Biaya operasional fantastis dan perangkat kerja modern diusulkan Jubir Pemerintah Aceh. Pentingkah keberadaan mereka?
Entah dari hulu mana, sejak Kamis (8/2) pekan lalu, salinan surat usulan kebutuhan operasional juru bicara Pemerintah Aceh, kadung beredar di jejaring wartawan. Surat bernomor istimewa itu menyisip selembar lampiran. Isinya berupa tabel yang merincikan perangkat kebutuhan kedua juru bicara Pemerintah Aceh saat ini, yakni Wiratmadinata SH MH dan Saifullah Abdulgani SST MKes.
Usulan itu telah ada sejak tanggal 22 Januari 2018 lalu, seperti tertera dalam surat tersebut. Suratnya ditujukan kepada Wakil Gubernur Aceh dan tembusan ke Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh.
Ada empat item pengusulan kebutuhan operasional para juru bicara ini. Pertama, biaya komunikasi dengan stakeholder, yang jumlahnya sebesar Rp1 juta untuk masing-masing juru bicara per hari. Biaya tersebut dikalikan 30 hari dalam satu bulan, sekaligus dijumlahkan untuk satu tahun berjalan. Tak main-main, keseluruhan pembiayaan untuk item komunikasi ini berjumlah Rp720 juta.
Dalam keterangannya, kebutuhan komunikasi ini memuat biaya pertemuan untuk membangun saling pengertian bersama segenap stakeholder, baik pers, Lembaga Swadaya Masyarakat, mahasiswa, dan anggota dewan.
Item dua, juru bicara Pemerintah Aceh mengusulkan pengadaan notebook sebanyak dua unit. Bahkan, pihaknya telah menentukan sendiri spesifikasi dari notebook yang diusulkan itu. Dalam lampiran itu tertera notebook yang diusulkan berjenis Mcbook Pro i7 12 inc (13 inc) dengan layar Retina Display. Adapun RAM-nya sebesar 8 GB, penyimpanan 512 GB, DVD dan Port 3 USB-C.
Di kolom keterangan dijelaskan, juru bicara membutuhkan perangkat ini untuk desain slide, termasuk sisipan video slide untuk presentasi, serta penulisan pers realese yang disebarkan ke media massa. Notebook tersebut rencananya juga dipakai untuk penulisan artikel, pengolahan data, infografis dan sebagainya.
Berikutnya, juru bicara mengusulkan pengadaan Tablet PC dengan spesifikasi layar Retina 10,5 inc, juga sebanyak dua unit. Tablet itu memiliki bazel hitam dan layar lebar warna (P3), True Tone, dan model A1709. Sementara penyimpanannya 512 GB, Pro Wi-Fi+Cellular, dan casing/selubung alumunium abu-abu. Pengadaan Tablet PC katanya akan digunakan untuk memantau pemberitaan secara mobile, penyimpanan dokumen rujukan, acara talkshow dan rapat-rapat.
Di item terakhir dalam lampiran tersebut, juru bicara Pemerintah Aceh mengusulkan penyediaan perekam suara digital sebanyak dua unit. “Ini untuk merekam setiap memberikan keterangan pers atau wawancara,” demikian tertulis dalam lampiran itu.
PEMBOROSAN ANGGARAN
Tak lama usai bocornya surat tersebut, sontak saja, usulan biaya operasional terutama biaya komunikasi sebesar Rp1 juta per hari menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Usulan yang dinilai terlampau besar itu memancing kritik, salah satunya dari LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Koordinator MaTA, Alfian melihat kinerja dan kebutuhan juru bicara Pemerintah Aceh dikaitkan dengan efisiensi penggunaan anggaran daerah. “Bagaimana seharusnya pemerintah daerah mengalokasikan anggaran secara efektif, efisien dan ekonomis,” kata Alfian kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (10/2) pekan lalu
Usulan sebesar Rp1 juta/hari untuk masing-masing jubir, sebut dia, jelas memperlihatkan adanya pemborosan anggaran. Sementara, dalam kurun beberapa bulan terakhir, Pemerintah Aceh tengah sibuk menyeleksi calon kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
Bagi Alfian, semangat pemerintah yang selama ini kerap mendengungkan asas transparansi dalam penunjukan pejabat, seharusnya juga ditularkan pada efektifitas perangkat kerjanya. Keberadaan juru bicara yang terpisah dari Biro Humas Pemerintah, kata Alfian, menunjukkan adanya perangkat kerja yang dibebat tumpang tindih.
“Bicara fungsi menjalin relasi dengan media, LSM, ini kan fungsinya kehumasan, kenapa tidak internal humas yang diperkuat, kenapa harus ditambah juru bicara segala?” kritik Alfian.
Momen rekrutmen pejabat eselon II, salah satunya menyeleksi kepala Biro Humas Pemerintah Aceh, Alfian berharap proses itu sebagai kesempatan bagi pemerintah untuk mengevaluasi lembaga tersebut.
“Ini demi efisiensi penggunaan anggaran untuk ke depannya, MaTA tak terlalu menyoroti ribut-ribut soal dana operasional Rp1 juta/orang satu hari itu saja, tapi lebih melihat pada keberadaan juru bicara dan imbasnya terhadap efisiensi anggaran pemerintah secara umum,” pungkas Alfian.
Secara tegas, MaTA menyarankan posisi jubir lebih baik ditiadakan, ketimbang menggerus anggaran pemerintah dengan usulan operasional yang berlebihan. “Tidak perlu ada itu (juru bicara), lebih baik bubarkan saja,” tandasnya.[]
Belum ada komentar