Eselon II Setda Aceh. Sengaja membenturkan Gubernur Aceh dengan DPRA?
Jumat (31/3) pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumulo menyampaikan pernyataan mengagetkan, bahwa pelantikan yang dilakukan Gubernur Zaini Abdullah terhada 33 pejabat Eselon II pada 10 Maret lalu, sudah sah dan telah mendapat izin dari pihaknya. Hal itu ia sampaikan seusai melangsungkan pertemuan dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di Gedung Badan Diklat, Jakarta, Jumat (31/3).
Pernyataan ini tentu bertolak belakang dengan surat yang pernah dikeluarkan Kemendagri pada 24 Januari 2017, yang intinya menegaskan bahwa mutasi pejabat yang dilakukan Zaini bertentangan dengan pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Pilkada.
Ada delapan poin penegasan Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam surat tersebut. Di poin ketiga disebutkan, dalam ketentuan pasal 71 ayat 2 UU Pilkada, gubernur atau wakil gubernur dilarang mengganti pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
Di poin lima disebutkan, dalam ketentuan pasal 119 UUPA, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan Eselon II pada Pemerintah Aceh ditetapkan oleh gubernur. Menurut Mendagri, dalam UUPA tidak diatur persyaratan dan prosedur terkait pengangkatan tersebut sebagai lex spesialis. Karena tidak diatur, maka berlaku UU Pilkada sebagai lex generalis.
Kemudian dalam poin enam surat itu menjelaskan bahwa pada 13 Maret 2017 Zaini Abdullah pernah mengajukan surat permohonan persetujuan dengan nomor 061/21/69 kepada Mendagri. Namun Mendagri belum memberikan izin tertulis terhadap permohonan tersebut.
Melalui surat tersebut, Mendagri juga menilai pelantikan berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh nomor PEG.821.22/004/2017 tanggal 10 Maret 2017 melanggar peraturan perundang-undangan. “Sehubungan dengan hal itu, diminta kepada saudara agar tidak menugaskan/mengaktifkan pejabat struktural yang dilantik berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor PEG.821.22/004/2017 untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan,” tulis Mendagri.
Beredarnya informasi dalam beberapa hari terakhir yang menyatakan bahwa pelantikan tersebut telah disahkan, memancing tanggapan dari sejumlah pihak. Salah satunya dari mantan pejabat SKPA Nasir Zalba. Menurutnya, pernyataan Mendagri itu belum dapat menjadi pegangan. Sebab, tidak ada surat yang menguatkan pernyataan tersebut, tapi hanya sebatas lisan.
“Surat yang telah dikeluarkan oleh Dirjen Otda harus dibatalkan dulu dengan surat juga, karena bisa saja pernyataan Menteri ditulis tidak lengkap, jadi subjektif,” ujarnya seperti dikutip beritakini.co, Sabtu pekan lalu.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh memperkirakan pernyataan Mendagri itu belum dapat dipastikan kebenarannya. Sama seperti Nasir, menurutnya keterangan Mendagri biasanya bersifat normatif. Artinya, perlu ada surat yang menegaskan jika mutasi pejabat yang dilakukan Gubernur Zaini sudah sah.
Baca : Status Salah Abdullah Saleh
“Biasanya Mendagri akan memberi keterangan secara normatif, menurut peraturan yang berlaku,” ujarnya saat dihubungi Pikiran Merdeka.
Terkait merebaknya pemberitaan yang memuat pernyataan Mendagri itu, Abdullah Saleh menduga ada informasi yang diplintir. “Ini perkiraan saya. Dari kabar yang saya peroleh dari berbagai sumber, diduga itu diplintir. Karena tidak mungkin ada keterangan yang berlainan,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut Abdullah Saleh juga meminta Mendagri untuk pro-aktif dalam menyelesaikan kisruh pergantian pejabat SKPA di Aceh yang kian berlarut-larut. Hingga kini, ia telah berupaya melakukan komunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memverifikasi pernyataan itu, namun ia belum dapat terhubung langsung dengan Mendagri.
