Rentetan insiden penembakan masih terjadi di Aceh. Polri dinilai setengah hati dalam memberantas peredaran senjata api ilegal.
Bagi masyarakat seperti Amri (43), menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan, sangat tak masuk akal. Berulang kali ia membolak-balikkan halaman koran sembari santai di warung kopi langganannya. Ia merasa kian jenuh saat membaca berita kriminal.
“Aceh kan sudah damai. Ini masih saja ada bunyi letusan senjata api. Gara-gara tersinggung saja, sudah tembak orang,” keluhnya dengan logat Aceh yang cukup kental.
Belakangan, Amri diketahui sedang risau dengan peristiwa penembakan yang terjadi pada 5 Maret lalu di Peunaron, Aceh Timur. Pria yang sehari-harinya berdagang di Pasar Aceh ini prihatin dengan tren penembakan di masa-masa Pilkada. Masyarakat sepertinya hanya ingin hidup dalam kondisi aman dan damai. Meski kejadian itu jauh di Aceh Timur sana, ia turut menyatakan simpati pada para korban.
“Kita ini orang biasa, mau pilih ini, pilih itu, namanya saja Pilkada. Kan ada hak kita. Mana boleh dipaksa, apalagi diancam,” katanya.
Beruntung, proses pemilihan di daerah tempat tinggal Amri di Lampaseh Kota, Banda Aceh, berjalan lancar. Tidak terdengar adanya intimidasi. Hingga saat penghitungan suara selesai, warga merayakan sekedarnya saja, tak larut dalam euforia yang berlebihan.
“Habis memilih, semua pulang ke rumah masing-masing, damai saja. Biasa saja, tak ada saling mengejek antara pendukung masing-masing kandidat,” ucapnya.
Peristiwa penembakan yang menimpa dua warga Aceh timur ini menyisakan setitik cela dalam rentang masa-masa Pilkada Aceh 2017. Semula, seluruh pihak berupaya mencegah agar noda buram pelaksanaan Pilkada 2012, tak lagi terulang. Baik pelaksana, aparat keamanan, hingga warga sipil bersama-sama mendengungkan Pilkada Damai.
Jika dirunut ke belakang, catatan buram kekerasan saat Pilkada terparah terjadi pada 2012. Catatan Komnas HAM, dari periode 14 Oktober 2011 hingga 10 Januari 2012, terjadi sebanyak 14 kasus penembakan dan tindak kekerasan. Lalu di medio Februari sampai April 2012, tercatat kekerasan di mana sebanyak 30 korban menderita luka-luka, 14 kasus penganiayaan dan 27 kasus pengrusakan harta benda. “Jumlah korban, 12 orang meninggal dunia dan 19 orang luka-luka,” kata Ketua Komnas HAM saat itu, Ifdhal Kasim.
Sementara di Pilkada kali ini, peristiwa penembakan kembali terulang, meski intensitasnya jauh menurun dibandingkan 2012. Salah satunya penembakan yang terjadi di dusun Simpang desa Peunaron Baru, Kecamatan Peunaron, Aceh Timur, 5 Maret lalu.
Pada pukul 02.30 WIB dinihari, Yatinem (45) terbangun ketika ada sesutu yang terbakar di teras rumahnya. Ia sontak membangunkan suaminya, Juman (50) untuk keluar memeriksa. Saat membuka pintu depan, Juman langsung diterjang tembakan sebanyak sebelas kali. Satu peluru menyasar ke lehernya. Delapan butir peluru lainnya membentur pintu depan, jendela kaca, dan dua lainnya mengenai tembok.
“Membakar kain di teras rumah dan mobil taft milik korban merupakan modus operandinya,” kata Kapolres Aceh Timur AKBP Rudi Purwanto dalam rilisnya, Senin pekan lalu.
Tak jauh dari situ, dari balik jendela rumahnya, tetangga Juman, Misno (35) mengintip aksi brutal tersebut. Sembari kabur, pelaku lalu menembak rumah Misno. Sebutir peluru pun bersarang di perut pria tersebut. Setelah menembak, pelaku yang saat itu diduga dua orang melarikan diri masuk ke arah perkebunan sawit, turun ke arah Peureulak.
