Pelecehan seksual terhadap anak-anak makin marak di Aceh. Kepedulian sosial sesama warga perlu ditingkatkan.
Layu sudah Anggrek (5), Mawar (7), dan Melati (13), di tangan SB. Pemuda 25 tahun itu merenggut masa depan ketiga anak tersebut di Gampong Lambaro, Kuta Alam, Banda Aceh, beberapa bulan lalu.
Pada 17 Oktober 2016, sekitar jam 8 malam, SB mengajak Mawar nonton TV di rumahnya di Gampong Lambaro. Selagi nonton itulah, SB melampiaskan nafsunya.
Mawar awalnya tak menolak. Sebab sebelum kencan malam itu, dia sering diberi jajan oleh SB. Dari ruang TV, aksi pun lekas berlanjut ke kamar pribadi SB. Namun Mawar berteriak kesakitan saat disetubuhi SB di dalam kamar.
“Selain terhadap Mawar, pelaku juga telah melakukan hal yang sama terhadap Anggrek dan Melati di rumah pelaku,” sebut Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol T Saladin melalui Kasat Reskrim AKP Pradana Aditya Nugraha SH, kepada Pikiran Merdeka.
Polresta Banda Aceh menerima laporan keluarga korban masing-masing dari pihak Mawar tanggal 17 Oktober 2016 serta Anggrek dan Melati pada 18 Oktober 2016.
AKP Pradana menyebutkan, SB melakukan persetubuhan dan pencabulan masing-masing 10 kali terhadap Mawar, Anggrek juga 10 kali, dan Melati 3 kali.
“Berdasarkan fakta-fakta di atas dan didukung hasil pemeriksaan saksi dan pelaku, SB telah melakukan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur,” ujarnya, Jumat (11/11/16).
Hal tersebut, tambahnya, SB telah melanggar Pasal 81 Jo Pasal 82 UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
SB dikenakan pasal tersebut, katanya, sebab melakukan tindak pidana dengan unsur, “setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Berdasarkan UU tersebut, SB dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar rupiah.
Tersangka saat dimintai keterangan mengungkapkan, dia sering nonton film porna sehingga kerap menimbulkan nafsu berahi saat melihat anak perempuan.
“Anak-anak lebih mudah dalam melakukannya daripada perempuan dewasa, resikonya lebih kecil,” tutur SB kepada Pikiran Merdeka akhir pekan lalu.
KIAN SERING
Kasus persetubuhan dan pencabulan anak bukanlah hal baru di Aceh. Pada 1 Maret 2016 misalnya, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Aceh meringkus Ma atas kasus serupa.
Duda kelahiran 1976 itu ditangkap atas laporan kasus pelecehan seksual terhadap 12 anak usia 10 – 12 tahun dari sedesa dengannya, di Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar.
“Makin hari, fenomena tersebut makin kerap ditemukan. Belum lagi ada kasus serupa yang tidak dilaporkan ke pihak kepolisian,” kata Kombes Pol T Saladin.
Mantan Kabid Humas Polda Aceh itu mengingatkan, pelaku pelecehan seksual terhadap anak bisa hadir dari kalangan terdekat. Dia pun meminta para orang tua selalu waspada dan mengontrol pergaulan anak-anaknya.
Menurutnya, orangtua berperan penting mencegah pencabulan. “Bila si anak sering diam, tidak ceria, bicarakan dan tanyakan kenapa. Karena pelaku bisa siapa saja, kadang-kadang orang yang sangat dekat,” kata Kombes Pol Saladin kepada Pikiran Merdeka saat itu.
Saladin mengingatkan agar orangtua memperkuat komunikasi dengan anaknya. Anak-anak menurutnya harus diawasi setiap hari sehingga bisa terhindar dari kasus itu.
Dia juga menegaskan orangtua harus berani melapor jika mendapati anaknya menjadi korban pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, dengan menjamin privasi pelapor tak akan dipublis ke media.
PERAN LINGKUNGAN
Dari kajian psikologis, pelecehan anak bisa terhindar jika calon pelakunya didukung pembentukan super ego yang kuat, seperti kepedulian masayakat sekitarnya.
Setidaknya demikian dikatakan Nur Janah Nitura, Direktur Eksekutif Psikodista Konsultan dalam sebuah wawancara dengan Pikiran Merdeka terkait maraknya kasus pelecehan anak di Aceh.
Dia menerangkan, ada dua tipe pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak, yaitu pedofilia dan child molester.
Seorang pedofil sebutnya, memiliki kelainan jiwa berupa hasrat seksualnya hanya bisa dilampiaskan kepada anak-anak dan biasanya memiliki banyak korban.
“Ada satu lagi model pelaku dengan istilah child molester, yaitu seseorang yang melakukan penganiayaan seksual anak-anak,” ujar psikolog Aceh itu.
Nur Janah Nitura mengatakan, kasus seperti dialami Ma atau SB ada kaitannya dengan id, ego, dan super ego dalam setiap diri manusia.
Id ialah instingtif (nafsu), berada pada lapisan terdalam diri manusia. Ego berada di lapisan kedua, posisi di mana ia bisa atau tidaknya mengerem instingnya untuk dituangkan dalam dunia nyata.
“Super ego itu berada pada posisi yang lebih tinggi. Ia bisa menghindari hal-hal negatif. Ini biasanya berada dalam bingkai religi,” sebutnya.
Ma atau SB mungkin punya karakter bagus, tapi mereka hanya menetralisir dalam bingkai ego saja, karena tidak punya super ego yang kuat.
Pembentukan super ego yang kuat menurut Nur Janah bisa melalui kegiatan sosial dan keagamaan, seperti keteraruran salat fardu, pergaulan dengan tokoh-tokoh agama atau masyarakat, menghadiri majlis taklim, dan salat berjamaah.
Dianalisisnya, andai pria seperti Ma dan SB punya super ego yang kuat, ketika menghadapi situasi yang melanggar dengan norma agama dan sosial, mereka bisa menghindari hal itu.
Nur Janah juga menyarakan setiap orangtua di Aceh memerhatikan interaksi sosial anak-anak mereka. Aurat anak-anak jangan dibiarkan terbuka meski mereka masih di bawah umur.
“Sekarang banyak orangtua menyebarkan foto anak-anaknya di media sosial, bahkan ada foto bayi telanjang baru lahir diunggah ke akunnya. Jaman sekarang tak bisa lagi seperti itu, karena saat ini pelaku pedofilia dan child molester ada di mana-mana,” dia mengingatkan.
Sebagai upaya preventif, harap Nur Janah, masyarakat perlu meningkatkan kepedulian sosial, terutama terhadap sesama warga.[]
Belum ada komentar