PM, TAPAKTUAN – Ketua Harian Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh, T Sukandi, meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh Selatan meninjau ulang keabsahan (legalitas) pencalonan pasangan calon (Paslon) petahana, HT Sama Indra SH – Drs. H Harmaini M.Si dalam kontestasi Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Aceh Selatan tahun 2018.
Soalnya, Bupati Aceh Selatan HT Sama Indra SH, dinilai telah melanggar aturan perundang-undangan terkait kebijakan melakukan mutasi puluhan pejabat eselon II, III dan IV menjelang dua hari lagi cuti kampanye.
“Kebijakan Bupati Aceh Selatan menggelar mutasi pejabat pada Selasa (13/2) kemarin tersebut dinilai telah mengangkangi aturan perundang-undangan. Karena itu, kami meminta kepada KIP dan Panwaslih segera meninjau ulang keabsahan pencalonan Paslon petahana dalam Pilkada 2018,” kata T Sukandi kepada wartawan di Tapaktuan, Rabu (14/2) kemarin.
Kata dia, ada dua surat dari Mendagri yang menjadi dasar Bupati Aceh Selatan menggelar mutasi pejabat beberapa hari lalu. Yakni surat Mendagri Nomor : 821/596/OTDA tanggal 25 Januari 2018 tentang Persetujuan Pergantian Pejabat Administrator dan pejabat pengawas dilingkungan Pemkab Aceh Selatan dan surat Mendagri Nomor 821/618/SJ tanggal 29 Januari 2018 tentang Persetujuan Pelantikan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dilingkungan Pemkab Aceh Selatan.
Dasar hukum larangan mutasi bagi calon petahana, kata dia, dapat ditemukan dalam Pasal 71 ayat 2 Undang-undang Nomor : 10 tahun 2016 yang menyatakan “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri”.
Kemudian dalam penjelasan pasal a quo dirinci lagi bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka “Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas. Yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.”
“Ketentuan mutasi ini diperuntukkan bagi kepala daerah yang sedang menjabat (petahana) dan ingin kembali mencalonkan diri jadi kepala daerah untuk periode berikutnya. Pasal 71 ayat 2 UU No 10 tahun 2016 merupakan ketentuan yang bersifat imperatif (memaksa). Uraian pasal dan penjelasaan ketentuan ini hanya membolehkan mutasi dalam 2 hal yaitu atas izin Mendagri atau terjadi kekosongan jabatan,” jelas T Sukandi.
Atas dasar itu, kata dia, penggantian pejabat karena kekosongan jabatan syaratnya pejabat pengganti yang diangkat adalah pejabat sementara atau pelaksana tugas bukan pejabat definitif. Sebab, jika pejabat pengganti jabatan yang kosong itu diangkat secara permanen maka jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 71 UU No 10 tahun 2016.
Menurut T Sukandi, landasan teleologis dari pasal tersebut yaitu agar calon petahana tidak menggunakan wewenangnya sebagai pemilik kekuasaan untuk mengintimidasi, memberikan rasa takut dan memberikan efek kecemasan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam melaksanakan hak pilihnya berdasarkan hati nuraninya. Kemudian, agar calon petahana tidak menggunakan kewenangan mutasi dalam mencari tambahan suara dan atau melarang PNS untuk memilih calon lain.
“Termasuk menciptakan stabilitas pemerintahan dalam lingkup pemerintahan daerah, dan mencegah itikad buruk bagi calon selaku petahana untuk menyalahgunakan kekuasaannya melakukan hal-hal yang menguntungkan baginya dalam pemilihan kepala daerah,” tegasnya.
Lanjut Sukandi, sanksi atas kebijakan mutasi yang dilakukan oleh petahana berupa sanksi administrasi yakni pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 71 ayat 5 UU 10 Tahun 2016 yang isinya “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU/KIP.
“Terang-benderang dinyatakan dalam pasal di atas bahwa yang memberikan sanksi atas perbuatan petahana melakukan mutasi adalah KPU/KIP. Sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon harus dimaknai dalam dua hal, pertama bakal calon yang berstatus petahana dan telah melakukan mutasi sebelum penetapan calon maka yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga tidak ditetapkan sebagai calon, aturan teknis ini dipedomani dalam Pasal 87 a ayat 1 sampai 3 PKPU No 9 Tahun 2016. Kedua, petahana yang telah ditetapkan oleh KPU/KIP sebagai calon dan melakukan mutasi sebelum atau saat menjadi calon maka yang bersangkutan dibatalkan sebagai calon (peserta Pilkada), aturan teknis mengenai hal ini juga dapat ditemui dalam Pasal 88 PKPU No 9 tahun 2016,” ungkap Sukandi.
Menurut Sukandi, poin yang perlu dicros check pada kebijakan mutasi yang dilaksanakan Bupati Aceh Selatan pada Selasa (13/2) lalu adalah penggantian pejabat karena kekosongan jabatan, syaratnya pejabat pengganti yang diangkat adalah pejabat sementara atau pelaksana tugas bukan pejabat definitif. Sebab jika pejabat pengganti jabatan yang kosong itu diangkat secara permanen maka jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 71 UU No 10 tahun 2016.
Sementara, kata dia, dalam kebijakan mutasi yang telah dilaksanakan tersebut hanya untuk pejabat eselon II yang terlihat mengisi kekosongan jabatan. Sedangkan pejabat eselon III dan IV mayoritasnya merupakan para pejabat yang dipromosikan pada posisi jabatan baru.
Tidak hanya itu, T Sukandi juga mempersoalkan kebijakan mutasi pejabat dilaksanakan Bupati Aceh Selatan HT Sama Indra setelah berlangsungnya penetapan pasangan calon pada Senin (12/2) dan bahkan persis beberapa jam setelah selesai pengundian nomor urut pasangan calon peserta Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Aceh Selatan tahun 2018 pada Selasa (13/2) sekitar pukul 14.30 WIB.
“Maka atas dasar itu, secara defacto dan dejure HT Sama Indra SH bukan lagi berstatus Bupati Aceh Selatan melainkan Bupati non-aktif yang tidak memiliki lagi kewenangan mengambil kebijakan yang sifatnya prinsipil,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Panwaslih Aceh Selatan Hendra Saputra yang dimintai konfirmasi secara terpisah kembali menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan dan penelusuran legalitas surat izin yang dikeluarkan Mendagri sebagai dasar digelarnya mutasi oleh Bupati Aceh Selatan tersebut.
“Dalam konteks ini kami tidak boleh bertindak secara ceroboh melainkan harus dilengkapi dengan data-data otentik yang akurat dan lengkap sebelum mengambil sebuah keputusan. Makanya, menyikapi kebijakan mutasi yang digulirkan Bupati Aceh Selatan tersebut saya telah menginstruksikan anggota Panwaslih untuk menelusuri dasar hukumnya. Dalam waktu dekat, kami juga akan menyurati secara resmi Pemkab Aceh Selatan untuk mendapatkan data-data yang lengkap serta konfirmasi yang jelas,” papar Hendra.
Saat ditanya apakah Pemkab Aceh Selatan telah memberitahukan dari awal terkait rencana akan digelar mutasi?, secara gamblang Hendra menyatakan bahwa sampai saat ini pihaknya belum menerima surat pemberitahuan apapun dari Pemkab Aceh Selatan terkait kebijakan mutasi dimaksud. Anehnya lagi, ketika persoalan itu ditanyakan kepada pihak KIP Aceh Selatan, pihak Panwaslih juga menerima penjelasan yang sama.
“Saya juga secara khusus telah menghubungi salah seorang komisoner KIP Aceh Selatan menanyakan perihal surat izin dari Mendagri tersebut apakah sudah diserahkan Pemkab Aceh Selatan sebelum menggelar mutasi pejabat. Tapi pihak KIP justru menyatakan sejauh ini belum menerimanya. Padahal secara aturan, jika paslon petahana berencana menggelar mutasi menjelang Pilkada, wajib memberitahukannya terlebih dahulu kepada KIP dan Panwaslih,” sesalnya.()
Belum ada komentar