Butuh kesabaran untuk benar-benar menjadi pasangan suami-istri di daerah ini. Ada serangkaian prosesi adat yang harus dilalui selama seminggu.
Oleh Makmur Dimila
Hasanuddin dan Husmiyati sah menjadi suami-istri siang itu usai menjalani akad nikah di Masjid Baitul Ghafur Labuhan Tarok, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan. Namun mereka harus menunda malam pertama hinggga seminggu.
Kebanyakan adat daerah, setelah akad nikah, mempelai pria atau lintô barô sudah bisa tinggal serumah dengan mempelai wanita atau dara barô. Namun pasangan dari Desa Labuhan Tarok II dan Labuhan Tarok I itu lebih dulu menempuh serangkaian acara di rumah masing-masing.
“Pengantin baru mulai menikmati malam pertama sejak sehari setelah hari H,” kata Anismanidar, mewakili keluaga Husmiyati. Hari H yaitu hari intat linto (antar mempelai pria) ke rumah orangtua dara baro.
Dulu, beberapa generasi sebelumnya, mempelai wanita mengenakan hiasan emas pada baju pengantin. Emas pinjaman dari tetangga atau yang mampu meminjamkan. Dipakai dara baro pada tangan dan leher. Sehingga hari H benar-benar tampak seperti kegiatan keraton.
Linto baro saat itu dapat langsung menjalani malam pertama dengan daro baro. Namun suatu kali berdasarkan cerita tetua Meukek, kenikmatan membawa sengsara. Linto baro merampas semua hiasan emas pada baju pengantin wanitanya, lantas dibawa lari.
“Sebab itulah, disepakati sebuah adat baru, linto baro baru boleh pulang ke rumah dara baro sehari setelah pesta kawin,” cerita Anismanidar, mengutip cerita dari orangtuanya.
Kearifan lokal tersebut dipertahankan hingga kini. Sebagai generasi penerus, setiap pengantin baru wajib mengikutinya, sebagaimana dialami pasangan yang disapa warga setempat dengan nama Dek Yong dan Tek Hus ini.
Beberapa hari sebelum ritual seminggu, pihak keluarga calon pengantin menggelar Duek Pakat. Di sini, orangtua dan saudara kandung Tek Hus duduk mufakat. Membahas seberapa besar kenduri dilaksanakan dan berapa tamu yang diundang.
Hasil kesepakatan Duek Pakat disampaikan kepada seluruh perwakilan keluarga dari kedua pihak orangtua mempelai pada acara Duek Wareh seminggu kemudian. Pertemuan ini juga memberi kesempatan bagi sanak famili yang menyumbang biaya pernikahan.
Tuan rumah kemudian menyebar undangan pada selembar kertas ukuran tapak tangan orang dewasa. Berisi pemberitahuan tiga acara utama dalam rentang waktu seminggu. Yaitu Duek Rame, akad nikah, dan pesta atau kenduri (H).
Adat pula yang mengubah ruang tamu kediaman Tek Hus menjadi ruang pelaminan pada hari sebelum malam Duek Rame, empat hari usai Duek Wareh. Kain-kain kasab bernada tradisional menutupi dinding dalam rumah. Pesta perkawinan seakan-akan digelar esok pagi.
“Di sini, pelaminan harus sudah dipasang sebelum Duek Rame. Jadi ketika orang-orang se-desa datang pada malam Duek Rame, mereka dapat menilai kesiapan tuan rumah dalam menggelar acara,” ujar Agusli Umar, Keuchik Labuhan Tarok I.
Penataan pelaminan juga menentukan bagaimana hari H akan berlangsung. Di beberapa kecamatan di Aceh Selatan, sebut Sulida tokoh masyarakat setempat, beda bentuk pelaminan beda pula hewan ternak yang disembelih untuk pesta perkawinan.
“Sehingga pada malam Duek Rame, warga sudah bisa menilai, misalnya ‘o, kalau bentuk pelaminannya begitu akan disembelih kambing. Atau akan disembelih sapi bila model pelaminannya demikian,” tuturnya.
Namun Meukek tidak membudayakan perbedaan. Kearifan lokal kecamatan kota sufi dan tasawuf itu menyatakan, bentuk pelaminan sama meskipun hewan sembelihan berbeda.
“Apakah si kaya atau si miskin yang buat pesta, bentuk pelaminan tetap sama,” tutur Sulida.
Seluruh warga Labuhan Tarok I pun menganalisis bentuk pelaminan pada Rabu malam itu. Namun belum tahu betul, hewan apa yang disembelih di hari H nanti. Pun, tujuan mereka hanyalah untuk memenuhi undangan Duek Rame dan membantu pihak dara baro.
Mereka mufakat terkait agenda dan pembagian tugas sejak hari pernikahan hingga hari pesta atau walimah. Ibu-ibu membuat kue untuk dinikmati bersama. Leupek (timphan) merupakan penganan yang wajib dibuat malam itu.
Timphan-timphan itu lantas dibawa ke Masjid Baitul Ghafur pada Kamis pagi. Seluruh hadirin yang menyaksikan ucapan ijab-kabul Hasanuddin menyantapnya bersama penganan tradisional lainnya dalam piring-piring kecil. Sebagai teman kopi dan teh.
Bôh kaca tujôh tangké
Hujan deras membasahi Meukek pada Kamis malam. Namun tak menunda agenda ukir inai yang dikenal dengan bôh kaca tujôh tangké. Ibu-ibu dan remaja desa menyaksikan adat ukir inai di rumah pasangan Almarhum Nyak Umar dan Hajjah Umi Sapiah itu.
“Setiap batang inai haruslah dari tujuh rumah berbeda,” tutur Anismanidar, famili Tek Hus.
Husmiyati diinai dengan daun pacar dari tujuh batang berbeda sumbangan warga Labuhan Tarok I.
Daun pacar digiling halus di atas batu dengan tujuh lapis kain tujuh warna. Sebelumnya, batu giling ditepungtawari sambil dibacakan lafal-lafal kearifan lokal oleh tetua setempat. Kemudian setiap perwakilan tujuh penyumbang inai menggilingnya bergiliran. Mereka juga kebagian menginai mempelai bergiliran.
Tak hanya mempelai, siapa saja yang menyaksikan ukir inai dianjurkan memakainya pada kuku atau anggota tubuh lainnya sebagai tanda hadir. Pada malam berikutnya, saya pun mengukir inai di tangan sendiri, sebelum ritual tiga malam berturut-turut itu berakhir.
Tek Hus agak telat diinai pada malam ketiga dari rangkaian bôh kaca tujôh tangké. Sebab malam itu, tradisi bawa kado sudah dimulai. Semenjak usai magrib, Hajjah Umi Sapiah kedatangan besannya. Beberapa ibu rumah tangga dari pihak dara baro juga membawa parsel kado.
Kalau sudah begitu, dara baro yang mengenakan gaun harus duduk di pelaminan. Menyambut tamu bersama ibunya. Disaksikan juga oleh sanak famili. Ibunya menerima kado dan mempersilakan pembawa kado itu menepungtawari Husmiyati. Baru setelah itu, menjelang tidur, dia diinai lagi.
Kado-kado lain dari para undangan menyusul esoknya. Memenuhi salah satu kamar rumah semipermanen itu hingga hari H. Para pemberi kado dicatat namanya. Tuan rumah akan mudah menjalani tradisi balas kado jika kelak pesta kawin digelar di rumah orang lain.
Manöe pucôk di pangkuan
Dugaan warga tentang sembelihan terjawab pada Senin pagi atau sehari sebelum pesta walimah. Panitia memotong lembu di pasi (pantai) Lhok Nibong. Kemudian dimasak pada dapur umum di belakang rumah mempelai.
Segenap warga Labuhan Tarok I, termasuk saya, menikmati kuah beulangong ala Aceh Selatan yang khas dengan rasa pedasnya bumbu cabai rawit itu saat makan siang. Sisanya untuk tamu di hari H.
Sementara sore itu, dara baro dimandikan dengan air kembang. Dikenal dengan manoe pucok. Di halaman rumah, Tek Hus dipangku seorang anggota keluarga yang duduk di kursi.
Mereka disirami beberapa jenis campuran air oleh ibu kandung dan tim barzanji yang diundang khusus dari desa tetangga. Diiringi pembacaan salawat Nabi Muhammad.
“Biasanya manoe pucok digelar di atas panggung, diiringi meuratôh atau berbalas syair oleh tim barzanji. Tapi khawatir akan keluarnya syair-syair yang menentang nilai agama, kami tiadakan meuratoh,” ungkap Keuchik.
