Universitas Diponegoro Seminarkan tentang Aceh

PM, Semarang–Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP-UNDIP) Semarang menggelar semintar tentang “Satu Dekade Pembangunan Pasca-Damai Aceh 2005-2015”. Kegiatan itu digelar di Teater Gedung B Lantai I, Selasa, (08/09/ 2015).
Seminar yang dilakukan oleh tim peneliti hubungan internasional dari FISIP-UNDIP ini merupakan bagian finishing hasil penelitian tim tersebut. Seminar ini juga menghadirkan Juru Bicara Partai Aceh (PA), Suadi Sulaiman alias Adi Laweueng.

Menurut Adi Laweueng yang hadir langsung ke acara tersebut, tim FISIP UNDIP sudah melakukan penelitian langsung ke Aceh pada Mei 2015 lalu. Di antara lembaga yang ditemui oleh tim itu adalah Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh.

Selan Adi Laweueng, seminar tersebut menghadirkan para pembicara, antara lain Drs. Tri Cahyo Utomo, M.A, Shary C. Pattipeilohy, S.IP, M.A dan Satwika Paramasatya, S.IP, M.A.

Dalam seminar itu, kata Adi, dibicarakan tentang potensi munculnya konflik (kekerasan) baru di Aceh pascadamai 15 Agustus 2015. Sepanjang acara berjalan, tambah Adi, pemateri dan para peserta lebih menyoroti kelamah pemerintah pusat dalam mengakomodir permintaan dari Aceh.

Salah satu regulasi yang diperbincangkan dalam kegiatan tersebut antara lain tentang bendera dan lambang Aceh. Menurut Adi, Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang mengatur tentang itu sudah disahkan. Forum seminar itu juga membahas tentang pertambangan Aceh yang masih adanya perselisihan antara kedalaman 12 dan 200 mil.

“Tidak hanya itu, persoalan pertanahan, kekuasaan dan wewenang Aceh ikut juga menjadi sorotan tim penelitian FISIP-UNDIP, terutama  yang berkaitan dengan enam kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat seperti yang dimuat dalam MoU Helsinki,” kata Adi Laweueng yang juga pernah menjadi Anggota DPRK Pidie.

Menurut Adi, penyelesaian regulasi ini bisa membuat keutuhan damai Aceh bertahan sepanjang hayat, apalagi model perdamaian Aceh telah banyak ditiru oleh beberapa negara lain yang secara internalnya juga mengalami konflik bersenjata.

“Eh, malah pemerintah republik Indonesia sendiri ‘mengabaikan’ dan tidak mensyukuri nikmat perdamaian yang sudah ada. Ini sesuatu yang sangat ironis,” ucap Adi.

 

[PM004]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait