Boleh tidaknya konser musik di Banda Aceh, sangat tergantung pada siapa penyelenggaranya.
Jumat malam, 26 Januari 2018, Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, penuh sesak. Ribuan orang larut dalam iringan musik salah satu grub band ternama Indonesia, Armada.
Dari atas panggung, Rizal, sang vokalis Armada tengah melantunkan tembang ‘Pemilik Hati’. Sesekali, Rizal melemparkan mikrofon ke penonton, mengajak penonton ikut bernyanyi. Beberapa penonton pun ikut bernyanyi.
Saat itu, konser yang dijadwalkan pukul 20.30 WIB akhirnya dimulai pukul 22.15 WIB. Salah satu produsen rokok menjadi promotor dalam kegiatan konser tersebut. Panitia memisahkan penonton berdasarkan gender. Sisi kiri panggung dipadati kerumunan pria, sementara wanita ditempatkan di sisi kanan panggung.
Tak jauh di belakang penonton, berdiri pasukan Ormas Islam yang sudah sejak pukul 18.00 WIB mengepung lokasi konser. Mereka menolak kegiatan itu karena menganggap melanggar syariat Islam. Sekitar pukul 19.30 WIB, pihak panitia, perwakilan Ormas Islam serta kepolisian dan Pemerintah Aceh melangsungkan rapat di mushalla lokasi terdekat. Mereka membahas permintaan Ormas Islam yang menuntut pembatalan konser.
Sementara pihak penyelenggara bersitegas kalau mereka tidak akan membatalkan konser karena telah mengantongi izin dari Pemko Banda Aceh sejak Desember lalu.
Setelah beberapa jam bersitegang, konser tetap saja tidak dibatalkan. Sontak hal ini memicu kericuhan dari anggota Ormas Islam yang hadir. Dengan teriakan gema takbir, mereka menuju panggung utama dan memaksa konser dihentikan.
Akibatnya, baku hantam antara Ormas Islam dan polisi pun tak terhindarkan. Namun, lagi-lagi pihak Ormas Islam tidak bisa membatalkan konser karena penyelenggara sudah mengantongi izin. Konser pun berlanjut hingga selesai.
Permintaan untuk membatalkan konser bukan hanya terjadi pada peristiwa itu. Berulang-ulang pihak Ormas Islam meminta agar konser musik tidak lagi digelar di Aceh.
Muslim At-Thahiry, perwakilan Ormas Islam menyebutkan, semua konser yang digelar di Aceh hanya berujung kemudharatan. “Konser itu banyak mudharatnya. Pertama, berkumpul antara laki-laki dan perempuan, banyak orang melalaikan salat dan sebagainya. Apalagi dihiasi dengan musik-musik yang berlebihan. Makanya timbul banyak protes dari berbagai Ormas Islam,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Rabu (24/01).
Ketua FPI Aceh ini memaparkan, dalam beberapa tahun terakhir Ormas Islam berhasil membatalkan beberapa konser yang mendatangkan artis lokal dan nasional. “Ini kita lakukan kerena bertentangan dengan syariat,” katanya.
Diakuinya, sejumlah kegiatan hiburan serupa juga bisa berlangsung mulus di Aceh. Hal itu, kata dia, kebanyakan acara itu di luar pengetahuan kalangan Ormas Islam.
“Kalau kita tahu, tetap melarangnya, siapun penyelenggaranya. Pernah di Lhoksemawe, kita gagalkan padahal sudah datang band, alat musik juga sudah. Cuma karena keterbatasan tadi, Ormas Islam tidak semuanya tahu ada acara hiburan,” timpalnya.
Menurut dia, pihak Ormas Islam juga telah menyepakati kegiatan hiburan yang banyak mengundang kemudharatan harus dihindarkan pelaksanaannya di Aceh. “Kami menilai, kegiatan konser itu tidak ada gunanya. Seharusnya untuk menjaga kekaffahan syariat Islam, kegiatan seperti itu harus dihindarkan. Kalau perlu, jangan diperbolehkan,” ujar Muslim At-Thahiry.
Karena pemerintah tidak mau menjalankan kesepakatan itu, lanjut dia, maka pihaknya sampai turun ke lapangan. “Mestinya pemerintah yang duluan menjegal kegiatan seperti itu, supaya tidak ada lagi protes dari kita. Yang kita protes kan sebenarnya kepada pemerintah sendiri,” ujarnya.
FATWA ULAMA
Soal kegiatan hiburan, kalangan ulama berpendapat, kegiatan menyanyi boleh-boleh saja. Namun, mesti disesuaikan dengan syariat islam. “Kalau sekedar nyanyi-nyayi saja tidak masalah. Tapi kalau bercampur laki-laki dan perempuan, itu yang tidak diperbolehkan,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh,, Selasa (23/01).
Muslim menegaskan, MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa terkait kriteria kegiatan seni dan hiburan menurut Syariat Islam. “MPU sudah mengeluarkan fatwa bagaimana kegiatan hiburan yang diatur dalam Sayriat Islam,” katanya.
Kriteria seni budaya dan hiburan yang diperbolehkan dalam Islam itu tertuang dalam fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 12 Tahun 2013. Fatwa tersebut mengatur seluruh isi konten nyanyian, kegiatan hiburan dan penonton.
Pertama, syair dan nyanyian tidak menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jamaah. Kedua, syair dan nyanyian tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ketiga, syair tidak disertai dengan alat musik yang diharamkan seperti bass, piano, biola, seruling, gitar dan sejenisnya. Empat, syair dan nyayian tidak mengandung fitnah, dusta, caci maki dan yang dapat membangkitkan nafsu syahwat.
Kemudian, penyair dan penyanyi harus memenuhi kriteria busana muslim dan muslimah. Lalu, penyair dan penyanyi tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berlebihan atau dapat menimbulkan nafsu birahi.
Selanjutnya, penyair dan penyanyi tidak bergabung laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Selain itu, penyair dan penyanyi tidak menyalahi kodrat sesuai dengan jenis kelamin. Lalu, penyair dan penyanyi tidak ditonton langsung oleh lawan jneis yang bukan mahram.
Berikutnya, ketika bernyanyi dilakukan pada tempat dan waktu yang tidak mengganggu ibadat dan ketertiban umum. Terakhir, penonton hiburan tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
“Tapi, sejauh ini kegiatan hiburan yang digelar belum sesuai dengan kriteria di atas,” tandas Muslim Ibrahim.
SOAL IZIN
Terkait kegiatan hiburan yang ada di Banda Aceh, Kepala Bidang Sarana dan Informasi Kantor pelayanan perijinan terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Banda Aceh, Surya Bakti menjelaskan, seluruh kegiatan hiburan perlu mengurus izin terlebih dahulu yang nanti akan dikeluarkan pihaknya.
“Jika tidak ada izin, maka kegiatan hiburan bisa dibatalkan oleh Satpol PP,” kata Surya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (25/01)
Sebelum memberikan izin, lanjut dia, ada beberapa persyaratan yang harus diikuti pihak penyelenggara. “Di sana (formulir perizinan) sudah diatur supaya kegiatan yang berlangsung sesuai dengan Syariat Islam. Misalnya memisahkan penonton laki-laki dan perempuan, mengatur busana penghibur dan penonton,” jelass Surya.
Ketentuan perizinan juga didasari pada Keputusan MPU Aceh Nomor 6 Tahun 2003. Selain itu, kata Surya, kalau event-nya besar, maka pihak penyelenggara dan segala bidang terkait akan membuat rapat.
Di dalam rapat, seluruh perencanaan kegiatan harus disampaikan ke pihaknya. “Ini dilakukan dengan maksud supaya nantinya tidak ada indikasi pelanggaran syariat dari apa yang sudah kita tetapkan tadi,” ujarnya.
Menurut ini, sejauh ini ada beberapa kegiatan hiburan yang terpaksa dibatalkan karena tidak mengantongi izin. Kegiatan tak berizin tersebut, diakui Surya, bukan hanya dari pihak swasta, namun pihak Kodam pun sering menggelar kegiatan hiburan tanpa seizin Pemko Banda Aceh.
“Kegiatan Kodam pun, jika tidak ada izin bisa dibatalkan sama Satpol PP. Kemarin itu ada acara kodam yang dibuat di salah satu hotel ternama, sempat kita gagalkan karena tidak ada izin,” ungkapnya.
Namun, ia mengaku ada keterbatasan pada pihaknya sehingga tidak semua kegiatan hiburan yang tidak berizin bisa dihentikan. “Terkadang kami tidak tahu mereka buat acara, makanya tidak dihentikan,” sahutnya.
REGULASI MENGGANTUNG
Dalam ketentuan yang disepakati MPU Aceh dinyatakan kegiatan hiburan seperti penampilan band, tarian dan lainnya adalah tidak sesuai dengan standarisasi Syariat Islam. Namun, kata Surya, sampai saat ini belum ada Peraturan Walikota (Perwal) ataupun Qanun yang mengatur mengenai standarisasi kegiatan hiburan itu sendiri.
“Fatwa MPU memang tidak boleh. Tapi sejauh ini kita belum ada regulasinya terkait bagaimana dikatakan hiburan yang diperbolehkan dan yang tidak. Makanya kita tidak bisa melarang pertunjukan-pertunjukan seperti konser ataupun sebagainnya,” jelas dia.
Ke depan, kata dia, pihaknya dan instansi terkait lainnya akan membahas mengenai regulasi itu. “Kita sudah rapat kemarin untuk mengusulkan dibuatnya Perwal atau qanun yang mengatur kejelasan standarisasi hiburan di sini. Tapi, sepertinya kalau qanun kan lama, maka kita awali dengan Perwal dulu,” tutup dia.[]
Belum ada komentar