Tujuh Kasus Korupsi Masuk Tahap Penyidikan Kejati Aceh

Tujuh Kasus Korupsi Masuk Tahap Penyidikan Kejati Aceh
Tujuh Kasus Korupsi Masuk Tahap Penyidikan Kejati Aceh

PM, Banda Aceh – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh untuk tahun 2018 ini tengah konsen menyidik tujuh kasus korupsi di Aceh. Hal itu disampaikan oleh Asisten Pidana Khusus Kejati Aceh, T Rahmatsyah dalam diskusi publik mengulas ‘Tren Penindakan Korupsi di Aceh’ yang diselenggarakan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Kamis (12/7).

Adapun ketujuh kasus yang tengah disidik Kejati, diantaranya kasus penyertaan modal Pemkab Simeulue kepada Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) tahun 2002-2012. Kasus ini tengah berada dalam tahap pengumpulan alat bukti.

“Terutama mencari keterangan para ahli baik mengenai keuangan negara yang kita peroleh dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun ahli dari hukum tata negara yang juga difasilitasi KPK, karena kerugian yang lumayan besar, dari anggaran penyertaan modalnya mencapai Rp 200 milyar,” ujar Rahmatsyah.

Berikutnya, kasus pembangunan pasar modern Abdya yang menghabiskan anggaran Rp 58,6 milyar tahun anggaran 2016-2017. Lalu ada juga kasus pengadaan alat kesehatan radio diagnostic (CT Scan 64 Slices) dan cardiologi (Cath Lab) di RS Zainal Abidin sebesar Rp 39,9 milyar, kasus pengadaan tanah untuk pembangunan rumah dinas guru di Dinas Pendidikan kota Sabang, dan terakhir kasus perencanaan gedung Kanwil Kemenag Aceh tahun 2015 sebesar Rp 1,16 milyar.

“Untuk kasus Kemenag ini ada dua perkara, yaitu perencanaan dan pelaksanaannya,” sebut dia.

Dalam penyidikan ketujuh kasus tersebut, Kejati sudah menetapkan sejumlah tersangka. “Selain itu masih ada dua kasus lagi yang proses penyidikannya di tingkat Kejaksaan Negeri,” timpalnya.

Sementara koordiantor MaTA Alfian dalam kesempatan itu menerangkan, selain 7 kasus yang penyidikannya di Kejati, ada 4 kasus lagi yang tengah disidik di kepolisian serta 2 kasus di KPK.

“Dua kasus lagi yang penyidikannya di KPK, yaitu kasus BPKS Sabang dan kasus dugaan suap Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang menjerat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf,” kata Alfian di sela-sela diskusi.

Terkendala Penentuan Kerugian Negara

Dalam proses penanganan korupsi di Aceh, Kejati mengalami beberapa kendala. Salah satunya adalah persoalan lama terkait dasar hukum penentuan kerugian negara yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 20 Tahun 2001.

Sebagaimana diketahui, pemaknaan terhadap dua pasal UU ini kerap memantik persoalan. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, ‘setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah’.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan ‘setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar’.

“Kedua pasal ini saling bertentangan,” ujar Aspidsus Kejati Aceh, Rahmatsyah. Lantaran Mahkamah Konstitusi dalam aturan itu menetapkan bahwa yang disebut kerugian negara adalah Actual Loss, atau kerugian yang sudah nyata terjadi. Sementara unsur perkiraan (Potential Loss) tidak lagi dipahami sebagai kerugian negara.

“Ini kadang menyulitkan kita, karena jika ditentukan auditor tidak ada kerugian negara, kita tak bisa bertindak,” kata dia.

Informasi Tidak Transparan

Selain itu, MaTA meminta para penegak hukum lebih transparan dalam mempublikasi data penanganan kasus korupsi di Aceh.

“Selama ini belum terbuka, jika ada hanya berupa statistik akumulatif tahunan,” timpal koordinator bidang hukum dan politik MaTA, Baihaqi.

Sementara berdasarkan hasil analisa MaTA yang dipaparkan dalam diskusi tersebut, diketahui potensi korupsi di Aceh mulai bergeser ke tingkat desa. Ini beranjak dari meningkatnya jumlah kasus penyelewengan dana desa yang ditangani aparat penegak hukum.

“Tahun 2017 saja, sektor dana desa menempati urutan pertama. Diikuti sektor keuangan daerah dan pertanian. Sementara di tahun ini (2018), korupsi paling menyasar ke sektor pendidikan,” papar Baihaqi.

MaTA juga menyimpulkan, korupsi di Aceh acap kali melibatkan pihak swasta. Ini dominan terjadi dalam kasus pengadaan barang dan jasa.

“Unsur eksekutif (pemerintah) tak terlibat sendiri, selalu ada pihak swasta di belakangnya,” kata dia lagi.

Di tahun 2017 saja, dari 78 orang yang jadi tersangka korupsi, 30 orang diantaranya merupakan pihak swasta. Sedangkan di tahun 2018 sudah ada 2 tersangka dari kalangan tersebut.

Karena itu, di tengah perilaku kooruptif yang kian massif di Aceh, lanjut Baihaqi, harusnya penegak hukum bersama masyarakat lebih bersinergi untuk memberantasnya.

“Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Pengadilan Tipikor memiliki peran yang berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama dalam memberantas korupsi,” tutupnya. []

 

 

 

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait