Ketidakseriusan Kejati Aceh sulit terbantahkan. Dari sederet kasus yang diekspos, tak satu pun kasus besar berhasil dituntaskan hingga pengadilan.
Belasan wartawan dari berbagai media massa duduk mengitari meja sambil mempersiapkan catatan. Sejak satu jam sebelumnya mereka telah ada di sana. Tak lama, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Chaerul Amir ditemani seluruh asistennya tiba. Sejenak berbasa basi, pria yang menjabat sebagai Kejati sejak 23 Oktober 2017 itu tak lupa menyapa dan berkenalan degan beberapa awak media. Beberapa menit kemudian, suasana mulai serius.
Terkait: Kabar Buram Penanganan Korupsi Kemenag Aceh
Pertemuan yang digelar di kantor Kejati Aceh, Selasa (23/1) lalu, merupakan konferensi pers terkait rekapitulasi kinerja korps Adhyaksa tersebut sejak Januari-Desember 2017. Dari masing-masing bidang memaparkan capaiannya. Bidang Intelijen, misalnya, menyampaikan bahwa dalam tahun 2017 pihaknya telah menerima sebanyak 14 kasus laporan penyelidikan.
“Dari seluruh laporan tersebut, yang diserahkan ke bidang lain sebanyak lima kasus, yang ditutup ada dua kasus, yang diselesaikan sebanyak tujuh kasus, dan sisa opslid yang masih berproses sebanyak 10 kasus,” demikian terinci dalam dokumen mereka.
Sedangkan catatan lainnya terkait dengan pendampingan oleh Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) dari Kejati dan Kejaksaan Negeri se-Aceh. Selama tahun 2017, pihaknya telah melakukan pendampingan di sebanyak 122 kegiatan instansi dengan pagu anggaran sebesar Rp2,1 triliun.
Perhatian khusus diarahkan ke Bidang Pidana Khusus (Pidsus). Dalam satu tahun terakhir, bidang ini telah menyelesaikan 38 penyelidikan perkara tindak pidana korupsi. Sementara ada 27 penyidikan perkara tengah diproses di persidangan. Dari keseluruhan penanganan kasus di bidang ini, Kejati menyampaikan pihaknya telah menyelamatkan uang negara Rp7,1 miliar. Dari data yang mereka lampirkan, tampak bahwa angka terbesar penyelamatan uang negara itu berasal dari Kejari Bireuen, yakni Rp4,5 miliar.
Beberapa saat berikutnya, Chaerul menyampaikan informasi tambahan. Guna menangani korupsi di Aceh, sebutnya, Kejati telah menyusun beberapa langkah progresif. Salah satunya membentuk tim Satuan Tugas Operasi Desember.
“Asumsi kita, di bulan Desember setiap program kerja atau pelaksanaan program keuangan sudah selesai sesuai batas waktunya. Namun demikian, begitu banyak masuk laporan mengenai proyek-proyek yang belum selesai, maka tim ini dibentuk untuk melakukan evaluasi terhadap itu,” jelas Chaerul.
Dalam satu bulan terakhir, tim ini melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap 33 proyek fisik di tahun anggaran 2017. “Total proyek itu senilai Rp342,3 miliar,” terangnya.
Menariknya, dari keseluruhan proyek yang mereka evaluasi itu, ditemukan sebanyak 21 proyek terindikasi korupsi. Chaerul memperjelas, bahwa nilai seluruh proyek ini Rp233,1 miliar. “Di antaranya ada tiga proyek yang diputus kontrak karena tidak selesai, nilainya Rp25,9 miliar,” tambah Chaerul.
Baca : MaTA: Dugaan Korupsi di Kemenag Aceh Dilakukan Berjamaah
Lebih lanjut ia merincikan, dari 21 proyek yang terindikasi korupsi itu, empat di antaranya bersumber APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), nilainya Rp31 miliar. “Sedangkan yang bersumber dari APBA ada 17 proyek dengan nilai Rp202 miliar, semuanya kegiatan yang bersifat fisik,” ujar dia.
Hasil evaluasi ini menjadi modal bagi Kejati di tahun ini untuk menelusuri proyek-proyek lainnya, tak terkecuali yang non-fisik. “Kita berupaya di 2018 tertangani semuanya,” janji Chaerul.
Dalam konferensi pers tersebut, Chaerul enggan merinci proyek-proyek yang diduga korupsi ini. “Masih temuan, perlu didalami lagi,” katanya pada wartawan.
Pikiran Merdeka berupaya menggali informasi mengenai temuan Kejati tersebut. Namun hasilnya nihil. Pihak Kejati Aceh melalui Humasnya Amir Hamzah menolak memberi informasi tersebut. Ia menyarankan agar data itu ditanyakan ke pihak Inspektorat Aceh.
“Maaf, saya tak bisa sebutkan yang mana saja proyeknya, yang pasti tersebar ke SKPA di seluruh Aceh, tapi tak semua terlibat, rinciannya bisa tanyakan ke Inspektorat saja. Karena kemarin kami sudah mengadakan evaluasi bersama mereka,” dalih Amir melalui saluran teleponnya, Jumat (26/1).
Dalam mengungkap dugaan korupsi untuk tahun 2018 ini, sebelumnya Kejati Chaerul Amir menegaskan, Kejaksaan tidak hanya bekerja sendiri. Pihaknya bakal menggandeng Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). “Juga kerjasama dengan penegak hukum lainnya dalam bekerja di lapangan nanti, agar prosesnya cepat.”
Adapun pertemuan antara Kejati dan Inspektorat Aceh digelar sehari usai konferensi pers. Ketika itu, Humas Amir Hamzah menyampaikan, Kejati sempat menyerahkan temuan hasil operasi Tim Satgas Desember untuk ditindaklanjuti oleh pihak Inspektorat. “Hasil temuan itu akan diinvestigasi,” tandasnya.
Secara terpisah, Kepala Inspektorat Aceh Muhammad membenarkan adanya pertemuan itu. Kepada Pikiran Merdeka, ia menerangkan pertemuan itu merespon terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Baca: Berkorelasi dengan Kasus Madrasah Terpadu
“Ada pola kerjasama antara penegak hukum dan lembaga pengawas internal pemerintah, maka kami bertemu untuk menyamakan persepsi,” kata dia, pekan lalu.
Menyangkut rincian hasil temuan Kejati, Muhammad malah membantah keterangan yang disampaikan Humas Kejati. “Tidak ada penyerahan berkas, tidak ada itu,” kilahnya.
PERTANYAKAN KOMITMEN
Janji Chaerul untuk menuntaskan penyelidikan korupsi itu tak serta merta ditelan publik. Pegiat antikorupsi mengaitkan kinerja dan janji Kejati Aceh yang paradoks, jika berkaca pada deretan kasus-kasus besar yang selama ini mandek.
“Kasus dana pemberdayaan GAM yang Rp650 miliar itu bagaimana kelanjutannya sekarang? Lalu korupsi kontrak perencanaan pembangunan Kantor Kemenag Aceh, bobolnya kas daerah di DPKKA (sekarang Badan Pengelolaan Keuangan Aceh) yang angkanya mencapai Rp22 miliar, itu juga tak ada perkembangan,” kritik Ketua Divisi Advokasi Korupsi dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Hayatuddin, Jumat (26/1) lalu.
Terkait kasus terakhir yang ia sebutkan, di bulan Februari tahun lalu tim penyidik Kejati telah menetapkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Husni Bahri TOB sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan dana migas pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) tahun 2010 silam.
Nama Husni sempat memicu kontroversi saat ia didapuk menjadi salah satu anggota tim Panitia Seleksi (Pansel) calon kepala SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) di masa pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf, baru-baru ini. Lantaran status tersangka yang sejak lama dijeratnya, publik mengkritik keberadaan Husni dalam tim Pansel. Belakangan ramai diperbincangkan, ia memilih mundur dari tim tersebut.
“Status Bahri TOB belum dilimpahkan prosesnya ke pengadilan, masih terkatung-katung itu, kenapa beliau tidak diproses?” tanya Hayatuddin.
Kasus bobolnya kas daerah di DPKKA ini sebelumnya telah menyeret empat tersangka, yakni Kuasa Bendahara Umum Aceh (BUA) Hidayat, Staf Kuasa BUA Mukhtarudin, mantan Sekretaris Daerah Aceh Husni Bahri TOB, dan mantan Kepala DPKKA Paradis. Namun, Paradis telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, sedang Husni saat ini masih melenggang bebas.
Dalam satu kesempatan, awak media sempat mencecar pertanyaan tentang kasus-kasus lama yang ditangani Kejati. Di antaranya, kasus korupsi kontrak perencanaan pembangunan kantor Kanwil Kemenag (Kementerian Agama) Aceh. Seperti diketahui, empat bulan yang lalu Kejati mengambil-alih penanganan perkara ini dari Kejari Banda Aceh.
Proyek perencanaan Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1.167.319.000 ini bersumber dari APBN. Kejari Banda Aceh telah menanganinya sejak April 2017. Sejak itu, penyidik telah menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yuliardi dan Direktur PT Supernova Jaya Mandiri Hendra Saputra sebagai tersangka.
Penyidik juga telah memeriksa sejumlah saksi lainnya. Mulai dari rekanan, saksi ahli hingga Kakanwil Kemenag Aceh. Namun, kasus ini kembali mangkrak sejak ditangani Kejati. Dalam perjalanan kasus ini, nama Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh dan orang yang ditengarai sebagai pemilik sebenarnya PT Supernova, Saiful Husin mulai disebut-sebut sebagai calon tersangka. Keduanya diduga sebagai aktor intelektual dalam kasus tersebut.
Chaerul Amir pada media mengaku masih menunggu hasil audit perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kasus korupsi Kemenag, penegak hukum sebelumnya memang telah menetapkan dua tersangka. Namun pihak Kejati masih harus memastikan berapa angka kerugian negara, sebelum perkara ini dilanjutkan.
“Dalam menentukan suatu perkara dapat ditingkatkan ke penuntutan, di tingkat penyidikan itu kita selalu berkoordinasi dengan instansi lain, termasuk auditor dari BPK, mereka kan otoritas yang bisa menentukan jumlah kerugian negara, jadi itu tahapannya sampai saat ini,” imbuh Chaerul.
Bicara kerugian negara, menurutnya harus benar-benar riil.
Deretan kasus-kasus ini terbilang lamban penanganannya. Lagipula, penanganan yang selama ini dilakukan Kejati, kesan Hayatuddin, kurang terbuka untuk publik. Ia juga mempertanyakan alasan Kejati yang tidak merincikan 21 proyek yang terindikasi korupsi di tahun 2017 tersebut.
“Di akhir tahun saja mereka adakan konferensi pers untuk kasus-kasus yang mereka tangani, dan itu kan jumlah kasusnya saja. Proyeknya apa saja, penanganannya seperti apa, apa kendalanya, itu kan tidak disampaikan,” kata dia.[]
Belum ada komentar