Setelah APBA Dipergubkan

Setelah APBA Dipergubkan
Setelah APBA Dipergubkan

APBA 2018 menjadi sejarah baru bagi Aceh. Setelah gagal mencapai kata sepakat dalam pembahasan di DPRA, akhirnya dituntaskan dengan peraturan gubernur.

Rabu (21/3), penandatanganan Surat Keputusan bernomor 903-618 tertanggal 21 Maret 2018 oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, menandai babak baru dalam sejarah pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Untuk pertama kalinya, APBA disahkan melalui Peraturan Gubernur.

Saifullah Abdulgani

Saifullah Abdulgani, Jubir Pemerintah Aceh mengatakan, Mendagri Mendagri Tjahjo Kuolo menyetujui Pagu APBA 2018 yang diajukan Pemerintah Aceh sebesar Rp 15,149 triliun. Persetujuan tersebut dituang dalam Surat Keputusan Medagri Nomor 903-618 Tahun 2018 tanggal 21 Maret 2018 tentang Pengesahan Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2018.

Terkait: Calon Kabinet Irwandi Harap-harap Cemas

Berdasarkan Keputusan Mendagri tersebut di atas, Pemerintah Aceh akan menyempurnakan Rancangan Pergub dan selanjutnya ditetapkan menjadi Pergub APBA 2018. Pengesahan dari Kemendagri ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Pergub APBA 2018.

Adapun yang menjadi catatan Mendagri untuk disempurnakan TAPA, bukan hanya soal rasionalisasi, tapi juga menyangkut petunjuk-petunjuk teknis yang harus masuk dalam Pergub APBA.

“Proses ini diperkirakan membutuhkan waktu sekitar tujuh hari. Namun Gubernur meminta TAPA dapat menyelesaikannya secepat mungkin,” kata Saifullah pada Pikiran Merdeka, Sabtu (24/3).

Untuk diketahui, pagu APBA tahun ini sebesar Rp15,149 triliun. Lebih besar dari APBA-P tahun 2017 yang besarannya Rp14,911 triliun. Dengan penambahan pagu awal Otsus 2017 Rp7,950 triliuun, naik menjadi Rp8,038 triliun. Selain itu ada kenaikan DAK (Dana Alokasi Khusus) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Sementara itu, beberapa perbaikan yang diminta penyempurnaan oleh Mendagri, seperti pembayaran honor 700 Pegawai kontrak di RSUDZA (Rumah Sakit Zainal Abidin), RS Jiwa, RS Ibu dan Anak, pembayaran biaya rutin operasional SKPA, dan sebagainya

“Ini diperkirakan kemarin sekitar tujuh hari sudah selesai. Gubernur sendiri berharap ini harus segera diselesaikan secepat mungkin. Supaya realisasi anggaran bisa dilaksanakan segera dan ekonomi masyarakat bergerak,” tambah Saifullah.

HARUS TRANSPARAN

Setelah APBA disahkan, sejumlah kalangan memandang penting bagi Pemerintah untuk komit dalam mengelola anggaran secara transparan.

Koordinator MaTA, Alfian.

“Kita berharap pemerintah Aceh komit untuk membuka seluruh mata anggaran itu untuk bisa dikontrol ketat oleh publik,” demikian kata koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (24/3).

Ia mengingatkan pemerintah agar komit pada janjinya akan mengelola anggaran dengan transparan dan akuntabel. Karena selama ini pengelolaan anggaran sangat tertutup. MaTA sendiri berencana akan membedah Pergub tersebut, untuk ditelusuri kemana arah dari penganggaran di tahun 2018 ini. anggarannya kita mau lihat anggaran 2018 ini arahnya kemana.

Baca Juga: Kerja Keras Menjaring Potensi

“Ini akan terlihat sangat jelas nantinya bagaimana penganggaran untuk sektor infrastruktur, pendidkan, kesehatan, sosial, dan balanja aparatur sendiri. Dan ini adalah informasi yang wajib diketahui oleh publik Aceh saat ini,” tegasnya.

MaTA juga menilik soal tata kelola keuangan, terutama pengelolaan dana Hibah dan Bantuan Sosial, serta pengadaan barang dan jasa. Selama melakukan monitoring, termasuk pada kasus-kasus yang bergulir di pengadilan, yang sering dilidik maupun yang didakwakan, adalah kasus terkait pengelolaan tiga jenis dana tadi.

“Memang pemerintah akan terapkan sistem E-Planing dan E-Budgeting. Tapi tidak menutup kemungkinan penyimpangan tidak terjadi,” kata Alfian. Pengalaman selama ini, misalnya, sistem pengadaan barang dan jasa yang digunakan ialah gunakan sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

“Dimana seluruh rekanan mengupload seluruh penawaran-penawaran. MaTA juga pernah menemukan penawaran yang akan dimenangkan itu mudah sekali disetting oleh pihak panitia. Penawaran yang harusnya tidak perlu masuk, bisa diatur sistemnya. Kita pernah temukan itu,” bebernya.

Potret buram dalam tata kelola birokrasi semacam ini, mengakibatkan pembangunan tidak menghasilkan output yang sesuai. Hal itu tampak dari kualitas infrastruktur yang selama ini dibangun. Beberapa di antaranya ada yang hancur sedari masa perawatan.

Menurut Alfian, percuma saja jika pernyataan Pemerintah yang berjanji untuk mewujudkan proses yang terbuka, jika sistem yang ada tidak berubah.

”Ketika seluruh elemen publik sama-sama mengawasi, tapi ketika sistemnya tak ada perubahan, tak ada pengawasan secara internal, saya pikir percuma. Kecurangan tetap terjadi. Kalau dia bilang, ‘silakan awasi’, dan gubernur juga jangan biarkan ketika ada potensi kecurangan terjadi,” tandasnya.()

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait