Teuku Kemal Fasya, Mahar Politik untuk Biaya Politik

Teuku Kemal Pasya
Teuku Kemal Pasya

Adanya permintaan mahar politik dari Parpol kepada calon yang akan diusung dalam Pilgub Aceh, juga menjadi perhatian pengamat politik Teuku Kemal Fasya. Menurut Kemal, hingga sekarang tidak ada partai yang mengumumkan dukungan dan survei dikarenakan masih adanya praktik jual-beli dukungan.

“Mungkin saja mereka masih menunggu mahar, walaupun mereka menyatakan tak ada mahar politik. Namun ini masih terjadi,” ujar Kemal, Sabtu pekan lalu.

Menurut dia, walau tak disebut mahar, partai masih meminta apa saja sebagai partisipatif finansial dari kandidat yang akan didukung atau diusung. “Itu yang menyebankan situasi ini (arah dukungan Parpol) masih mengambang,” sambungnya.

Menurut akademisi dari Universitas Malikussaleh ini, bisa saja partai yang punya kursi di DPRA meminta kompensasi hingga Rp1 miliar per kursi. Hitungan ini terkait kecukupan syarat yang diperlukan oleh calon. Partai tersbut mengitung tentang political financing (pembiayayan politik) yang dibutuhkan.

“Mereka tidak mau memberikan dukungan kepada kandidat secara Cuma-cuma. Ini juga dalam konteks jual-beli atau negosiasi jumlah anggaran yang bisa diberikan oleh calon agar partai tersebut mendukungnya,” tegas Kemal.

“Biaya ini mereka nilai setara dengan biaya yang dikeluarkan oleh calon yang maju lewat jalur independen. Biaya maju indpenden itu besar, mulai mobilisasi dalam pengumpulan KTP hingga membayar relawan. Jadi, hitungan itu yang mereka pakai,” terangnya.

Baca: Mahar Tinggi Dukungan Parpol

Kecenderungan ini, kata dia, membuka mata kita bahwa partai politik sudah tidak ada yang mengedepankan idealisme. “Parpol menjadi semakin pragmatis. Mereka melihat momen Pilkada ini sebagai sebuah sirkuit perputaran uang yang besar,” katanya.

Parpol mengkalkulasikan, seorang kandidat baru bisa maju sebagai calon ketika dia punya dukungan 20 persen kursi di parelemen. Karena itu, anggota dewan tersebut menghitung jumlah biaya yang mereka keluarkan untuk duduk di kursi DPRA.

“Namun jika melihat sikap ketua umum partai seperti SBY dan Surya Paloh yang secara tegas mengharamkan mahar politik dalam Pilkada, ini berbenturan dengan kondisi real yang terjadi di daerah,” katanya.

Dikatakannya, anggaran besar yang dibutuhkan partai di daerah yang membuat mereka mencari pendanaan di momen Pilkada. “Tidak ada acara lain, kecuali DPP mau menalangi,” tutur jebolan UIN Sunan Kalijaga ini.

“Namun saya pikir DPP agak sulit melakukan itu. Di saat DPP mencari sumber-sumber keuangan yang semakin sulit, di mana peluang korupsi semakin sempit, tentu tidak mungkin DPP membiayai operasional partai di daerah,” lanjut Kemal.

Karena menyerahkan sepenuhnya kebutuhan biaya tersebut kepada kemampuan lokal, lanjut dia, maka tak ada cara lain selain membebankannya kepada kandidat yang akan mereka usung. “Hal ini tentu berbeda jika ada donatur politik yang menyuntik dana ke Parpol. Biasanya dalam bentuk patungan yang dikumpulkan para pengusaha untuk membantu cost politik. Garansinya, jika kemudian menang calon yang diusung partai itu maka mereka akan mendapatkan proyek,” paparnya.

Baca: Saat Cagub Dipalak Parpol

Disebut Kemal, fenomena mengambangnya dukungan akibat adanya kebutuhan mahar politik dalam mendapatkan dukungan Parpol bisa dilihat dari kecemasan Irwandi Yusuf saat ini. Menurut dia, apa yang ditulis Irwandi di facebooknya menggambarkan bahwa ia seperti patah hati dengan perilaku elit Parpol di Jakarta. “Di sisi lain, dia juga harus realistis bahwa politik membutuhkan anggaran besar. Uang itu tidak turun dari langit,” katanya.

Selain tekait transaksi politik, ada dua hal lain yang membuat mengambangnya keputusan Parpol di Aceh dalam mendukung Cagub.  Salah satunya belum ada keputusan resmi dari DPP atau ketua umum partai menyangkut Pilkada Aceh ke depan.

Mereka melihat, meskipun dalam survei Mualem tidak unggul namun ia didukung oleh partai yang punya loyalis kuat. “Ini menjadi salah satu pertimbangan partai-partai tersebut dalam menentukan dukungan untuk kandidat selain Mualem. Misalnya Demokrat yang akan mendukung Irwandi,” terang Kemal.

Faktor lain, lanjut Kemal, para pimpinan partai masih menunggu sinyal dari dukungan pemerintah dalam Pilkada Aceh. Saat ini, belum ada sinyal yang jelas dari Presiden Jokowi.

“Apabila presiden menentukan sikap bahwa masa depan demokrasi Aceh itu harus dilepaskan dari kegagalan selama ini, artinya ada preferensi politik dari Jokowi bahwa ia memberikan dukungan di luar Partai Aceh. Nah, itu memberikan semngat tersendiri bagi partai-partai tersebut untuk memberikan dukungan kepada Irwandi atau Tarmizi Karim,” jelas dosen antropologi Unimal ini.

Sayangnya, lanjut dia, sinyal tersebut tidak ditunjukkan oleh presiden. “Bahkan Jokowi terkesan bermain aman dengan melihat kondisi Aceh kekinian. Bisa jadi presiden akan mendukung kekuatan yang kira-kira dominan selama ini di Aceh, yang tidak ada lain adalah mendukung Partai Aceh,” tandas Kemal.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Lokomotif Pengawal UUPA
Dua anggota DPRA dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) Samsul Bahri Bin Amiren alias Tiyong dan Kautsar dari Partai Aceh (PA) yang didampingi kuasa hukum, Kamaruddin mengajukan judicial review ke MK. (IST)

Lokomotif Pengawal UUPA