“BAHASA Bali bukan sekadar tulis-menulis Bali, tetapi telah menjadi roh atau spirit batin orang Bali. Hampir semua ritual Agama Hindu menggunakan bahasa Bali halus. Dunia pendidikan saat ini memang mendapat tantangan arus globalisasi. Anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia dan Inggris, tetapi bukan berarti bahasa daerah dihapus karena ini adalah identitas orang Bali,” keluh Ketua Komisi IV DPRD Bali, Nyoman Parta, seperti dikutip Bali Post, Kamis (3/1) terkait rencana pengintegrasian Bahasa Bali ke pelajaran Seni Budaya dalam Kurikulum Nasional 2013.
”Orang-orang baru merasa terkejut menyaksikan dan merasakan sepak terjang globalisasi yang seperti orang makan bubur, melahap eksistensi negara-negara bangsa dari pinggir. Padahal sejak bermetamorfosisnya General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) menjadi World Trade Organization (WTO) tahun 1994, pascabubarnya Uni Soviet tahun 1991, kita sudah sering mengobrolkannya. Karena kita curiga WTO dibentuk korporatokrasi guna melengkapi World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sebagai tiga kekuatan akbar pengubah dunia. Kecurigaan timbul mendengar seringnya istilah sustainable development dan trickle down effect digembar-gemborkan para elite Orde Baru, yang ternyata adalah para komprador globalis. Padahal pembangunan berkelanjutan tiada lain adalah pembangunan tanpa perasaan, yang hanya menguntungkan para konglomerat yang merupakan para kroni penguasa. Sedangkan tetes-tetes ke bawah cuma timbunan utang luar negeri yang harus ditanggung semua rakyat,” ujar Rubag.
”Ya, karena kita kaum marginal tanpa kedudukan terpandang di masyarakat, obrolan kita dianggap angin lalu. Malah ada yang sinis mengatakan kita bicara tinggi di awang-awang tanpa didukung kajian ilmiah. Ironisnya, mereka sendiri tidak bisa menjelaskan yang disebut analisis ilmiah itu. Benar, kita pernah mengatakan bahwa ketiga lembaga dunia nonpemerintah superkuat itu, bergerak bagaikan tank-tank raksasa alias juggernaut melindas segala rintangan yang menghalanginya. Tujuannya, seperti kata Thomas Friedman, meratakan dunia dan mengintegrasikannya di bawah satu atap dengan sistem kapitalisme neoliberal. Sebab globalisasi yang saat Perang Dingin masih disebut internasionalisme merupakan upaya integrasi dunia, dimulai dari ekonomi, lalu teknologi dan selanjutnya seluruh sektor kehidupan seperti politik, budaya, keyakinan, dan gaya hidup. Inilah penjajahan bentuk baru yang pernah diistilahkan Bung Karno sebagai neokolonialisme dan imperialisme disingkat Nekolim,” sambung Lonjong.
”Wah, menarik ikhwal Nekolim itu bila dikaitkan ungkapan Rubag tentang teknik makan bubur sebagai upaya untuk menggerogoti negara-negara bangsa yang mulai tumbuh sejak awal modernisasi pada Abad XVIII. Kalau di zaman modern, kolonialisme dan imperialisme dilakukan dengan penyerangan secara fisik atau pendudukan, di era postmodern atau globalisasi penjajahan dilakukan secara halus namun dengan akibat lebih menyakitkan. Seperti makan nanas, yang karena enak dan manis lalu melahap banyak, akibatnya panas dalam. Orang Bali mengandaikannya, care medahar manas, manis kole ngemanesin! Lewat pinjaman luar negeri kita terbelit penjajahan ekonomi sekaligus terperangkap dalam konsumerisme teknologi dan gaya hidup alias imperialisme budaya. Inilah awal teknik makan bubur dipraktikkan Nekolim, terlebih-lebih undang-undang dan peraturan pernah diisukan bisa diperjual-belikan,” papar Gading.
”Ya, globalisasi teknologi dan ekonomi cenderung menghasilkan keseragaman dalam lingkungan hidup. Sebaliknya menghapus simbol-simbol warisan monumental, baik warisan budaya maupun warisan alam. Upaya untuk melestarikan warisan budaya dan alam secara sengaja digagalkan demi kepentingan ekonomi dan laba. Ribut-ribut soal Tahura Mangrove di Suwung yang dikontrakkan ke pihak swasta mungkin saja efek dari penjajahan bentuk baru itu. Meski aku tidak suka berjudi juga tidak rakus makan, namun pelarangan terhadap tajen dan masakan daging penyu, membuatku curiga. Yang pertama dikaitkan dengan judi, yang lain dianggap satwa langka. Terlepas dari judi dan satwa langka, akibat dari pelarangan itu khususnya di Denpasar atau Bali Selatan, kehidupan mabanjar atau berorganisasi tradisional yang merupakan warisan budaya leluhur seperti mengalami stagnasi. Padahal dulu sebelum pelarangan, balai banjar sebagai ruang publik tradisional merupakan tempat yang paling sering dikunjungi warga banjar saat waktu luang. Baik untuk magecel, mabombong ayam-ayam jagonya sambil ngobrol. Demikian pula dengan dilarangnya penggunaan daging penyu, nyaris tidak ada lagi acara mebat di banjar-banjar lingkungan Denpasar,” ulas Wahyu.
