Sistem demokrasi yang diterapkan di berbagai belahan dunia telah melahirkan berbagai model pemimpin (eksekutif) dan wakil rakyat (legislatif). Beberapa negara yang berhasil menerapkan sistem ini dengan baik akhirnya menikmati kesejahteraan dan kemajuan bangsanya.
Sebut saja demokrasi Turki yang melahirkan pemimpin sekaliber Tayyib Erdogan dan para pejabatnya yang dikenal secara luas dekat dengan rakyatnya, dan berhasil membawa Turki ke era baru menjadi negara yang disegani dari berbagai sisi, baik ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan bahkan militer. Atau juga seperti demokrasi model Iran yang melahirkan pemimpin pemberani dan merakyat sekaliber Mahmoud Ahmadinejad. Keberhasilan beberapa sisi dari demokrasi ini juga terlihat di beberapa negara Eropa dan Amerika. Demokrasi di sana melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang membawa negara mereka menjadi negara maju.
Di satu sisi, demokrasi pada dasarnya memang membuka peluang bagi terealisasinya berbagai agenda-agenda perubahan dan kebaikan. Namun demikian, sistem ini juga membuka kesempatan menuju kehancuran bagi negara yang mengadopsinya. Banyak negara di dunia terbukti gagal menerapkan sistem demokrasi ini dengan baik. Indonesia, misalnya, yang pentas demokrasinya selalu diliputi oleh hingar bingar eksistensi para kaum materialis dan oportunistik yang menjadikan demokrasi sebagai panggung pertunjukan kebobrokan mereka. Karena alasan demokrasi, siapa saja dianggap layak menempati pos-pos penting asalkan sanggup menguasai panggung demokrasi. Maka tidak heran jika kemudian mereka mencoba melakukan apa saja untuk menjadi pemenang di pentas demokrasi. Kecurangan, manipulasi, dan bahkan penghilangan nyawa manusia dianggap sebagai sesuatu yang sah.
Setelah mereka menguasai panggung demokrasi dan tampil sebagai pemenang, dengan alasan mereka adalah produk-produk demokrasi, berbagai pekerjaan yang menghancurkan negeri ini pun mudah saja dijalankan dan dilestarikan. Kepentingan-kepentingan rakyat terus terabaikan dan kehancuran di berbagai tatanan kehidupan terus mendera bangsa ini. Akhirnya, negara gagal menjamin hak-hak rakyat. Hak untuk berbhineka tunggal ika, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hingga hak menikmati hidup bisa lebih baik. Demokrasi seperti ini, meminjam istilah Tgk H Muhammad Yusuf, pimpinan Dayah Babussalam Jeunib (2012), sebagai demokrasi yang “kebablasan dan lepas kendali”.
Realitasnya demokrasi Indonesia memang dikuasai oleh para pemodal, bukan kaum idealis dan moralis. Memang ada satu dua produk demokrasi yang bersungguh-sungguh bekerja demi bangsa Indonesia, mengeluarkan rakyatnya dari jurang kepapaan, tapi bisa dicatat bahwa jumlah mereka sangat sedikit. Dalam setiap perdebatan wacana hak menyatakan pendapat di parlemen, misalnya dalam kasus hak angket mafia pajak, kasus century, dan sebagainya, suara-suara yang memihak rakyat dikalahkan saat voting pengambilan keputusan. Kepentingan rakyat dipasung demi menjaga kewibawaan pihak penguasa. Alhasil, rakyat pun terus dalam kenestapaan panjangnya.
Peran Ulama
Demokrasi yang berlaku di Aceh merupakan bagian dari tatanan demokrasi Indonesia yang semenjak diterapkan di era reformasi, faktanya terbukti gagal membawa bangsa ini menuju kesejahteraan. Meminjam istilah Rizal Ramli(2010), “demokrasi di negara kita telah berubah wujud dari sekedar demokrasi prosedural menjadi demokrasi kriminal”. Kondisi demokrasi di Aceh realitasnya telah bablas karena tidak berdiri di atas fondasi moralitas. Perubahan yang terjadi justru ke arah yang lebih berbahaya. Demokrasi bukan saja gagal melahirkan elit-elit yang pro kepentingan rakyat, tapi justru melahirkan elit-elit kriminalis yang demi tujuan meraih kekuasaan nyawa manusia tidak segan-segan dihilangkan.
Dengan realitas seperti ini, demokrasi seperti seharusnya sudah sangat layak dikembalikan di atas bangunan moral. Lantas bagaimana caranya mewujudkan demokrasi bermoral, apakah harus berpijak ke demokrasi Eropa, Amerika, Iran atau Turki? Sebagai sebuah bangsa yang pernah menjadi bangsa besar nomor lima di antara bangsa-bangsa terbesar di dunia, Aceh seharusnya memiliki demokrasi yang berbeda dengan bangsa-bangsa itu. Demokrasi di Aceh tidak mungkin akan berhasil jika meniru model demokrasi Eropa dan Amerika yang nilai-nilai moralitas mereka berlandaskan pada rasionalitas terlepas dari realitas beberapa bangsa Amerika dan Eropa berhasil dengan sistem tersebut, sedangkan fondasi moralitas kita pada dasarnya berlandaskan pada moralitas yang sesuai dengan syariat Allah meski saat ini fondasi ini telah ditanah dalam-dalam di perut bumi.
Demokrasi di Aceh harus dikembalikan di atas jalur moralitas sehingga bisa memproduksi eksekutif dan legislatif yang berdiri di atas pijakan moral. Maka dalam kontek ini, demokrasi Aceh sudah saatnya diterapkan di atas kontrol “ahlul hilli wal ‘aqdi” sebagai pemegang hak veto agar demokrasi tidak menjadi bablas dan lepas kendali. Ahlul hilli wal ‘aqdi beberapa ulama mengartikannya sebagai lembaga legislatif. An-Nawawi mengartikan adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Artinya, ulama memiliki peran sentral dalam mengawali arah perubahan bangsa. Dalam kajian politik Islam, Ahlul hilli wal ‘aqdi merupakan sebuah lembaga dimana para ulama dan para ilmuan memiliki otoritas untuk berkumpul dan bermusyawarah dalam rangka menentukan arah demokrasi yang dijalankan agar sesuai dengan prinsip Islam. Otoritas lembaga ini sejalan dengan pesan yang bisa dibaca dari hadits Muhammad Rasulullah Saw, bahwa tiang tegaknya dunia itu ada empat perkara . Pertama, ilmunya para ulama. Kedua, pemerintahan yang adil. Ketiga, kedermawanan orang-orang kaya. Keempat, doanya orang-orang fakir. Kalau tidak dengan ilmu para ulama maka binasalah orang-orang bodoh. Kalau tidak ada keadilan dari orang-orang yang memegang kekuasaan, niscaya manusia saling memakan manusia lain bagaikan serigala memakan domba. Begitu juga tanpa kedermawanan orang-orang kaya, maka binasalah orang-orang fakir. Dan, jika tanpa doa orang-orang fakir, hancurlah langit dan bumi.
Hadist ini menyiratkan bahwa para ulama mesti terlibat secara penuh dalam arus perubahan dan perbaikan bangsa. Posisi ulama seharusnya tidak memada sebagaimana peran Majelis Ulama Indonesia(MUI) atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan kiprahnya seperti saat ini yang peran-perannya begitu terbatas, sehingga kebinasaan ‘orang-orang bodoh’ dalam praktik demokrasi kriminalistik menjadi tidak terelakkan. Lembaga ulama semacam ini terbukti tidak bisa berbuat banyak di hadapan praktik demokrasi prosedural yang tidak bermoral yang dijalankan oleh elit-elit bangsa ini.
Maka, mestinya posisi ulama harus dikembalikan sebagai bagian dari sistem negara yang memiliki fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Rasulllah sebagai pilar pertama tegaknya dunia yang beradab. Ulama harus tampil sebagai pemegang hak veto dalam menjalankan sistem demokrasi. Sekarang, tinggal ulama sendiri yang bersedia mereposisikan perannya, atau mungkin sudah cukup hanya sekedar lembaga fatwa semata yang tidak memiliki efek perubahan besar bagi bangsa ini. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Penulis: Teuku Zulkhairi, Alumni Pascasarjana IAIN Ar-Raniry.
Belum ada komentar