Saban tahun realisasi pendapatan asli daerah Banda Aceh dari retribusi parkir selalu tak sesuai target.
Semakin sore, parkiran di tepi jalan umum Kota Banda Aceh semakin padat. Hampir-hampir menganggu pengendara lain, jika saja tak ada tukang parkir yang mengaturnya.
Abdul Manaf (50) perintahkan pengendara mobil yang hendak parkir di halaman sebuah warung kopi di Jalan T P Nyak Makam, Lampineung. Sesuai dengan petunjuk rambu-rambu parkir, yang berbunyi ‘parkir sebaris, sejajar jalan’, dia atur agar mobil parkir dengan rapi.
Juru parkir ini mengaku jalani tugasnya sesuai prosedur meskipun tidak pernah mendapatkan pembinaan khusus dari Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika (Dishubkominfo) Banda Aceh. “Hanya berbekal rompi biru ini,” sebutnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (24/09/16).
Padahal, kata dia, Dishubkominfo Banda Aceh jika ingin meningkatkan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banda Aceh dari retribusi parkir, salah satu caranya, mestilah membina seluruh juru pakir atau jukir.
Hasil kajian dan survei oleh tim pansus DPRK Banda Aceh bersama lembaga penelitian dari Unsyiah dalam kurun Desember 2014–Mei 2015, menyimpulkan, potensi PAD Banda Aceh di sektor retribusi parkir, sampah, pajak reklame, dan penerangan jalan, lebih besar dari angka realisasinya.
Pemko Banda Aceh misalnya targetkan PAD 2014 dari retribusi parkir sebesar Rp4,5 miliar, namun hanya Rp3,4 miliar yang direalisasikan. Padahal, potensi PAD sektor ini bisa mencapai angka Rp12 miliar lebih. Sementara secara keseluruhan, PAD Banda Aceh 2014 sebesar Rp171 miliar. Demikian kata Irwansyah anggota Komisi C DPRK Banda Aceh kepada media lokal beberapa waktu lalu.
Karena itu, imbuhnya, Pemko Banda Aceh diharapkan mampu mendongkrak PAD 2016 setidaknya Rp200 miliar. Pihaknya yakin kantong PAD 2016 akan meraup angka tersebut.
Angka itu, sebutnya, jumlah total besaran PAD dari empat sektor yang disurvei Rp23 miliar, ditambah pijakan realisasi PAD 2014 sebesar Rp171 miliar, yang menyentuh angka Rp194 miliar. “Target itu hanya dari empat sektor saja. Belum lagi dengan 17 sektor lainnya,” katanya.
Khusus PAD Banda Aceh dari retribusi parkir, Kepala Bidang Parkir Dishubkominfo Banda Aceh, T Nazaruddin, menyebutkan, semenjak 2013 Pemko menerapkan Qanun Nomor 4 tahun 2012 tentang retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum Kota Banda Aceh.
“Roda dua dan roda tiga dikutip Rp1 ribu per sekali parkir dan Rp2 ribu untuk roda empat per sekali parkir, sedangkan roda enam kena Rp6 ribu per sekali parkir,” rinci Nazaruddin kepada Pikiran Merdeka, Jumat (23/09/16).
Sebelum adanya qanun tersebut, tarif parkir lebih kecil. Dishubkominfo Banda Aceh misalnya kutip Rp500 per sekali parkir roda dua. Qanun baru tersebut diharapkan sedikit mendongkrak realisasi PAD dari retribusi parkir.
Namun dilihat statistik dua tahun terakhir, PAD Banda Aceh dari retribusi parkir masih rendah. Kabid Parkir yang akrab disapa Ampon itu menyebutkan, Pemko Banda Aceh menargetkan PAD 2015 dari retribusi parkir sebesar Rp4,5 miliar dan realisasinya cuma Rp3,5 miliar. Begitupun pada 2014, jumlahnya pun sama.
“Tahun 2016 target PAD dari retribusi parkir sekitar Rp4,8 miliar. Namun adanya beberapa pengerjaan proyek besar di Banda Aceh tahun ini akan sedikit menghambat realisasi,” tandasnya.
Ia menyebutkan, saat ini ada 304 titik parkir dalam kawasan Kota Banda Aceh. Meningkat dibanding tahun 2015 yang berjumlah 276 titik parkir.
Semua jukir itu sebutnya, dilengkapi dengan rompi biru bertuliskan nama jukir di setiap rompinya. Selain itu, kata dia, penjaga parkir juga dibina agar sesuai dengan kebijakan dikeluarkan Dishubkominfo.
MINTA DIPERHATIKAN
Dia menyebutkan, satu titik parkir diisi seorang jukir. Persentase hasil retribusi parkir antara jukir dengan Pemko tergantung zonanya. “Kita gunakan sistem patok, besarannya tergantung lokasi,” sebut Kabid.
“Di sini, per hari kami dapat jatah Rp60 ribu/hari,” ujar Abdul Manaf, jukir di Kawasan Jalan P Nyak Makam Lampineung, secara terpisah.
Menurut dia, semenjak dua tahun terakhir dia resmi sebagi jukir, tidak pernah mendapatkan binaan dari Dishubkominfo Banda Aceh. Ia dan teman-temannya cuma diberikan rompi dan surat resmi sebagai legalitas mereka.
“Rompi kami juga tidak ada nama kami, hanya bertulis ‘Juru Parkir’. Ini kan bisa saja berpotensi dipakai oleh orang lain dan kutip parkir seenaknya,” ujar pria kelahiran Aceh Besar itu, seraya menunjukkan rompi di badannya.
Jukir di Kota Banda Aceh, kata dia, juga tak diberikan asuransi jiwa. Padahal mereka pekerjaan mereka berkaitan dengan lalu-lintas jalan raya.
“Risikonya besar, seharusnya kami dapat jaminan asuransi jiwa dari Pemko,” tambah Abdul.
Selain itu, pihaknya juga mengharapkan atribut lebih bagi seorang jukir. Tak hanya sepotong rompi. Kata dia, misalnya jukir disediakan juga celana, dan pakaian hujan.
Abdul mengaku ia mulai menjadi jukir sekitar 1998. Menurutnya, pada masa itu, setiap jukir berada di bawah naungan Badan Pengelola Perparkiran (BPP) Kota Banda Aceh.
Suatu kali, dia menggerakkan massa jukir Banda Aceh berunjuk rasa ke Kantor Walikota menuntut diberikan seragam jukir.
“Awalnya kami tidak memiliki rompi, tapi setelah unjuk rasa sekitar tahun 2001 itu, kami dibekali seragam termasuk pakaian hujan,” ceritanya kepada Pikiran Merdeka.
Karena itu, ia mengharapkan Pemko Banda Aceh menaruh kepedulian besar kepada jukir. “Maunya kita diberi fasilitas layaknya jukir di kota besar lainnya, jangan hanya memanfaatkan kami sebagai aset,” kata Abdul.
Namun ia juga mengakui Dishubkominfo cukup bertanggungjawab jika terjadi sesuatu pada jukir. “Misalnya ada pihak yang mengancam jukir beberapa waktu lalu, pihak dinas datang dan membela kami,” ucapnya.[]
Belum ada komentar