Pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Pemerintah Aceh, dirasa tak memiliki makna apapun. Opini tersebut dinilai tidak murni bagian dari proses pengukuran kinerja birokrasi.
Sudah menjadi rahasia umum, jika raihan WTP sarat nuansa politis. “Justru dengan makin banyak opini WTP, makin terlihat ada semacam negosiasi yang sifatnya politis dalam prosesnya. Ini tak berbeda dengan penghargaan dari Bappenas kepada pemerintah untuk perencanaan terbaik, ada lobi-lobi juga di sana,” kata pengamat politik T Kemal Fasya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (17/6) lalu.
Ia sendiri mengaku tak begitu percaya dengan model administrasi keuangan di atas kertas, seperti yang menjadi objek pemeriksaan BPK tersebut. Jika dicermati, lanjut Kemal, memang tidak ada yang menonjol dari reformasi tata kelola pemerintahan, lebih-lebih di daerah. “Tidak ada yang mampu memberi hasil nyata bagi masyarakat,” tuturnya.
Lantaran tidak meyakinkan, Kemal mengatakan bahwa opini dari BPK tak lagi relevan untuk menjadi reward terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Apalagi secara kasat mata dapat terlihat jelas perbedaan antara yang tertera dalam laporan administrasi dengan pencapaian di lapangan.
“Saya yakin dengan terungkapnya kasus suap WTP kemarin di nasional cukup membuat daerah mulai ‘bisik-bisik’ khawatir. Hanya saja belum ada yang tertangkap tangan di sini,” sindir Kemal.
Posisi Aceh, sebutnya, terdampar di peringkat lima besar daerah dengan korupsi tertinggi. Raihan WTP yang disapu bersih seluruh pemerintah kabupaten/kota di Aceh terkesan sangat menggelikan. Semakin aneh jika temuan-temuan yang berpotensi merugikan negara, tapi tak dijadikan pertimbangan dalam kualifikasi kinerja. Apalagi setiap daerah diketahui ada indikasi penyimpangan dalam penganggarannya. “Saya kira, di Aceh hampir semua daerahnya sebenarnya tidak berhak dapat WTP.”
Temuan dalam serangkaian proyek, misalnya tentang tidak efesien dan efektifnya perencanaan, kelebihan pembayaran, hasil yang tak sesuai spesifikasi, hingga kualitas pembangunan yang tak sebanding dengan biaya keluar, maka dapat disimpulkan ada banyak problem yang terjadi dalam proses pembangunan di Aceh.
Menariknya, di sisi lain perolehan prediket WTP kian membuat pemerintah sesumbar. Mulai bermunculan pengumuman di media yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah sudah transparan dan akuntabel. “Saya melihat itu satu kekeliruan pada cara pandang pemerintah, padahal publik sudah punya penilaian sendiri terhadap hal-hal semacam itu. Tak ada masyarakat yang memberi apresiasi pada WTP itu. Karena, kenyataannya memang tak ada kemajuan yang mereka rasakan,” kata Kemal.
Karena itu, ia menyarankan perlu ada keselarasan dalam pemberian opini WTP dengan hasil kerja pemerintah di lapangan. Temuan-temuan yang tergolong aspek faktual berkaitan dengan adminstrasi sebagai aspek sekunder. Ketidakcocokan antara kedua hal ini mensinyalir adanya kesenjangan antara apa yang dilaporkan dengan yang dikerjakan.
“BPK harus membenahi kembali pola internal auditingnya. Hindari kemungkinan praktik jual-beli opini, sebenarnya harus sinkron antara yang disebut dengan temuan terhadap laporan administrasi. Intinya, perbaikan pada sitem penilaian kinerja. WTP itu harus selaras dengan hasil yang diperoleh masyarakat,” tandasnya.[]
Belum ada komentar