PM, Banda Aceh – Puncak penyelewengan anggaran Aceh terjadi di tahun 2010 dengan nominal Rp6,4 triliun dalam 94 kasus. Angka itu telah membuat daftar temuan penyimpangan anggaran Aceh di tahun berikutnya terus meningkat, bahkan mengalahkan daerah lain di negeri ini.
Demikian disampaikan Koordinator GeRAK Aceh Askhalani menyikapi tingginya temuan penyelewengan anggaran di Aceh tahun 2013 yang nominalnya mencapai Rp7,4 miliar dalam 331 kasus sebagaimana diungkap Seknas Fitra, sehari sebelumnya.
“Jadi puncaknya terjadi di tahun 2010. Untuk tahun 2009 temuan penyimpangan anggaran di Aceh nilainya Rp850 miliar dalam 94 kasus, 2011 Rp7,7 miliar dalam 70 kasus dan 2012 Rp4 miliar dalam 93 kasus. Sementara untuk 2013 belum ada temuan karena hasil audit BPK belum selesai,” kata Askhalani kepada media ini, Sabtu (01/03/14).
Ini disampaikan Askhalani guna memperjelas tingginya temuan penyelewengan anggaran di Aceh pada posisi tahun 2013. Sekaligus menjawab persepsi banyak pihak yang menyebut hasil audit BPK 2013 belum selesai, sementara LSM anti korupsi telah merincikan temuan.
“Data ini temuan tahun 2009-2012, belum masuk hasil audit 2013. Mengapa dalam data Fitra disebut hingga 2013 itu, karena hasil audit 2012 didapat dalam audit tahun 2013. Makanya, saya katakan setiap temuan itu akan terus berantai ke tahun-tahun berikutnya,” jelas Askhalani.
Begitupun, jelas Askhalani, pada anggaran Aceh tahun 2013, Seknas Fitra Jakarta sudah merekomendasikan satu mata anggaran di Aceh sebagai salah satu temuan penyalahgunaan anggaran, yakni pada anggaran asuransi atau general chek up anggota DPR Aceh Rp3,1 miliar.
Menurut Askhalani, anggaran itu masuk daftar temuan Seknas Fitra karena pelelangannya disinyalir terindikasi menyahgunakan perinsip menyalahi tata kelola keuangan daerah. Pasalnya, perusahan asuransi dimenangkan yakni yang tertinggi penawarannya.
“Asuransi anggota DPRA tahun 2013 dikelola perusahaan PT Asuransi Bosowa Prikop Menara di Jakarta setelah menang tender dengan penawaran Rp3 miliar. Ini menyalahi aturan karena masih ada perusahaan asuransi yang menawarkan lebih rendah yaitu PT Asuransi Jiwa Adisana Wanartha yang menawarkan Rp2,8 miliar. Ini artinya memenangkan perusahaan berpenawar tinggi dalam pelelangan paket asuransi tersebut,” jelas Akhalani.
Selain itu, salah satu bibit temuan lainnya adanya aliran dana ke instansi vertikal yang berakibat terjadinya kevakuman penegakan hukum. Pemberian anggaran ke instansi vertikal akan berdampak negatif pada penegakan hukum di daerah. [PM-016]
Belum ada komentar