Sengketa Ruko di Pasar Grong-grong, Kesaksian Polisi Dinilai Janggal

Sengketa Ruko di Pasar Grong-grong, Kesaksian Polisi Dinilai Janggal
Majelis hakim PN Sigli memeriksa lokasi Ruko yang menjadi objek sengketa perdata di pasar Grong-grong, Pidie. (Ist)

PM, Pidie – Pukul 11 jelang siang, hakim Budi Sunanda dari majelis hakim Pengadilan Negeri Sigli tiba di pasar Grong-grong, Pidie. Di sana, ratusan warga dan pedagang telah menunggu sejak beberapa jam sebelumnya. Di lokasi tersebut, hakim langsung menyasar objek perkara berupa 10 unit ruko yang tengah direcok sengketa pembangunan dan bagi hasil, antara Abu Bakar Yahya selaku pihak pengembang dan si empunya tanah, Ali Basyah bin Ismail.

Sesaat kemudian, di hadapan warga Budi membuka sidang. “Pemeriksaan objek perkara ini merupakan lanjutan dari persidangan-persidangan sebelumnya yang dilakukan di Pengadilan Negeri Sigli, agenda kali ini yaitu untuk melihat langsung dan memastikan objek perkara  berupa 10 unit ruko yang disengketakan,” tuturnya saat berada di lokasi.

Dalam pemeriksaan lapangan pada Rabu 23 Mei lalu itu, kehadiran pihak Abu Bakar sebagai penggugat diwakili kuasa hukumnya Muhammad Yusuf SH. Sementara Ali Basyah selaku tergugat diwakili empat advokat dari kantor Yulfan Pahlawan & Associates. Mereka adalah Muhammad Yulfan, SH, Teuku Rahmat Kurniawan SH.MH. Muhammad Alaidin Johan Syah, SH dan Teuku Ade Pahlawan SH.

Salah seorang kuasa hukum tergugat, Yulfan kepada media menjelaskan kembali runut sengketa pembangunan ruko antara Abu Bakar dan Ali Basyah.

Semua berawal pada tahun 2002 silam. Keduanya pernah menyepakati perjanjian bagi hasil dari pembangunan ruko di kawasan pasar Grong-grong. Kala itu, dari rencana pembangunan 6 ruko di bidang tanah milik Ali Basyah, Abu Bakar selaku pihak pembangun dijanjikan mendapat 4 unit ruko. Sedangkan sisa 2 ruko lagi jadi milik Ali.

“Saat itu keduanya sepakat dalam perjanjian awal bahwa ruko akan dibangun menghadap ke barat,” ujar Yulfan.

Seiring waktu, Abu Bakar berubah pikiran. Atas inisiatif sendiri ia mengubah arah pembangunan ruko ke sebelah utara, melampaui perjanjian awal. Abu Bakar saat itu berpikir, jika menghadap ke utara ia bisa membangun lebih banyak ruko.

Beberapa bulan kemudian, pembangunan pun rampung. Jumlah ruko yang berdiri ternyata ada 10 unit, lebih 4 unit dari perkiraan awal.

“Pembangunan itu tanpa musyawarah dengan pemilik tanah, Ali Basyah,” kata Yulfan.

Buntutnya, Ali merasa sangat dirugikan. Karena kepemilikan ruko tetap sebagaimana perjanjian awal, dimana ia hanya mendapat 2 unit. Bedanya, Abu Bakar selaku pihak pembangun lebih untung karena mendapatkan 8 unit ruko.

Ali Basyah berupaya menemui Abu Bakar untuk membahas ulang perjanjian kepemilikan bangunan tersebut. Namun, tak ada respon dari Abu Bakar.

“Tak ada itikad baik dari pihak pengembang (Abu Bakar) untuk menyelesaikan masalah ini, sementara Ali Basyah perlu menagih haknya sebagai pemilik tanah,” tambahnya.

Kisruh antara kedua belah pihak terus bergulir hingga ke meja hijau. PN Sigli mencatat perkara ini sebagai kasus perdata nomor 5/Pdt.G/2018/PNSgi, dimana Abu Bakar sebagai penggugat melawan Ali Basyah sebagai Tergugat. Salah satu tahapan persidangan yakni pemeriksaan setempat (desente), seperti yang dilakukan majelis hakim yang diketuai Budi Sunanda pada 23 Mei lalu di hadapan warga pasar Grong-grong.

Kesaksian Janggal Oknum Polisi

Yulfan melayangkan beberapa lembar pers rilis kepada Pikiran Merdeka, Jumat (27/7) pekan lalu. File berkop resmi Yulfan Pahlawan & Associates ini berisi pengaduan mereka selaku kuasa hukum dari pihak tergugat, Ali Basyah terhadap dugaan Pelanggaran Kode Etik Profesi yang dilakukan oleh oknum polisi berinisial S.

“Demi kepentingan hukum Kuasa Hukum ALI BASYAH Bin ISMAIL IBRAHIM  selaku Tergugat dalam perkara perdata Nomor: 5/Pdt.G/2018/PN Sgi di Pengadilan Negeri Sigli, melaporkan atau mengadukan dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, yang dilakukan oleh Oknum Polisi berinisial S yang bertugas di Polsek Grong-grong, Polres Pidie ke Propam Polda Aceh,” tulis Yulfan di awal pernyataannya.

Berikutnya ia menerangkan, S selaku oknum polisi sempat hadir bersama keluarga pihak penggugat pada persidangan di PN Sigli. Statusnya saat itu sebagai saksi.

Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, S mengaku pernah memfasilitasi proses mediasi antara kedua pihak, Abu Bakar dan Ali Basyah pada tahun 2014 silam. Namun, yang dipersoalkan Yulfan adalah keterlibatan S sebagai saksi dari pihak penggugat.

“S menyampaikan kesaksiannya di muka persidangan tanpa memperoleh Izin Atasan (Angkum), padahal kesaksiannya itu disampaikan atas kapasitasnya sebagai anggota Polri yaitu sebagai Kanit Reksrim Polsek Grong-grong,” timpal Yulfan.

Ia lantas meragukan netralitas dari oknum polisi tersebut. Padahal, berdasarkan tugas dan fungsi sesuai peraturan perundang-undangan, polisi tidak bisa menyampaikan kesaksian untuk membela kepentingan salah satu pihak.

“Seharusnya S selaku oknum polisi yang bertugas di Polsek Grong-Grong sebagai aparat penegak hukum mampu bertindak netral dalam perkara yang sedang diproses di pengadilan dan menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak,” kata dia.

Tindakan S menyampaikan kesaksian yang berpihak pada penggugat, amat disesalkan Yulfan. Apalagi tindakan tersebut disaksikan oleh puluhan pengunjung sidang dari berbagai kalangan. Hal ini telah berkembang luas di masyarakat kecamatan Grong-Grong, bahwa ada oknum polisi telah bertindak melampaui kewenangannya, karena membela kepentingan penggugat.

Bukan Kesaksian Langsung

Netralitas oknum S semakin diragukan ketika diketahui keterangannya di persidangan ternyata bukan hasil kesaksian langsung, namun hanya diperoleh secara lisan dari pihak penggugat.

“Semestinya sebagai polisi harus tahu dan paham betul bahwa sesuai dengan KUHAP saksi adalah orang yang mengalami, melihat dan mendengar langsung pada saat terjadinya tindak perkara, namun oknum S dengan sangat berani mengorbankan intitusi Polsek Grong-grong hanya untuk menyampaikan keterangan yang derajat kesaksiannya sangat lemah,” sesal Yulfan.

Ia bahkan merinci sederet peraturan internal kepolisian dan perundang-undangan lainnya yang diterabas oknum polisi tersebut.

“Pertama, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 34 (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Apabila ada anggota yang melanggar kode etik, maka dia akan ditangani oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 35 ayat (1),” papar Yulfan.

Berikutnya, dalam Pasal 3 huruf (c) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa anggota Polri wajib menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, pemerintah, dan kepolisian.

“Berdasarkan ketentuan ini, maka anggota Polri tidak diperbolehkan melakukan setiap perbuatan yang dapat mengurangi kehormatan Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal itu dijelaskan dalam pasal 5 dan 6, yang pada intinya melarang polisi menyalahgunakan wewenangnya,” ujarnya.

Yang terakhir, tindakan S yang menyampaikan pembelaan kepada penggugat tanpa izin atasan atau angkumnya, dinilai Yulfan telah melanggar Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, tentang Kode Etik Profesi Polri Ayat (1) huruf (b).

“Setiap anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi dan kehormatan Polri,” pungkasnya.

Sementara itu secara terpisah, pikiranmerdeka.co telah berupaya mengklarifikasi Kapolsek Grong-grong terkait keterlibatan oknum S dalam kesaksian kasus sengketa tersebut di pengadilan. Namun, hingga Rabu (1/8) Kapolsek belum dapat memberikan keterangan apapun kepada media ini. Sebab, sesuai mekanisme dirinya perlu mendapat persetujuan dari Kapolres Pidie untuk dapat memastikan informasi tersebut.

(Berita ini kemudian diklarifikasi oleh pihak penggugat, Abu Bakar melalui anaknya Mar’i Abu Bakar, yang diterima media ini pada Jumat, 3 Agustus 2018. Dalam keterangannya, Mar’i menyesalkan sikap pengacara dari pihak tergugat, Yulfan SH atas pernyataannya di media pada saat persidangan kasus sengketa tersebut masih berjalan di PN Sigli. Sikap Yulfan tersebut dinilai Mar’i telah mengabaikan asas praduga tak bersalah, dan berpotensi melanggar Kode Etik Advokat. Selengkapnya dapat dibaca disini[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Pouyis 11 feb 1 1
Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhamad Iqbal (kedua kiri) berkantor sementara di Adana, salah satu kota terdampak gempa bumi di Turki. (Foto: ANTARA/HO-KBRI Ankara)

Bantu Korban Gempa Turki, Tim Indonesia Berkantor di Antakya