Terusik Isu ‘Haram’ Memilih Perempuan

Energi Baru Vs Kota Madani (Foto Ist)
Energi Baru Vs Kota Madani (Foto Ist)

Boleh tidaknya perempuan pemimpin menjadi obrolan panas dalam debat kandidat Pilkada Banda Aceh. Dikhawatirkan bakal memecah-belah warga kota.

Di tengah riuh suara pendukung kandidat yang merubung dalam ruang tertutup Taman Budaya Banda Aceh, moderator Aryo Ardi berulang kali mengangkat tangannya. Presenter salah satu televisi nasional ini meminta dua kubu pendukung pasangan calon wali kota berhenti berteriak-teriak saat ia membacakan pertanyaan. Apa daya Aryo, setelah berhasil diredam sekali, di menit berikutnya, keriuhan yang sama kembali terjadi. Meski terlihat kewalahan, Aryo mampu memandu debat kandidat calon wali kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh 2017-2022 tersebut hingga tuntas.

Sorak-sorai yang memanaskan Taman Budaya pada Selasa pekan lalu itu tak terlepas dari materi yang mengalir di salah satu sesi debat. Ini merupakan debat publik kedua yang digelar Komisi Independen Pemilihan Kota Banda Aceh.

Ada dua pasangan calon yang ikut debat. Pasangan nomor urut satu Illiza Sa’aduddin Djamal-Farid Nyak Umar dan pasangan nomor urut dua Aminulah Usman-Zainal Arifin. Illiza merupakan petahana Wali Kota Banda Aceh. Calon wakilnya, Farid, merupakan politisi Partai Keadilan Sejahtera di DPRK Banda Aceh. Sementara calon wali kota Aminulah Usman merupakan mantan Direktur Utama Bank Aceh. Calon wakilnya, Zainal Arifin, bekas wakil Illiza.

Aminulah Usman dan Zainal Arifin maju dengan dukungan koalisi Partai Nasdem, Golkar, PAN, dan Gerindra. Sementara Illiza – Farid disokong Partai Demokrat, Partai Aceh, PKS, PPP, PKPI, dan Partai Damai Aceh.

Saat sesi tanya jawab, pasangan calon nomor urut satu memanfaatkan kesempatan sebagai penanya pertama dengan menguak polemik kepemimpinan perempuan. Sepengetahuannya, kata Illiza, budaya Aceh sangat menghargai kepemimpinan perempuan. Sejarah, sebutnya, mencatat dengan tinta emas ketika ada sultanah memimpin Aceh setengah abad. “Tapi yang kami rasakan, selama ini Pak Amin begitu gencar mengampanyekan anti terhadap kepemimpinan perempuan,” tuding Iliza disambut teriakan para pendukungnya.

Farid menimpali dengan bertanya mengenai latar belakang mengapa pasangan calon nomor dua gencar mengampanyekan isu tersebut. Dalam waktu sekian detik tersisa, Farid melayangkan pertanyaan dengan sigap. “Terakhir, tahukah Pak Amin, jika mengampanyekan anti perempuan, maka Anda telah menutup peluang bagi perempuan untuk berkiprah di ruang publik,” ujar Farid dengan lantang, lagi-lagi, diikuti sorakan para pendukungnya.

Giliran menjawab, Aminullah menangkis semua tudingan yang dilontarkan Illiza-Farid. “Isu kepemimpinan perempuan itu bukan urusan kami. Tapi itu urusan ulama. Ulama yang menyampaikan hal tersebut, di koran-koran. Kami tidak pernah menyampaikan hal demikian. Jika Pak Farid ingin tahu lebih jelas, silakan jumpai ulama yang mengungkapkan hal tersebut,” ujarnya. Namun, Aminullah tak menyebutkan siapa ulama yang dimaksudnya.

Dalam sisa waktu yang tersedia untuk menjawab pertanyaan lawan, Zainal juga menanggapi kemudian. “Kami harap pada paslon (pasangan calon) satu, janganlah isu ini dipolitisir kalau ingin berdebat mengenai masalah itu. Kami sadar persis, populasi perempuan ada 52 persen di Banda Aceh. Kami sangat menghargai perempuan,” sambung Zainal. Suara pendukungnya mulai riuh membalas sorak, bercampur dengan pekik takbir.

Mendengar jawaban itu, Illiza terlihat agak gusar saat menanggapi kembali. Ia merasa lawannya belum menangkap baik pertanyaan yang ia ajukan. Di tengah suasana yang kian gaduh di barisan pendukung, Farid buru-buru menyambung. “Bukankah persoalan kepemimpinan sudah selesai berabad-abad yang lalu, dan sampai kini pun tidak ada fatwa yang dikeluarkan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) terkait dengan larangan perempuan memimpin,” ujar Farid sambil ditimpa suara nyaring IIliza. “Catat itu, catat!”. Saat itu pula moderator kembali mengangkat tangan, meminta para pendukung menahan emosinya agar debat tetap berlangsung lancar.

Baca: Meraih Pemilih Lewat Khilafiyah Perempuan

Usai debat, ketua tim pemenangan IIliza-Farid, Zulfikar Abdullah mengaku kecewa terhadap pasangan Aminullah-Zainal. Ia menilai rivalnya itu tidak menjawab secara tuntas soal munculnya polemik penolakan kepemimpinan perempuan. Bagi Zulfikar, isu ini cukup merugikan kubunya selama ini. “Kita hanya ingin tahu apa motivasi dari kubu pasangan calon nomor dua dalam mengampanyekan anti kepemimpinan perempuan selama ini. Namun pembahasannya tidak clear dalam debat kemarin, Pak Amin menyangkalnya,” keluh Zulfikar.

Ia juga sadar Aminullah tidak pernah terlihat mengungkapkan penolakan tersebut secara lisan. Namun, tambah Zulfikar, larangan memilih pemimpin perempuan berulang kali disampaikan oleh juru kampanye paslon dua di berbagai kesempatan, baik dalam kampanye dialogis maupun kampanye terbuka. Ia melihat hal ini secara tersirat ada restu dari Amin-Zainal agar isu ‘haram’ memilih perempuan bergaung secara meluas di ruang publik. “Bahkan ada rekaman kampanye terbuka, jurkam (juru kampanye) mengatakan seperti itu. Jurkam itu kan tidak terlepas dari paslon. Dan jangan pula dilepaskan,” ujarnya

Ketika Iliza-Farid menanyakan isu itu dalam debat terakhir tersebut, tujuannya menurut Zulfikar untuk mengetahui sejauh mana pengembangan sumber daya perempuan akan dilakukan oleh Aminullah-Zainal. “Apakah pemunculan isu itu menandakan upaya mereka ingin menjauhkan perempuan dari ranah sosial politik, atau bagaimana? Jika memang tidak setuju, apa solusinya? SDM perempuan mau diarahkan kemana? Ini kan pertanyaan yang akan tergambar dalam benak perempuan di Banda Aceh. Itu yang ingin kita kembangkan dalam debat kemarin,” kilah Zulfikar.

Berkaitan dengan hal ini, Pikiran Merdeka juga telah berupaya menagih keterangan dari kubu Aminullah-Zainal. Namun, juru bicara tim suksesnya, Arief, enggan berkomentar banyak mengenai tudingan kubu Iliza terhadapnya. “Itu bukan wilayah kami. Dan kita tidak ingin mengembangkan isu ini karena sama sekali bukan merupakan strategi tim pemenangan,” ujar Arief lewat pesan singkat, Jumat pekan lalu.

Polemik kepemimpinan perempuan ternyata ikut keluar dari ruang debat. Tak hanya berkeliaran di sosial media tapi juga di dunia nyata. Pantauan Pikiran Merdeka, selepas salat Jumat pekan lalu, di depan Masjid di Ulee Lheue terlihat seorang laki-laki paruh baya membagikan selebaran berisi kutipan berita sebuah surat kabar. Isinya, pernyataan seorang ulama Aceh mengenai tidak ada dalil yang melarang kepemimpinan perempuan. Tak hanya selebaran, di tepi trotoar salah satu sudut Jalan Teungku Daud Beureueh juga terpajang sebuah baliho besar yang isinya mirip selebaran tersebut. Tak jauh dari baliho yang dipajang agak menjorok ke badan jalan itu, ada spanduk kampanye pasangan Illiza-Farid.

Analis politik Aceh Institute, Danil Akbar Taqwadin menilai, dengan mempertanyakan polemik itu dalam debat, semakin terlihat kekhawatiran dari kubu petahana terhadap berbagai pernyataan di banyak media belakangan ini yang isinya menolak kepemimpinan perempuan. “Pertanyaan tersebut bisa saja ditanyakan oleh Iliza- Farid guna mempengaruhi voters,” ujar Danil, Jumat pekan lalu.

Danil menganggap wajar jika kedua kubu menggunakan segala momentum untuk mempengaruhi pemilih. Namun, kata dia, melihat jumlah populasi perempuan yang lebih dari 50 persen di Banda Aceh, isu larangan perempuan memimpin pemerintahan tak bakal menimbulkan pengaruh signifikan. “Ada relevansi dalam mempengaruhi pilihan masyarakat. Tapi, saya rasa itu tidak akan menjadi faktor utama,” ujarnya.

Hal senada diutarakan peneliti Jaringan Survey Inisiatif, Aryos Nivada. Menurutnya, dengan tingkat pendidikan dan kepekaan yang tinggi terhadap informasi, pemilih di Banda Aceh lebih cerdas melihat isu tersebut. “Jadi yang menjadi alat ukurnya sekarang adalah kinerja dan kapasitas dari personal kandidatnya, bukan soal laki-laki atau perempuan lagi,” ujar Aryos saat ditemui Rabu pekan lalu. .

Tingkat pendidikan, kata dia, tak berbanding lurus dengan partisipasi politik seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka posisi pemikiran semakin kuat. “Seperti ada yang berpikir, ‘untuk apa saya memilih jika tidak ada juga manfaatnya untuk saya?’. Pemikiran apatis semacam ini bisa saja muncul. Kecuali jika ada efek, maka mereka pasti berduyun-duyun dalam memilih seseorang,” terangnya.

Baca: Asa Kaum Disabilitas Banda Aceh

Ditinjau dari itu, kata Aryos, dapat disimpulkan siapa yang cerdas dalam meraih simpati dengan cara memberikan pencerahan secara politik melalui visi misi dan program kerja yang terukur, maka orang itulah yang akan dipilih masyarakat.

Sementara, kata Danil Akbar, dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, negara telah memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menduduki jabatan tinggi di pemerintahan. “Bahkan, melihat sejarah Aceh sendiri, kaum wanita bukan hanya diberikan kesempatan, namun juga jabatan dalam Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16. Sepeninggal Sultan Iskandar Tsani, Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin dan kemudian dilanjutkan oleh tiga sultanah lainnya dalam rentang waktu setengah abad,” terang Danil.

Selain itu, terdapat banyak pula kisah sejarah yang menceritakan pahlawan wanita Aceh memimpin perang melawan kolonialisme. “Atau, kita bisa merujuk pada dinamika konflik Aceh, terutama konflik antara GAM dan RI, di mana kaum wanita terutama di zona hitam pernah menjadi tulang punggung keluarga ketika suami mereka tidak leluasa mencari nafkah akibat tekanan militerisme,” lanjutnya.

Bagi Danil, mempertanyakan kepemimpinan perempuan sama seperti mempertanyakan sejarah Aceh itu sendiri. Namun, ia menghargai interpretasi masyarakat mayoritas di Aceh, apapun bentuknya. Pembahasan mengenai kepemimpinan perempuan hingga kini diakuinya memang masih diperdebatkan banyak pihak. “Bukan berarti pendapat ini tidak dapat diperdebatkan lebih lanjut. Walaupun negara telah memberikan kesempatan ruang bagi perempuan, namun masyarakat Banda Aceh dengan Islam sebagai agama mayoritas, juga bisa punya interpretasi yang berbeda terhadap hal ini,” ujarnya.

Yang terpenting saat ini, lanjut Danil, adalah membentuk masyarakat yang peka pada persoalan politik. Tidak hanya sekedar kritis, tapi juga berani menyuarakan aspirasinya.

“Terutama bagi kaum wanita, membangun kepekaan berlandaskan ilmu pengetahuan, bijak memahami realita yang ada, kemudian berusaha memperbaiki dan membangun kepentingan perempuan dalam politik secara perlahan-lahan,” ucapnya. Tentu membutuhkan proses yang tidak singkat dalam membangun proses mencerdaskan terhadap perempuan. “Terlebih selama ini kita dibesarkan dalam budaya patriarki.”[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait