Catatan Saiful Akmal (Senior Program Manajer Aceh Institute)
MoU Helsinki sudah memberikan warna tersendiri dalam wajah kehidupan masyarakat Aceh. Banyak hal positif dan kemajuan yang sudah dicapai. Pemerintah Republik Indonesiah sudah memberikan amnesti (ampunan) kepada semua yang terlibat dalam kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selambat-lambatnya adalah 15 hari sejak MoU Helsinki ditandatangani. Seluruh narapidana politik (Napol) dan tahanan politik (Tapol) yang pernah dan sempat ditahan akibat keterlibatan dalam konflik Aceh harus sudah dibebaskan tanpa syarat.
Lebih jauh lagi, semua yang telah diberikan amnesti dan dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) atau ditahan di tempat-tempat penahanan lainnya harus memperoleh kembali semua hal-hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial mereka. Hak-hak politik termasuk di antaranya untuk bisa berperan aktif dalam proses politik, baik pada konteks politik lokal maupun politik nasional.
Salah satu di antara contoh dikembalikannya hak politik adalah untuk bisa memilih dan dipilih pada kedua ruang lingkup proses politik di atas. Demikian juga mereka yang sudah mendapatkan amnesti dan pernah meninggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia bisa kembali mendapatkan kewarganegaraan mereka sebagai bagian dari konsesi politik MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Sebagai contoh, Zaini Abdullah, Gubernur Aceh periode lalu yang merupakan mantan salah satu menteri di tubuh GAM, (Almarhum) Hasan Tiro yang merupakan sang deklarator dan ideolog GAM, atau juga Zakaria Saman- yang mantan Menteri Pertahanan GAM.
Sementara itu, dalam hak ekonomi, mereka yang mendapatkan amnesti juga bisa mendirikan perusahaan dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi secara sah, sama seperti anggota masyarakat lainnya. Dalam proses reintegrasi, Jakarta dan Aceh juga sudah berupaya membantu mantan GAM atau masyarakat yang terkena imbas langsung konflik untuk diberikan konsesi ekonomi. Dalam aspek sosial, para mantan GAM juga bisa kembali bergabung dengan masyarakat dan beraktifitas secara normal sebagaimana biasanya.
Bisa dilihat bahwa Pemerintah Jakarta sudah memenuhi janjinya untuk menyediakan, sekaligus menyalurkan dana reintegrasi melalui Pemerintah Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sebagai lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk menyalurkan dana reintegrasi sudah menyelesaikan sebagian besar mandatnya.
Namun demikian, sampai berakhirya BRA I tahun 2012, tidak semua tugas yang dibebankan kepada BRA berhasil diselesaikan secara maksimal. Di antaranya kewajiban menyediakan konsesi lahan pertanian dan dana kepada Pemerintah Aceh untuk memudahkan proses reintegrasi, sampai saat ini belum terealisasi oleh Pemerintah Jakarta. Akibatnya, Pemerintah Jakarta dan Pemerintah Aceh terpaksa membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menyelesaikan sengketan klaim yang tidak terselesaikan oleh BRA bentukan pertama.
Selain itu, ada sejumlah poin-poin MoU yang sampai sekarang belum terwujud. Dari total 71 pasal Perjanjian Damai Aceh, ada paling tidak 8 pasal lagi yang belum direalisasikan, misalnya pasal mengenai nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih bisa ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh paska Pemilu 2009. Demikian juga pasal kontroversial tentang symbol wilayah, termasuk bendera, lambing, dan himne khusus Aceh. Termasuk di dalamnya adalah beberapa pasal ‘penting’ dan ‘berat’ terealisir lainnya seperti mengembalikan perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara (Sumut) yang merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956, hak untuk menerbitkan suku bunga berbeda dengan Bank Indonesia dan mendapatkan dana melalui hutang luar negeri, menyelenggarakan peradilan dan pengadilan tinggi yang independen dan pengadilan sipil sebagai mahkamah bagi kejahatan sipil dan militer di Aceh.
Berbicara mengenai keberlanjutan perdamaian (sustainable peace) di masa-masa paska konflik, rasa-rasanya tidak mungkin melupakan aspek rekonsiliasi dan kohesi sosial. Selain aspek reintegrasi tentunya, kedua aspek ini memainkan peran penting dalam menjamin keberlangsungan perdamaian jangka panjang dalam segala jenis wujudnya.
Indikator suksesnya perdamaian paripurna adalah terwujudnya kohesi sosial dalam masyarakat. Untuk mewujudkan ini, harus bisa dipastikan bahwa setelah berjalannya perjanjian damai dalam periode tertentu 12-25 tahun katakanlah, semua warga Aceh yang terlibat konflik, atau minimal dituduh terlibat konflik sudah kembali ke Aceh. Mereka: para pencari suaka dan pengungsi politik bisa kembali dengan sukarela dan bisa hidup secara layak, tidak hanya dari aspek keamanan politik, namun juga terjamin secara ekonomi dan sosial di Aceh. Intinya, mereka tidak dianggap sebagai warga kelas dua paska damai.
Pada akhirnya, kita semua berharap, yang tersisa dari konflik tidak melulu adalah masalah, namun juga lesson learnt dan best practices khas Aceh. Perdamaian di Aceh baru bisa dianggap sukses jika level tercapainya kohesi sosial sudah menjadi narasi besar dan tidak hanya itu bisa kita lihat secara nyata dalam keseharian di Aceh. Kegagalan perdamaian adalah ketika kita tidak bisa move on dan melulu berada pada tahap 1-5 tahun paska konflik. Padahal itu adalah masa-masa reintegrasi. Sementara kita melupakan aspek rekonsiliasi dan kohesi sosial. Atau kita tertahan dan tidak selesai dalam merumuskan konsep rekonsiliasi ala Aceh.
Kita berdebat lama soal mengambil pelajaran dan format baku dari proses rekonsiliasi di Rwanda, Afrika Selatan atau di beberapa tempat yang lain, sementara kondisi kekinian paska konflik Aceh sangatlah khas dan berbeda. Anggap saja sekarang kita berada di fase rekonsiliasi ini setelah 12 tahun, maka kita tidak boleh berlama-lama untuk memediasikan konsep Aceh tentang rekonsiliasi, sesuai dengan kearifan lokal dan juga menyesuaikan dengan aturan hukum yang ada.
Karena, jikalau tidak, cita cita sustainable peace untuk mencapai kohesi sosial akan sedikit atau bahkan memakan waktu yang lebih lama dari seharusnya. Berapa lama kita butuh waktu menuju ke sana? Hanya kita bersama yang bisa menjawab pertanyaan ini sesegera mungkin. Salam Damee Aceh.[]
Belum ada komentar