PM-Banda Aceh–Dalam menyelesaikan sengketa lingkungan, baik antara perusahaan dengan masyarakat maupun antar kelompok masyarakat, butuh pemimpin populer. Pemimpin poluer merupakan orang yang netral dan dapat diterima kedua pihak yang bersengketa.
Hal ini disampaikan tim peniliti In Search of Consensus Building in Local Enviromental Disputes in Aceh (ICAIOS) pada acara diseminasi hasil penelitian pembangunan konsensus sengke lingkungan Aceh di Banda Aceh, Kamis (23/10). Penilitian ICAIOS ini dilakukan pada lima kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Timur, Aceh Utara dan Bener Meriah selama tiga bulan (Januari-Maret 2014).
Direktur ICAIOS, Dr Saiful Mahdi M.Sc mengatakan dari sejumlah sengkela lingkungan yang diteliti di lima kabupaten itu, delapan kasus diantaranya tercapai konsensu atau kesepakatan di luar ranah hukum oleh kedua pihak yang bersengketa.
Kedelapan kasus itu, rincinya, perselihan antara nelayan dengan nelayan di Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar dan di Aceh Barat. Perselisihan antara PT Lafarge Cemen dengan masyarakat Loknga-Leupung, Aceh Besar dan PT Rencong Pulp and Paper Indoensia (RPPI) dengan masyarakat Nisam, Aceh Utara.
Kemudian perselisihan antara pembalak hutan liar (Illegal Longers) dengan masyarakat di Kecamatan Lamteuba, Aceh Besar dan perselisihan petani kebun peternak di Kecamatan Mesidah, Bener Meria-Aceh Tengah.
“Hasil riset kami, dalam mencapai konsensus ini adalah perlunya pemimpin populer di tingkat masyarakat yang terlibat perselisihan. Pemimpin dimaksud bukan karena jabatannya dan manajemennya tetapi individu-individu yang dapat diterima kedua pihak atas pertimbangan-pertimbangan tertentu menurut kedua pihak,” kata Saiful.
Faktor lain yang dapat menetukan konsensus, lanjutnya, butuh peran masyarakat sipil atau madani, termasuk media. Saiful juga menyebutkan, hasil temuan juga ditemukan keterlibatan LSM yang memihak ke salah satu pihak yang berselisih justru akan mempengaruhi tercapianya konsensus ini.
“Pemberitaan media yang terkadang memunculkan polemik juga bisa mengakibtakan konsensu susah dicapai,” imbuh Saiful yang didampingi sejumlah tim peniliti ICAIOS diantaranya, Dr Askal Salim, Sehat Ihsan Sadiqin, Muhajir Al Fairusy, Risanna Rosemary, Shaumil Hadi, Dara Aldila, Zakiyah dan M Nizar .
Di sisi lain, Saiful mengatakan isi konsensus kedua pihak yang berselisih terdapat sejumlah kesepakatan-kesepakatan yang dapat diterima kedua pihak sebagaimana atas hasil musyawarah yang ditengahi pemimpin populer tersebut.
Ia mencontohkan, kasus antar nelayan dengan nelayan di Aceh Barat terkait pukat harimau oleh sebagian nelayan yang meresahkan nelayan lainnya. Hasil kesepakatan, katanya, Panglima Laut di sana memberi kesepakatan dengan menyekat lokasi.
“Dalam kesepakatan dituangkan dimana lokasi pukat harimau dan kapan waktunya memakai pukat harimau serta kesepakan lain yang isinya tidak merugikan kedua pihak,” katanya.
Sementara, perselisihan antara perusahaan dengan masyarakat, isi kesepakan mayoritas adanya konpensasi atau insentif kepada masyarakat oleh perusahaan. Misal, PT Lafarge di Loknga, perusahaan memberikan intensif pertahun yang dikelola masyarakat di sana.
Disinggung persentase penilitian antara yang tercapai konsensus dengan jumlah konflik lingkungan yang ada di Aceh, Saiful menjelaskan penelitian yang dijalankan ICAIOS ini hanya pada sengketa yang tercapai konsensus saja, tidak pada kasus lingkungan yang berakhir di muka hukum. (PM-016)
Belum ada komentar