Sekitar pukul 03.15, warga melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Serba Jadi. Sejumlah polisi bergegas mendatangi lokasi. Sementara korban, Juman dan Misno, dilarikan ke RS Zubir Mahmud, Idi.
Di lokasi kejadian, polisi menemukan barang bukti berupa 10 butir selongsong peluru, dua butir yang diduga amunisi senjata api M16, proyektil amunisi sebanyak empat butir, dan serpihan proyektil. Dari sini polisi terus melakukan mengembangkan penyelidikan.
“Berdasarkan wawancara di lapangan dan analisa IT, diduga ada empat pelaku dalam kejadian ini,” sebut AKBP Rudi Purwanto.
Ia merincikan identitas para pelaku. Mereka yakni Agusti Randa (31) sebagai perencana penembakan, M Jais (30), serta Zulkifli dan Canguo selaku penembak.
Mengantongi hasil pemeriksaan dari 19 orang saksi, Polres Aceh Timur mulai berupaya mengejar pelaku. Dua orang berhasil ditangkap, yakni Agusti Randa dan M Jais. Sementara Zulkifli alias Nato dan Canguo selaku penembak masih dalam pengejaran tim gabungan dari Polres Aceh Timur, Ditreskrimum Polda Aceh, dan Densus 88.
Polisi mengemukakan analisa yuridisnya terkait peristiwa ini. Menurutnya, perbuatan pelaku diawali dengan perencanaan. Mereka ingin menghilangkan nyawa korban dengan menggunakan senjata api ilegal. “Akibat perbuatannya, pelaku dapat dikenai pasal percobaan pembunuhan terencana menggunakan senpi dan penggunaan senpi ilegal,” jelasnya.
PERSAINGAN PILKADA
Sejauh ini, polisi menganalisa peristiwa ini terkait dengan persaingan saat Pilkada. Dari pemeriksaan terhadap Agusti Randa selaku perencana dan pengatur penembakan, diperoleh pengakuan bahwa penembakan itu dilatarbelakangi rasa kesalnya terhadap korban.
“Dia (Agusti) selaku Panglima Sagoe Wilayah Peunaron merasa sakit hati terhadap Juman. Setelah hasil rekapitulasi di TPS setempat menyatakan paslon nomor 1 yang menang, Juman mengejek dan menertawakan tersangka,” demikian keterangan polisi.
Juman merupakan Ketua Bapilu Partai Nasional Aceh (PNA) tingkat kecamatan, sekaligus timses calon Bupati Aceh Timur, Ridwan Abubakar alias Nektu.
Kesal karena diejek, Agusti melakukan rencana penembakan terhadap Juman. Di Pasir Putih Peureulak, ia mengumpulkan ketiga rekan lainnya, M Jais, Zulkfili, dan Canguo. Sedangkan M Jais mengaku berperan sebagai penunjuk jalan bagi pelaku yang melarikan diri usai penembakan.
Agusti Randa merupakan kader Partai Aceh. Keterlibatannya dalam peristiwa penembakan ini, secara tak langsung berimbas pada PA. Namun, Juru Bicara PA Adi Laweung dengan tegas menyatakan bahwa penegakan hukum adalah tugas polisi, tak boleh ada intervensi.
“Dari awal kita sudah mengatakan itu ranahnya kepolisian. Bagaimana penyelesaiannya, itu kami serahkan pada polisi,” singkatnya.
Partai Aceh, sebut Adi, hanya sebatas partai politik yang menjadi mitra pemerintah. “Kita juga mitra polisi, jadi yang namanya penegakan hukum, biarkan ini menjadi tugas mereka,” tandasnya.
Sementara korban penembakan masih trauma dan tidak dapat ditemui. Ketua Tim Pemenangan Irwandi, Samsul Bahri sangat menyesalkan peristiwa penembakan yang menimpa rekannya ini.
“Yang jelas, kita sedih sekali, kenapa tim kama ada yang menjadi korban, sementara Pilkada ini kan haknya rakyat untuk memilih. Terserah mereka mendukung siapa, mengarah kemana, ini kan demokrasi rakyat. Seharusnya ini tidak terjadi,” katanya, Jumat lalu.
Dengan tertangkapnya pelaku, Samsul berharap polisi tetap maksimal menjalankan penegakan hukum hingga kasus ini selesai. “Kita tidak berharap hukuman yang seringan-ringan mungkin ataupun seberat-beratnya. Ini semua kembali pada pross hukum nanti. Saya apresiasi kinerja polisi,” ungkapnya.
Proses Pilkada, lanjut Samsul, hendaknya semua pihak menghormati hasil yang telah dicapai. “Saya harap, pihak yang menang juga jangan terlalu uforia, yang kalah juga jangan kecewa, mari kita bangun masa depan Aceh yang lebih baik.”
SENJATA API ILEGAL
Sebelum insiden di Peunaron, peristiwa penembakan juga terjadi di Pidie pada 13 Januari 2017. Sasarannya adalah mobil timses kandidat Bupati Pidie, Roni Ahmad-Fadhlullah. Pelaku yang diperikirakan berjumlah tiga orang itu langsung kabur.
Jauh sembelum Pilkada, penembakan jterjadi di kediaman Tarmizi Karim di Lampriek, Banda Aceh, November tahun lalu. Sebulan kemudian penembakan menimpa seorang warga Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie. Rentetan peristiwa ini menguak sebuah kekhawatiran lain, yakni maraknya peredaran senjata ilegal di Aceh.
Humas Polda Aceh Kombes Goenawan mengaku belum dapat memetakan peredaran senjata ilegal di Aceh. Meski sulit, pihaknya terus berupaya mendeteksi keberadaan senjata ilegal itu.
“Kita belum bisa memastikan ada berapa senjata yang beredar saat ini. Senjata ini dipergunakan secara ilegal, untuk melakukan tindakan kriminal. Kita terus mendeteksi ini, juga mempersempit ruang gerak penggunaannya,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Saat meringkus pelaku penembakan Peunaron, barang bukti senjata api juga tak ditemukan. “Belum, belum ditemukan senjata itu. Kita masih dalam tahap pengembangan, mudah-mudahan semua bisa jelas nanti,” tambahnya.
Pengamat terorisme dan keamanan, Al Chaidar menyayangkan merebaknya penggunaan senjata api ilegal di Aceh. Polisi, sebutnya, sangat lemah dalam memantau hal ini.
“Mereka (polisi) sepertinya belum maksimal mencari senjata ilegal. Padahal, peristiwa penembakan bukan sekali ini saja, sudah sekian kali. Korbannya sudah ada, tapi mereka tidak bisa menemukan barang bukti senjata. Itu kan aneh,” katanya.
Ia menilai, pihak polisi seakan ciut dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok politik tertentu di Aceh. Ia menduga, polisi seperti khawatir dengan menindak para pelaku tersebut.
“Saya pikir polisi tidak boleh tebang pilih. Apapun latar belakang afiliasi politiknya, tindak segera. Jika yang dikhawatirkan itu potensi gangguan keamanan yang lebih luas, itu tak masuk akal. Justru pembiaran yang makin mengancam keamanan kita,” tambahnya.
Mengenai keberadaan senjata ilegal yang makin marak, ini karena masih banyaknya kelompok yang disebut Al Chaidar sebagai spoilers of peace. “Perusak perdamaian tidak percaya dengan perdamaian MOU Helsinki, mereka tidak percaya dengan itu. Mereka lebih yakin hidup dengan senjata di sampingnya,” katanya.
Kelompok seperti ini dinilai lebih yakin untuk bisa memaksakan apapun kehendaknya dengan moncong senjata, ketimbang argumentasi yang persuasif. “Saya rasa polisi kurang tepat dalam menilai situasi ini. Asumsi mereka bahwa menindak pengganggu-pengganggu ini maka akan memantik gangguan keamanan yang lebih besar. Justru jika mereka tak menindak, akan lebih mengganggu. Potensi impunitas ini akan mencuat,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar