Banda Aceh menjadi lahan subur bagi pengemis. Setelah ditertibkan dan dilepas, mereka kembali lagi ke jalanan.
Berpeci putih dan kemeja batik lusuh, pria bercambang putih itu menunjukkan selembar surat yang terbungkus plastik laminating, Jumat pekan lalu. Kerutan di tengah kertas menandakan surat kerap dilipat dua.
Di dalam surat ber-kop Pemerintah Aceh Besar tersebut, tertera keterangan tentang lelaki bernama Lukman, warga dari sebuah gampong di Kecamatan Indrapuri. “Ini surat keterangan kurang mampu milik saya,” ujar Lukman, pria pemegang surat tersebut ketika bersua Pikiran Merdeka di warung kopi Chek Yuke, Banda Aceh.
Surat itu agak janggal, mulai dari penomoran hingga identitas Lukman. Di situ tertulis Lukman lahir pada 4 Juli 1978. Sementara perawakannya mirip kakek-kakek. Cambangnya yang putih keubanan dan raut muka menegaskan hal tersebut.
Kerancuan lain, ketika disapa dengan panggilan “Yahwa”—panggilan umum untuk lelaki tua di Aceh, Lukman tak memprotesnya. Ia juga mengaku telah punya berkeluarga. Padahal, di dalam surat status Lukman belum kawin.
Bagi Lukman, tak ada yang salah dengan isi surat tersebut. Karena berbekal “surat sakti” tersebutlah, ia leluasa melenggang saban hari di Banda Aceh meminta belas kasih dari orang-orang. Jika pengemis lain kebanyakan mendatangi warung makan atau bergerombol di lampu merah, Lukman punya metode berbeda. Tempat yang disasar Lukman hanya perkantoran dan warung kopi.
Hari itu misalnya, setelah mendatangi setiap meja di warung kopi tersebut, Lukman hanya diberi sumbangan oleh seorang pembeli saja. Namun, ia tak patah arang. Usai mereguk segelas kopi yang ditawarkan seorang pengunjung kedai, Lukman melengos pergi, mendatangi warung kopi yang lain.
Saban hari, sedekah yang didapatkan Lukman bervariasi. Mulai dari Rp50 ribu hingga Rp200 ribu. “Tidak tentu, kadang banyak, kadang sedikit yang saya dapatkan. Saya jadi pengemis sendiri tanpa didampingi orang lain,” ujar Lukman.
Ia memilih menjadi pengemis karena mesti menanggung biaya pengobatan anaknya yang mengalami gangguan jiwa. “Ini terpaksa saya lakukan untuk menafkahi keluarga. Kalau boleh jujur, saya sangat malu dengan profesi ini,” keluhnya.
Tahun lalu, Lukman berniat berhenti menjadi pengemis. Ia meminta bantuan modal usaha dan becak motor dari Pemerintah Aceh melalui Dinas Sosial. Namun, usulan itu hingga kini belum juga terealisasi. “Setiap saya ke dinas untuk menanyakan bantuan itu, pegawai di sana selalu bilang suruh sabar dan akan segera turun bantuannya. Terakhir, saya ke sana katanya tahun 2018 nanti akan dibantu,” ungkap Lukman.
Ia berharap Pemerintah Aceh dapat memperhatikan masyarakat kurang mampu seperti dirinya. “Agar mereka tidak perlu menjadi pengemis untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.”
Jika Lukman saban hari menentang surat keterangan, beda halnya dengan Lemen. Remaja ini menjadi pengemis di perempatan lampu merah Simpang Jam. Setiap hari, anak muda yang berdomisili di Lampaseh Kota ini mampu mengumpulkan sumbangan hingga Rp300 ribu.
Jumlah ini tergolong besar untuk kantong remaja sepertinya. Bahkan, bila dibandingkan dengan gaji sebulan pegawai pangkat terendah, mereka tak ada apa-apanya. “Makanya saya bertahan menjadi pengemis. Tapi kadang-kadang ada juga sehari dapat lima puluh ribu rupiah kalau lagi sepi,” ujar Lemen.
Dari pendapatannya itu, sebagian besar digunakan Lemen untuk biaya hidupnya bersama keluarga, membeli baju, dan telepon genggam. “Sebagiannya lagi ditabung,” ujarnya.
Ketika mengemis, modal Lemen hanya sebuah kotak kardus. Biasanya, ia memanfaatkan momen tertentu seperti bencana alam, bantuan fakir miskin, hingga penggalangan dana untuk korban konflik di Rohingya. Seolah-olah, Lemen mengais bantuan untuk membantu penyintas, padahal duit tersebut ujung-ujungnya lari ke kantong sendiri.
Semua kendaraan yang berhenti menunggu lampu hijau, tak luput dari rayuan Lemen. Banyak yang berempati dan memberikan sumbangan tapi tak sedikit pula pengguna jalan yang tak acuh. “Meskipun banyak yang tidak peduli, setiap hari saya tetap mangkal di sini, dari pagi hingga jam delapan malam,” ujarnya.
Lemen menjadi pengemis sejak awal tahun ini. Sebelumnya, ia sempat menjadi loper sebuah koran harian di Aceh. “Sebagai loper koran di lampu merah selama delapan bulan. Namun penghasilan kurang. Lalu saya coba-coba untuk jadi pengemis di jalanan. Dari sini ternyata uang banyak dan terus berlanjut,” ujarnya.
Ia mengaku bekerja sendiri tanpa dikoordinir orang lain. Pun demikian, kata Lemen, ada sebagian pengemis anak yang diarahkan oleh oknum tertentu.
DUKUNGAN PROVINSI
Cerita Lukman dan Lemen setidaknya mengukuhkan posisi Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi menjadi magnet tersendiri bagi warga dari daerah untuk datang mengais rezeki di Kota Gemilang. Setiap tahun, jumlah pendatang di Banda Aceh terus meningkat. Mereka datang membawa harapan agar dapat meningkatkan taraf hidup dan memperbaiki perekonomiannya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang belum memiliki keahlian khusus untuk mencari rezeki.
Kondisi ini pula yang membuat sebagian perantau lokal itu memilih jalan instan untuk mendapatkan uang dengan menjadi pengemis. Penelusuran Pikiran Merdeka di beberapa tempat yang menjadi lokasi pengemis beraksi di Banda Aceh, banyak modus dilakukan oleh mereka untuk mendapatkan uang. Mulai dari tampil menyedihkan, berbohong dengan menampilkan kondisi tubuh yang tidak sempurna, bantuan untuk pesantren dan mesjid hingga memamfaatkan bencana alam.
Ironinya, pengemis bukan hanya orang dewasa. Beberapa di antaranya membawa serta anak yang masih balita. Bahkan, ada beberapa pengemis yang masih di bawah umur. Upaya para pengemis tersebut membuktikan bahwa pola beroperasinya memang sudah terorganisir.
Di satu sisi, pemerintah kota telah berupaya menertibkan dengan mengeluarkan aturan yang melarang warga memberikan sumbangan kepada pengemis. Pada 7 April 2016, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Banda Aceh mengeluarkan seruan kepada warga kota untuk tak melayani gelandangan dan pengemis di tempat-tempat umum. Seruan itu kemudian ditempelkan ke pelbagai tempat.
Di dalam seruan warga juga diingatkan tidak memberikan fasilitas dan ruang aktivitas kepada gelandangan dan pengemis di tempat-tempat usaha. Selain itu, masyarakat juga diimbau tidak melayani gepeng di jalanan, seperti persimpangan lampu lalu lintas. Pada poin selanjutnya ditegaskan jika ada aktivitas gepeng atau tuna sosial lainnya di tempat-tempat usaha, misalnya cafe atau restoran, pengelola tempat usaha harus tegas melarang. Jika seruan itu tidak diindahkan atau ada kesulitan, warga diminta melapor ke Satpol PP dan WH atau Disnaker Banda Aceh. Namun, aturan sendiri tak mampu bicara banyak. Hingga kini, jumlah pengemis di Banda Aceh malah semakin banyak.
Kondisi tersebut juga diakui Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh Syarifah Munirah. Bahkan, kata dia, saat ini banyak masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada dewan untuk mendesak pemerintah kota melakukan penertiban.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan ini mengaku penanganan pengemis dan gelandangan di Banda Aceh sulit untuk dilakukan. Terlebih dengan status Kota Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi. “Penanganan sangat sulit, soalnya mereka itu pendatang. Mereka bukan penduduk atau warga Kota Banda Aceh, sehingga tidak bisa disalurkan bantuan modal usaha bagi mereka,” ujar Munirah pekan lalu.
Menurutnya, butuh dukungan dari Pemerintah Aceh untuk menertibkan para pengemis di Banda Aceh. “Selama ini kan Pemko sudah menertibkan dan mengeluarkan imbauan agar tidak melayani pengemis. Namun tetap saja masih ada,” ujarnya.
Munirah meminta Pemerintah Kota Banda Aceh melalui dinas terkait berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh. “Ini harus dilakukan agar ke depan tidak ada lagi pengemis di Banda Aceh dan di daerah lain.”
Pemerintah Aceh sendiri pada 2013 pernah menerbitkan Qanun Nomor 11 tentang Kesejahteraan Sosial yang menyinggung soal keberadaan pengemis. Regulasi ini memasukkan gelandangan dan pengemis ke dalam golongan tunasosial bersama mantan tunasusila, korban penyalahgunaan NAPZA, ODHA dan bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan.
Pasal 45 qanun menyebutkan, gelandangan dan pengemis berhak atas kehidupan yang layak dalam masyarakat. Karena itu, setiap orang berkewajiban turut serta dalam pencegahan berkembangnya kegiatan mengemis.
Sedangkan pada pasal 46 disebutkan, Pemerintah Aceh dan pemerintah di kabupaten serta kota berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan sosial untuk meningkatkan penghidupan yang layak bagi gelandangan dan pengemis. Caranya, melalui bimbingan fisik, agama, mental, dan sosial; pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan; pelayanan kesempatan kerja dan berusaha; pemulangan ke daerah asal; dan pendampingan sosial. “Upaya pencegahan dan penanganan gelandangan serta pengemis dilakukan oleh dinas sosial yang berkoordinasi dengan instansi terkait, aparat kecamatan dan gampong, tokoh masyarakat, ulama, dan tokoh agama,” bunyi ayat dua pasal tersebut.
TIDAK ADA EFEK JERA
Dinas Sosial Banda Aceh juga mengakui sulitnya menghalau para pengemis. “Persolan ini tak akan beres, karena usai ditangkap dan dipulangkan ke daerah asal, mereka akan kembali lagi. Bahkan dalam jumlah yang banyak. Terus seperti itu,” ujar Sekretaris Dinas Sosial Kota Banda Aceh Dodi Haikal, Sabtu pekan lalu.
Ia mengatakan pengemis yang termasuk ke dalam kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) masih menjadi persoalan serius. Kehadiran pengemis di Banda Aceh ibarat mata rantai yang tak pernah terputus. “Berdasarkan catatan kami, sebagian besar pengemis di Banda Aceh saat ini berasal dari luar daerah,” ujar Dodi. Para pengemis itu berasal dari beberapa daerah seperti Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur.
Tak mau terus kecolongan, dinas pun mengendus kebaradaan para pengemis yang umumnya tinggal berkelompok dan tersebar di beberapa kawasan di dalam kota. Saat ini, kata Dodi, sebagian besar mereka berada di kawasan Goheng Seutui dan Peunayong. “Mereka tinggal di salah satu tempat yang mereka sewa di kawasan Goheng dan Peunayong. Kita masih menelusuri apakah ini ada yang mengkoordinir atau tidak. Dalam waktu dekat akan kita tertibkan,” sebutnya.
Alasan sulitnya menertibkan pengemis juga diungkapkan Kepala Satpol PP dan WH Banda Aceh, Yusnardi. Menurutnya, keterbatasan anggaran dan minimnya fasilitas menjadi faktor utama pihaknya belum mampu menertibkan pengemis secara maksimal.
Selama ini, pengemis yang tertangkap dalam razia diserahkan kepada provinsi untuk dibina. Namun, karena tidak maksimal pembinaan yang dilakukan di tingkat provinsi, mengakibatkan pengemis kembali ke jalanan. “Kita tetap melakukan penertiban. Namun, setelah kita tangkap dan bawa ke rumah rehabilitasi di kawasan Krueng Raya, sehari kemudian mereka kembali dan menjadi pengemis lagi. Tidak ada efek jera (dari pembinaan) yang dilakukan oleh provinsi,” terangnya.
Yusnardi berharap ada upaya serius dari provinsi menangani masalah sosial tersebut. “Pemerintah provinsi harus serius dalam menanganinya. Karena ini yang kita tangani warga dari luar Banda Aceh.”[]
Belum ada komentar