“Kita semua ingin masalah ini cepat selesai. Saya masih berupaya untuk mengakses kepastian informasi itu langsung ke Mendagri, tapi belum terhubung,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap tidak ada keterangan kontroversi yang muncul ke depan. “Apalagi jika tidak ada surat dari pihak Mendagri yang memperjelas hal tersebut, saya rasa tidak mungkin pihaknya memberi keterangan yang kontroversial, kemarin mengatakan ilegal, hari ini sudah sah, ini tidak mungkin,” tandas Saleh.
PARIPURNA DITUNDA
Sementara itu, rapat paripurna DPRA yang mengagendakan pembahasan mutasi pejabat Eselon II di jajaran Pemerintah Aceh, Jumat malam (31/1) lalu, terpaksa ditunda. Hal itu lantaran rapat tak memenuhi jumlah kuorum yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Sesuai ketentuan yang ada, rapat paripurna khusus harus dihadiri 3/4 anggota. Tapi karena kuorum belum cukup, dari 81 anggota dewan, hanya 46 orang saja yang hadir, maka rapat kita skors sampai waktu yang ditentukan,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin.
Ketidakhadiran sejumlah besar anggota dewan dalam rapat paripurna tersebut, disebabkan banyak yang belum kembali dari kegiatan reses di Dapil masing-masing. “Semalam ditunda karena anggota DPRA baru selesai reses, masih banyak yang belum kembali. Kalau sudah berkumpul semua, baru kita lanjutkan kembali,” terang Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh.
Rapat ini nantinya akan memperjelas sikap DPRA terkait mutasi pejabat SKPA yang dilakukan Gubernur Zaini. Sebagaimana tertuang dalam tata tertibnya, agenda malam itu yakni penggunaan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala Pemerintahan Aceh terkait mutasi pejabat di lingkungan pemerintah Aceh.
Namun, pengajuan hak menyatakan pendapat itu dinilai tidak tepat. Hal itu disampaikan Akademisi Hukum Tata Negara Unsyiah, Kurniawan. Kepada Pikiran Mereka, ia mengungkapkan ada yang belum ditempuh DPRA sebelum mengajukan hak menyatakan pendapat, yakni mesti didahului adanya penggunaan Hak Interpelasi maupun Hak Angket.
“Hak Menyatakan Pendapat tidak lah serta merta, melainkan adanya mekanisme berjenjang, yakni terlebih dahulu ditempuh dengan Hak Interpelasi dan/atau Hak Angket,” katanya Jumat, pekan lalu.
Tanpa didahului penggunaan hak tersebut, lanjut Kurniawan, maka DPRA telah melanggar prosedur sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta melanggar Peraturan Tata Tertib DPRA itu sendiri.
Dalam Tatib DPRA, dalam pasal 13 ayat (5) telah disebutkan, bahwa usul penggunaan Hak Menyatakan Pendapat oleh Pengusul disertai dengan dokumen yang memuat paling kurang materi hasil pelaksanaan Hak Interpelasi dan/atau Hak Angket.
“Yang disebut Pengusul sesuai amanata Pasal 13 ayat (1), yakni paling sedikit 20 orang anggota DPRA dan lebih dari satu Fraksi,” jelas Kurniawan.
Mengenai kisruh yang terjadi akibat mutasi yang dinila kontroversial itu, Kurniawan meminta agar kedua pihak, baik eksekutif dan legislatif untuk saling menguatkan pemerintahan yang sedang berjalan. Kepada DPRA, ia berharap semaksimal mungkin menggunakan mandat untuk hal-hal yang lebih konstruktif.
“Mengingat DPRA merupakan lembaga kontrol, maka tidak ada lembaga yang diatribusikan oleh suatu Perundang-undangan untuk mengontrol DPRA. Maka selain memantau eksekutif, seharusnya ia juga melakukan evaluasi ke dalam, karena tidak ada lembaga yang khusus dibentuk untuk menilai kinerja mereka,” terangnya.
Lebih jauh, Kurniawan mengungkit fungsi Trias Politika yang seharusnya dipahami oleh kedua pihak. “Bisa disadari bahwa gubernur Zaini belum mampu sepenuhnya melaksanakan tugas sebagaimana yang kita harapkan, namun seyogyanya lah DPRA melaksanakan fungsi Trias Politika untuk mengoptimalisasi pemerintahan gubernur,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar