Surat

Surat
Surat

Haba Barlian AW

Cang  Panah, hanya istilah. Bukan benar-benar mencencang atau merajang nangka  untuk kepentingan “kuah beulangong”   waktu kenduri.  Cang panah adalah pembicaraan dua orang atau lebih dengan topik yang tak terlalu terfokus. Tapi, Bung, saya tidak bisa ngomong bareng dengan Bung seperti yang dimaksudkan dalam terminologi cang panah, karena Bung sangat sibuk selama menjadi orang penting. Sebetulnya bisa saja cang panah kita lakukan lewat telepon atau SMS. Tapi itu kan banyak menghabiskan pulsa, Bung. Dengan SMS? Maaf saya tak pinter memencetnya. (Kata anak-anak ,saya gaptek alias gagap teknologi).

Oleh karena itu saya menulis surat seperti ini  untuk Bung. Enak kan dipanggil Bung, ketimbang Teungku, Syedara, atau Aduen. Bung kan pernah tinggal di Jakarta,  apalagi Bung  sering mengatakan bahwa Bung pengagum Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahril, dan Bung Tomo. Mereka dipanggil Bung sebagai simbol merakyat dan egaliter. (Apa Bung masih merasa merakyat seperti yang kita sebut secara klise ketika mengkritik pejabat mapan dulu?)

Pertengahan tahun sembilan puluhan dulu Golkar juga membuka tradisi memanggil Bung dan Mbak—untuk mengganti sapaan  Pak dan Bu—sesama pengurus atau fungsionarois Golkar. Maka ada Bung Akbar, Bung Agung, Bung Ghafur,  Bung  Sayed, Bung Abda,  Bung Husin, serta Mbak Min, Mbak Tutut, dan mbak-mbak lainnya. (Bayangkan kalau sapaan Bu bukan Mbak digunakan, lalu bagaimana kita memanggil  nama Tut dengan mencantumkan Bu di awalnya).

Makanya  Bung,  kita  dari dulu  tidak boleh lupa akan sejarah (Jasmerah, kata Bung Karno: jangan lupakan sejarah, atau jangan sekali-kali menyerah!).  Senang ya  dipanggil Bung, karena akan lebih berwibawa. Tapi Bung, kalau pulang kampung jangan anjurkan masyarakat dan kerabat serta tetangga  untuk memangil Bung. Ini cukup untuk kita berdua, paling-paling sesama mantan aktivis  lama. Sebab, istri Anda juga tak memanggil Bung, bukan? Dia masih memanggil nama Bung seperti dulu. Tapi saya  tahu  panggilan itu tak semesra ketika Bung masih pacaran.  Dulu  Bung memuji-muji dia dengan: Kaulah bulan, kaulah bintang. Dia adalah segala-galanya.

Dan ingat Bung, bagaimana  malam-malam Bung datang ke  rumah kontrakan kami di Kampung Keuramat meminta saya menulis puisi untuk kado ulang tahun  pacar Bung ini. Pura-pura itu ciptaan Bung dengan mencantumkan nama Bung di bawah judul puisi. Awalnya saya keberatan karena itu menyangkut hak cipta. Tapi kemudian saya mau (untuk sekali saja) karena saya teriming-iming ajakan Bung   makan martabak di Jaya Garut, dekat rex sekarang ini. Soalnya waktu itu –pertengahan tahun  tujuh puluhan—martabak itu barang mewah. Di Banda Aceh tempat jual martabak juga terbatas: di Jaya Garut, Restoran Roda Jalan Cut Nyak Dhien Peunayong, serta belakang Bioskop Gajah.

Tapi sudahlah Bung.  Yang penting istri Anda setia sampai sekarang. Dia wanita baik, tidak macam-macam.  Bung juga pernah bilang sama saya bahwa Bung tak suka minta macam-macam. “Saya hanya minta satu macam, tapi tiga kali!” kata Bung waktu itu. Kita ketawa. Tapi jangan ulang lagi kalimat itu, terutama kepada istri Bung.  Permintaan pada istri harus hati-hati. Tak semua yang kita minta bisa dipenuhi  istri, betapapun dia mencinta suaminya sepenuh hati. Perempuan itu sensitif, Bung. Jangan coba-coba Bung minta izin sama istri untuk kawin lain. Dia takkan beri sampai mati. Mana ada perempuan mengizinkan  suaminya kawin lain alias dimadu. Seorang teman menasihati: Daripada “minta izin” lebih baik “minta maaf” kalau Bung sudah terlanjur  kawin lagi.

Mudah-mudahan Bung  senang membaca surat saya ini. Dan kalau ada kesempatan saya akan “cang panah”  lagi  dengan Bung lewat surat. Atau Bung  terlalu sibuk  sebagai  makelar proyek APBN  sehingga tak bisa diganggu. Mohon beri kabar. Oya, Bung!  Apa utang-utang minum kopi waktu mahasiswa di kedai Yah Mu  sudah Bung bayar?  Saleuem![]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait