Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai akan berdampak pada semakin meningkatnya aktivitas alih fungsi lahan sawah di Indonesia.
Meski demikian, menurut Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Asnawati, alih fungsi lahan sawah atau pangan ini diperbolehkan yaitu sepanjang untuk kepentingan umum dan pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
“Ada kriteria dalam UU Cipta Kerja mengenai alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan umum. Ini kriteria tambahan dibandingkan aturan sebelumnya yakni UU Nomor 2 tahun 20012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” jelas Asnawati dalam acara PPTR Expo 2021 di Kantor ATR/BPN Jakarta, Senin (22/02/2021).
Kriteria tambahannya seperti diperbolehkannya pengalihfungsian lahan sawah untuk kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan, hingga untuk kawasan pengembangan teknologi.
Namun begitu, Asnawati menekankan, upaya pengalihfungsian tidak dapat serta merta dilakukan tanpa memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satunya seperti tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Dalam aturan tersebut dijelaskan, bahwa untuk kepentingan umum dapat dialihfungsikan dengan persyaratan yang wajib dipenuhi antara lain kajian kelayakan strategis, penyusunan alih fungsi lahan, pembebasan kepemilikan hak lahan, hingga penyediaan lahan pengganti.
“Jadi salah satu syaratnya juga harus ada sawah pengganti ketika sawah ini dialihfungsikan,” jelas Asnawati.
Jika alih fungsi lahan untuk kepentingan umum ini dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dipersyaratkan, maka akan ada sanksi pidana terutama bagi pejabat pemerintah yang telah memberi persetujuan.
Pasal 73 UU Nomor 41 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa setiap pejabat pemerintah yang memberi persetujuan tidak sesuai dengan ketentuan, akan dikenakan sanksi berupa pidana minimal satu tahun dan maksimal lima tahun.
“Selain itu sanksi denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 5 miliar,” ujar tuntas Asnawati.
Sumber: KOMPAS
Belum ada komentar