”Benar, saat acara mebat atau mengolah daging penyu untuk kuliner Bali, warga banjar akan datang berkali-kali ke banjar untuk masak bersama. Mulai dari bikin katik sate dan menganyam sengkui serta kelangsah siang hari, lalu malamnya meracik bumbu dan dari subuh hingga pagi mebat. Di kegiatan ini pun berbagai isu dan opini dibicarakan di samping menambah keakraban sesama anggota banjar. Sayang, dewasa ini suasana balai banjar sering tampak lengang, malah ada banjar yang lantai dasarnya dikontrakkan untuk toko, karena kegiatan hanya sekitar dua-tiga kali setahun. Bahkan dulu pernah ada seruan pemerintah untuk mengganti nama banjar menjadi dusun, yang secara serempak ditentang krama banjar di Bali, yang kebetulan juga ditolak Prof. Ida Bagus Mantra, yang masih menjabat sebagai Gubernur Bali saat itu. Entah karena alasan itu atau sebab lain, sekarang masyarakat Denpasar lebih tahu nama jalan dibanding nama banjar atau desa, saat menanyakan alamat seseorang atau memberi tahu tempat domisilinya,” tambah Pacet.
”Mungkin merasa lebih keren bila menyebut nama jalan daripada banjar! Masih terkait pelarangan tajen, yang dulu diadakan untuk menggali dana buat pembangunan balai banjar atau tempat suci, karena sumbangan dari pemerintah sulit diharapkan. Kendati ada jumlahnya jauh dari memadai. Sekarang ada tren masyarakat mencari dana untuk keperluan serupa dengan menjual kupon bazar yang didistribusikan hingga ke masyarakat luas. Lucunya, para pembeli kupon harus menukarnya dengan makanan di gerai-gerai cepat saji yang dimiliki perusahaan-perusahaan Paman Sam berupa fried chicken, fried potatoes dan kupon yang berharga lebih mahal bisa jadi berisi hamburger atau hotdog. Hahaha, lawar dan serapah penyu dauber-uber petugas tapi makanan turis okey! Seperti arak Bali yang jadi industri rumah tangga dianggap anak tiri di rumah sendiri, tapi minuman keras impor dianak-emaskan. Sepertinya kita diarahkan para elite, sengaja disuruh jadi bubur, yang digerogoti sedikit demi sedikit dari pinggir oleh para pemangsa global,” kata Aglet.
”Seyogianya para elite tidak berpikir dan bersikap pragmatis dan individualis menyikapi arus global! Mereka sepatutnya sadar, setelah pensiun dari kekuasaan, akan jadi masyarakat biasa yang harus menjalani hidup seturut aturan dan kebijakan yang mereka buat saat berkuasa. Anak-anak dan keturunan mereka pun akan menderita bila produk hukum atau kebijakan publik yang mereka warisi tidak manusiawi atau bertentangan dengan hati nurani masyarakat. Sebab belum tentu anak dan cucu pejabat akan menjadi elite kelak. Hatiku terenyuh melihat bentrokan massal antara aparat yang bertugas mengosongkan rumah dinas atau asrama melawan para penghuni yang merupakan anak-anak dan keluarga para pensiunan. Hal serupa bisa saja terjadi pada setiap orang ketika tidak lagi berkuasa. Soal bahasa daerah yang terancam punah akibat kebijakan integrasi ke mata pelajaran Seni Budaya, seharusnya dikaji ulang. Terutama Bahasa Bali yang memiliki struktur, gramatika, dan komposisi khas. Bahkan sakral karena banyak istilah dan nama upacara serta sesajen berasal dari bahasa ini. Malah tradisi, etika, dan sopan santun pun dikekalkan oleh Bahasa Bali, karena bahasa ini punya sor singgih. Orang disebut memiliki tata krama bila mampu menggunakan Bahasa Bali sesuai hierarki, nista, madya, utama-nya. Jangan sampai demi globalisasi, warisan budaya berupa bahasa yang patut dilestarikan dibunuh,” komentar Widia.[balipost]
Belum ada komentar