Seumuleueng dan Riwayat Po Teu Meureuhôm

Seumuleueng dan Riwayat Po Teu Meureuhôm
Seumuleueng dan Riwayat Po Teu Meureuhôm

 

Na ujong sudeung meulinteung manyang

Bineh tanjong nyan gunong teumiga…

Po Teu Meureuhom di sinan makam

Ureueng ba Islam u naggroe daya

Tiep buleun haji na peuringatan

Qanun ngon reusam geutubai raja

Adat seumuleueng jameun saboh nyan

Teutap hai rakan sipanyang masa…

 

BUKANKAH lirik lagu Aceh ini sangat luar biasa mendeskripsikan tentang Lamno, Aceh Jaya? Itu bukan sekadar lirik semata. Apa yang diungkapkan tentang makam Po Teu Meureuhom dan adat seumuleueng memang benar ada di sana, Lamno, Aceh Jaya.

Kendati sudah berabad lalu, seumuleueng atau seumeunap masih berlangsung hingga sekarang. Saban bulan Haji, tepatnya di hari raya pertama, tradisi seumuleueng atau seumeunap dilangsungkan. Kini, yang melakoni seumuleueng itu adalah Tuanku Raja Saifullah, keturunan terakhir dari Sultan Alaidin Riayatsyah.

“Sebagai pewaris Sultan Alaidin Riayatsyah, tradisi ini tetap kami pertahankan. Ini tradisi Aceh, tradisi yang sudah hidup sejak lama. Seperti kata pepatah, bangsa yang tinggi dan mulia adalah bangsa yang bisa dan mau menghargai sejarahnya,” ujar Tuanku Raja Saifullah Alaidin Riayat Syah.

Keturunan ke-13 dari Sultan Alaidin Riayatsyah ini menuturkan, tradisi semuleueng bermula pada abad 14 Masehi. Ketika itu, di Naggroe Daya ada empat ulee balang yang merupakan keturunan Datôk Panghu dari Kerajaan Pase.

“Waktu itu terjadi selisih paham dalam kerajaan sehingga Datôk Panghu mengutus empat anaknya untuk hijrah ke pantai barat Aceh. Masing-masing anak diberi mandat. Datôk Pahlawan dimandatkan memerintah Negeri Keuluwang. Syeh Johan memerintah di Kuala Daya. Teungku Disagop memerintah di Kuala Onga. Anaknya yang terakhir, Datôk Muda Perkasa diberi mandat memerintah Negeri Lamno. Datôk Panghu sendiri ikut ke Negeri Lamno,” ujar Raja Saifullah.

Seperti ternukil dalam sejarah, Portugis sudah berada di pantai barat Kerjaan Aceh Darussalam sejak lampau. Portugis berusaha menjalin hubungan dengan Negeri Keuluwang yang dipimpin Datôk Pahlawan. Tujuan mereka untuk menguasai     rempah-rempah seperti lada, cengkeh, tebu, dan nilam yang merupakan komiditi utama Negeri Lamno.

Singkat kisah, Portugis perlahan-lahan menguasai Negeri Keuluwang dan mencampuri urusan adat setempat. Hal ini terdengar sampai ke Kerjaan Aceh Darussalam yang masa itu dipimpin oleh Sultan Inayat Syah Al Malik Al Mubin. Sultan Inayat Syah memiliki beberapa putra, antara lain Sultan Mansyur Sya (di Kuta Alam), Sultan Muzaffar Syah (di Darulkamal, Peukan Biluy), dan Sultan Alaidin Riayat Syah (di Pedir).

Sultan Inayat Syah yang gundah mendengar Portugis mulai menguasai adat dan peraturan Negeri Keuluwang, mencoba mencari jalan mengatasi hal itu.

“Sultan Inayat Syah kemudian menarik Sultan Alaidin dari Pedir lalu mengirimnya ke Nanggroe Daya untuk mengatasi masalah tersebut,” tutur Raja Saifullah.

Kekhawatiran Sultan Inayat Syah ternyata benar. Penguasa Negeri Keuluwang sudah berhasil dipengaruhi oleh Portugis. Sultan Alaidin mengatur strategi. Sebelum ke Negeri Keuluwang, Sultan Alaidin terlebih dahulu memerangi tiga saudara Datôk Pahlawan. Tatkala ketiganya yaitu Teungku Disagop, Syeh Johan, dan Datôk Muda Perkasa berhasil ditaklukan, barulah Sultan Alaidin mendatangi Negeri Keuluwang dan menyatakan perang dengan Datôk Pahlawan.

“Ribuan tentara Portugis mendukung Datôk Pahlawan. Peperangan hebat tak dapat dihindari. Namun, Sultan Alaidin berhasil menaklukkan Negeri Keuluwang. Datôk Pahlawan ditawan bersama ribuan tentara Portugis. Setelah berapa lama dibina, Datôk Pahlawan tetap diberikan mandat kembali memimpin Negeri Keuluwang. Adapun tentara Portugis yang masih tersia menikah dengan penduduk setempat. Di sinilah asal muasal si mata biru di Lamno,” urai Raja Saifullah.

Setelah itu, Negeri Daya pun aman. Tidak lama berselang, Sultan Inayat Syah mengunjungi putranya, Sultan Alaidin, ke Negeri Daya. Ketika itu bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijjah atau Hari Raya Idul Adha yang pertama.

Kedatangan Sultan Inayat Syah disertai ayahandanya disambut hangat. Pada pukul 11.00 waktu setempat masa itu, dilakukanlah penabalan terhadap Sultan Alaidin yang gagah perkasa. Penabalan digelar dengan prosesi acara adat, yakni Sultan Inayat Syah menyuapi makan Sultan Alaidin. Pada saat  yang sama, nama Alaidin ditabalkan menjadi Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah.

“Dari sinilah cikal bakal lahirnya Bani Alaidin. Dalam penabalan itu, Sultan Alaidin digelari dengan Po Teu Meureuhôm. Saya keturunan yang ketiga belas dari Sultan Alaidin,” papar Raja Saifullah.

 

Muasal Adat

Dapat disimpulkan bahwa adat penabalan yang diiringi peusijuek, peusuleueng, peuneunap, dalam kearifan Aceh bermula dari Sultan Alaidin yang digelar sebagai Po Teu Meureuhôm. Hal ini kemudian ternukil dalam sebuah hadih maja: adat bak Po Teu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Lakseumana.

Dalam tradisi seumuleung sendiri, kata Raja Saifullah, ayah menyuapi anak. Ketika itu, Sultan Inayat Syah menyuapi Sultan Alaidin dibantu oleh dua dayang-dayang kerajaan. Hal itu disaksikan para pembesar kerajaan, mufti, kadhi malikul adil, panglima prang, kawai lua, kawai dalam, juga keluarga besar garis keturunan raja.

Seumuleueng di era sekarang bukanlah penabalan raja, melainkan untuk tetap menghidupkan tradisi yang pernah ada. Raja Saifullah sendiri saat seumuleueng terkadang disaksikan oleh gubernur/wagub, bupati, wali nanggro, dan para wakil rakyat.

“Mereka semua menjadi tamu agung dalam prosesi Seumuleueng,” tuturnya.

Harapan Raja Saifullah, tradisi ini tetap dijaga dan dilestarikan. Bagi Raja Saifullah, tradisi Aceh ibarat roh yang masih hidup dalam tubuh setiap generasi Aceh sehingga tetap harus diberi napas untuk selalu hidup.

“Maka, kalau saya mati nanti, akan ada musyawarah besar keluarga untuk memilih siapa yang akan menggantikan posisi seumuleueng dan seumeunap,” ucap Tuanku Raja Saifullah Alaidin Riayat Syah.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait