Setelah Soeharto Jatuh

Setelah Soeharto Jatuh
Setelah Soeharto Jatuh

Oleh Arnaz Ferial Firman

JUTAAN mata warga Indonesia 14 tahun lalu atau tepatnya pada 21 Mei 1998 memelototi televisi, karena tiba-tiba ada siaran langsung dari Istana Merdeka, Jakarta.

Presiden Soeharto dalam acara yang hanya berlangsung beberapa menit menyatakan mundur dari jabatannya yang telah dipegangnya selama puluhan tahun dan kemudian menyerahkan posisi itu kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Jenderal besar berbintang lima itu kemudian menuruni tangga Istana hanya ditemani putri sulungnya Siti Hardiyanti Indra Rukmana yang lebih akrab dengan sapaan Mbak Tutut. Mereka pulang ke rumah Soeharto yang terletak di Jalan Cendana Nomor 6 dan 8 di kawasan Jakarta Pusat.

Turunnya “Bapak Pembangunan” ini mengagetkan banyak orang, karena banyak orang tidak menyangka bahwa seorang pemimpin yang praktis telah menjadi orang nomor satu sejak pemberontakan PKI pada 1 Oktober tahun 1965 akhirnya bisa juga “jatuh”.

Beberapa minggu sebelumnya, ketika bertemu dengan ratusan warga Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo, Mesir, Soeharto telah mengeluarkan pernyataan yang menarik untuk direnungkan. “Saya siap turun asal sesuai konstitusi (UUD 1945),” kata presiden Republik Indonesia yang kedua itu.

Ucapan itu mengundang berbagai pertanyaan, karena siapa pun tahu bahwa jika seorang presiden melanggar konstitusi maka dia harus lengser dari jabatan yang” menggiurkan” itu.

Akibat ucapan yang sebenarnya “standar” itu, seorang wartawan satu koran terkemuka di Jakarta yang ikut ke Kairo buru-buru membuat berita “Soeharto: Saya siap turun”. Karena berita “Bombastis” itu banyak orang yang berpikiran bahwa Soeharto memang “siap turun”.

Gara-gara berita itu, maka kemudian muncul guyonan di dalam pesawat kepresidenan yang membawa pulang Soeharto bahwa wartawan itu akan “dilempar” ke luar pesawat milik Garuda Indonesia itu.

Ketika tiba di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur dinihari, seluruh rombongan Soeharto menyaksikan banyak mobil dan motor dibakar.

Turunnya Soeharto yang digantikan Habibie—seorang ahli pesawat terbang—langsung membuat suasana di tanah air menjadi tenang. Ketenangan itu antara lain ditandai dengan harga dolar yang tadinya mencapai Rp16.000/dolar menjadi hanya sekitar Rp8000/dolar.

Ternyata Habibie tidak lama menjadi kepala negara karena pada bulan Oktober tahun 1999, ia “diturunkan” dan diganti oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sang kiai pun tidak sampai dua tahun tinggal di Istana Merdeka, karena MPR sudah tidak mempercayainya lagi dan kemudian Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pun menjadi” RI Satu”.

Akhirnya melalui pemilu tahun 2004, putri Proklamator Bung Karno itu harus rela menyerahkan jabatannya kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menang lagi dalam Pemilu 2009 hingga akhir masa jabatannya yang kedua tahun 2014.

Setelah Soeharto jatuh pada 21 Mei 98 akibat era reformasi, maka timbul satu pertanyaan yang sangat mendasar yakni sudah amankah Indonesia dan sudah sejahterakah rakyat di negara ini? Era reformasi ini memang telah melahirkan banyak hal baru serta suasana baru seperti munculnya suasana demokratis, lahirnya banyak partai politik baru yang mencerminkan rakyat semakin bebas menyalurkan aspirasi politiknya.

Anggota DPR terpilih secara demokratis, serta rakyat semakin bisa terlibat dalam kegiatan ekonomi. Selesaikah semua persoalan di masa lalu? Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau NU Kiai Hasyim Muzadi baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang tidak hanya patut direnungkan orang awam tapi juga seluruh pemimpin. “Bergesernya arah reformasi itu karena tidak adanya keteladanan dari para pemimpin,” tegas Hasyim Muzadi.

Kiai ini memang tidak secara terbuka atau tersurat menunjukkan ketiadaan keteladanan yang dimaksudkannya itu. Utusan presiden beberapa tahun lalu, seorang anggota DPR yang “kebetulan” merupakan suami seorang presiden, ditunjuk untuk memimpin sebuah delegasi Pemerintah Indonesia untuk melakukan perundingan dengan para pejabat senior China tentang kontrak jual beli migas.

Yang patut dipertanyakan adalah kalau anggota DPR itu bukan seorang suami dari presiden maka akankah dia memimpin para menteri untuk berunding di China. Apakah bisa dibenarkan seorang anggota DPR yang merupakan lembaga legislatif memimpin eksekutif? Seorang putra dari presiden ini juga pernah ditunjuk sebagai anggota dewan komisaris Pekan Raya Jakarta atau PRJ padahal kiprahnya dalam bidang bisnis belum dikenal sama sekali. Kalau pemuda itu bukan anak presiden apa mungkin para pengusaha akan “merayu” dia untuk “menekuni” bisnis di PRJ.

Dulu Soeharto pernah mengangkat Mbak Tutut menjadi Menteri Sosial, namun ternyata pengangkatan ini menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat karena anak presiden diangkat menjadi menteri.

Sementara itu semua anak Soeharto secara langsung maupun tidak langsung atau secara terbuka ataupun tertutup terlibat dalam bisnis yang kian lama kian menggurita. Kalau perbuatan Soeharto itu dianggap “dosa besar” kenapa langkah itu tetap “ditiru”.

Sementara itu, seorang presiden juga pernah berkata bahwa sebuah bumbu masak tidak halal terutama karena mengandung “babi” padahal bumbu masak itu sudah dikenal masyarakat. Hanya beberapa hari setelah pernyataan kontroversial itu, para pemimpin perusahaan itu terpaksa datang dari Jepang ke Istana Merdeka pada hari Sabtu, sambil membawa setumpuk dokumen yang menyatakan bahwa bumbu masak atau penyedap itu tidak haram bagi umat Islam.

Mereka juga membawa sebuah tas yang semula tidak boleh dimasukkan ke dalam alat X-ray milik Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres. Setelah dipaksa akhirnya mereka mau juga tas “ajaib” itu diperiksa ke alat x-ray dan ternyata di dalamnya tersimpan lembaran uang yang tidak terhingga jumlahnya.

Setelah pertemuan yang diakhiri dengan pemberian “oleh-oleh” itu akhirnya bumbu penyedap itu dinyatakan kembali halal. Sang presiden pada satu hari pernah menerima para rektor perguruan tinggi Islam dari seluruh tanah air. Tiba-tiba kepala negara ini menyatakan akan membubarkan MPR dan DPR serta melakukan pemilu untuk memilih para wakil rakyat yang baru.

Dalam pertemuan itu, hanya ada dua wartawan yang hadir dan ternyata omongan presiden itu dilarang diberitakan. Tapi entah kebetulan atau tidak, berita itu tetap disiarkan sehingga sang presiden ini “terpaksa” membantah pernah mengeluarkan pernyataan ini. Padahal Tuan presiden ini tak mungkin membantah omongannya itu karena semua ucapannya direkam oleh petugas Sekretariat Negara.

Dengan mengamati berbagai kondisi dan situasi sejak era reformasi itu, maka kesimpulan apa yang bisa diraih? Secara nyata, seorang presiden di tanah air adalah pemimpin lembaga eksekutif dan apa pun yang dia perbuat dan putuskan akan menjadi perhatian puluhan juta orang.

Karena itu, seorang presiden janganlah menjadi orang yang merasa paling hebat dan paling benar, karena dia juga merupakan orang biasa yang memiliki kelemahan dan kekurangan.

Dalam ajaran Islam, seorang presiden haruslah selalu bersikap tawadhu atau rendah diri, sehingga dia tidak hanya dipuja selama dia masih menjadi kepala negara dan akan tetap dihormati setelah meninggalkan Istana.[ant/*]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

59806361 5bf4 4f8e 9e41 340a89ac62aa
Asisten III Setda Aceh Iskandar Ap menghadiri kegiatan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Jenis Sabu Sebanyak 226 Kg dan Ganja Sebanyak 1,2 Ton dari Hasil Pengungkapan oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Aceh Beserta Sat Resnarkoba Jajaran, Selasa 6 Agustus 2024. [Foto: Istimewa]

Pemerintah Aceh Apresiasi Upaya Polda Aceh Berantas Narkotika