar