Sederet perkara kini mangkrak di meja penyidik Kepolisian Daerah Aceh. Publik menuntut keseriusan polisi untuk segera menuntaskan kasus hukum itu.
Dua direktorat di jajaran Polda Aceh yakni, Direktorat Reserse Kriminal Khusus dan Direktorat Kriminal Umum menjadi sorotan publik. Mereka dianggap begitu lamban dalam menangani sejumlah perkara. Mayoritas dari kasus yang mandeg tersebut adalah kasus korupsi. Dari kasus-kasus itu, kerugian negara diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
Sebut saja dalam pengadaan pembasmi hama kopi senilai Rp48 miliar di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bener Meriah. Proyek APBN 2015 dari Kementrian Pertanian tersebut masih belum menunjukkan perkembangan penyidikannya.
Selain adanya kecurangan dalam proses tender, juga ditemukan danya mark-up dalam penetapan harga perkiraaan sendiri (HPS) mencapai dua kali lipat. Parahnya lagi, pengadaan atraktan tersebut sebenarnya tak dibutuhkan petani kopi. Namun, disayangkan, setelah empat bulan lebih kasus ini ditangani penyidik, belum menunjukkan perkembangan berarti. Bahkan, status kasus ini masih penyidikan, belum ditingkatkan ke tahap penyelidikan. Tak tanggung-tanggung, diduga negara dirugikan hingga puluhan miliar rupiah.
Selain itu, Dit Reskrimum juga “mengendapkan” kasus kredit fiktif Bank Mandiri Bireuen yang melibatkan sejumlah pejabat Pemkab Bireuen. Beberapa indikasi korupsi lain yang ditangani jajaran Polda Aceh di Bireuen pun terkesan jalan di tempat alias tidak ada kejelasan hukum.
Setali tiga uang, Direskrimum juga “menyimpan” sejumlah kasus hukum yang belum kelar. Hingga kini kasus penyerobotan lahan Hak Guna Usaha (HGU) lahan PT Putra Bumoe Aceh masih beum ada titik terang. Padahal, sebelumnya Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Pol Nurfallah menyatakan sudah ada calon tersangka dalam kasus itu.
Di atas lahan tersebut, telah dibangun Balai Inseminasi Buatan (BIB) dengan total investasi mencapai Rp18 miliar lebih yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2015. Kini, bangunan yang direncakan untuk lokasi pembibitan sapi tersebut terbengkalai. Pihak Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh selaku instansi yang membawahi proyek tersebut, tak bisa memanfaatkannya. Tentu, yang paling dirugikan dalam kasus itu adalah masyarakat selaku calon penerima manfaat.
Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat menyayangkan lemahnya kinerja insitusi kepolisian dalam mengungkap sederet kasus hukum itu. Masyarakat sebenarnya menaruh harapan besar kepada kepolisian agar segera menyelesaikan kasus-kasus itu. Namun, lambannya kerja penyidik kepolisian tentu berimbas kepada runtuhnya kepercayaan masyarakat.
Di sini, Profesionalitas polisi diuji. Memasuki bulan Juni 2016, mereka dituntut mempublis hasil kinerja mereka selama semester awal tahun ini. Masyarakat masih menanti perkembangan sejumlah kasus yang masih ditangani polisi. Bahkan, polisi ditantang untuk segera menyelesaikan sejumlah perkara itu dengan melimpahkan ke kejaksaaan, alias P21.
Jika tidak, patut dipertanyakan apa saja kinerja kepolisian selama ini? Andai polisi tak mampu menuntaskan “PR” tersebut, publik mendorong kasus yang mandeg di tangan mereka disupervisi oleh kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[]
Belum ada komentar