Daro baro benar-benar terlibat dalam modernitas ketika malam hari H. Tangan dan kakinya ditato dengan hena oleh tim perias pengantin. Di kamar pribadi, bukan di ruang tamu seperti malam-malam sebelumnya.
Linto diantar malam hari
Pemuda dan tetua Labuhan Tarok I memenuhi rumah pesta seiring cahaya mentari Selasa 22 April 2014 perlahan turun dari Gunung Meukek. Bersatu padu di dapur umum. Yang tua pun mengingatkan pemuda untuk memutar musik dengan sound speaker. Sehingga semangat kerja meliuk-liuk di antara pepohonan pisang.
Di pelaminan, Tek Hus dengan gaun pink menunggu undangan hingga siang hari. Sejak azan Zuhur berkumandang dari masjid, rumah pengantin sepi sejenak. Ramai kembali jelang matahari tenggelam.
Warga yang tadinya istirahat, buru-buru menghadiri “malam puncak”. Linto diantar malam hari. Lima menit dari Labuhan Tarok II, rombongan tiba pukul 21.00 WIB.
Dek Yong berpakaian adat, ditudungi payung kuning, memasuki ruang pelaminan seraya ditepungtawari oleh ahli waris Tek Hus.
Rombongan linto lantas menyerahkan peuneuwoe yaitu isi rumah tangga yang dikemas seperti kado. Perwakilan pengantin pria menyampaikan testimoni peresmian Hasanuddin sebagai kepala rumah tangga baru. Ditandai dengan berbalas pantun dari utusan kedua pihak.
Acara makan-makan usai. Gerimis di luar jendela bagai nyanyian kebahagiaan. Linto baro beramah-tamah. Satu persatu, saudara Husmiyati diperkenalkan kepadanya, dilanjutkan foto bersama. Sejenak kemudian, linto pulang bersama rombongan.
Tek Hus istirahat sedangkan Dek Yong menikmati hiburan di panggung halaman rumahnya.
Dua grup seni tari akan berbalas sajak dalam penampilan Tari Ratôh Meuseukat. Tim dari Manggeng Aceh Barat Daya beradu syair dengan tim dari Sawang Aceh Selatan.
Syair-syair berbahasa Aceh berisi pesan moral dan humor mengundang tawa penonton dari desa sekitar. Dek Yong terlihat sangat terhibur. Padahal resepsi belum tuntas.
Tueng dara barô di sore hari
Mempelai pria harus menjemput mempelai wanita atau dikenal tueng dara baro besok, Rabu sore. Linto baro berpakaian adat, ditemani ahli famili, menjemput dara baro dengan mobil.
Setelah Asar, dara baro diantar ke rumah linto, ditemani rombongan. Sepasang pengantin baru itu jalan bergandengan di lorong masuk kediaman orangtua Hasanuddin. Mereka disambut tari Ranup Lampuan, simbol selamat datang kepada tamu baru.
Di pelaminan kuning, keduanya diberi hidangan pembuka layaknya ratu dan raja. Saling suap nasi dengan sendok. Saling menyuguhi segelas minuman. Hal ini juga dilakukan saat linto ke rumah daro baro kemarin. Foto-foto bareng keluarga tak luput. Pun sebelum pulang, dara baro diperkenalkan satu persatu sanak saudara linto baro.
Resepsi perkawinan diakhiri dengan samadiah setelah Isya di rumah Umi Sapiah. Segenap warga Labuhan Tarok I diundang makan malam di kediaman Tek Hus.
Di hadapan tamu, utusan tuan rumah menyampaikan terima kasih dan mohon maaf bila ada pelayanan yang kurang selama seminggu. Pun panitia yang dibentuk pada malam Duek Rame resmi dibubarkan malam itu.
Saya terperanjat ketika dimulainya pengiriman doa kepada almarhum ahli keluarga. Tiba-tiba diedarkan talam berisi kemenyan yang dibakar. Asap mengepul dan menyemburkan bau kemenyan. Ternyata, adat setempat sedang berlangsung.
Perpisahan dengan warga kelar. Rumah sepi. Setumpuk kado belum sempat dibuka. Gerimis kembali membasahi tanah Labuhan Tarok I. Setengah jam berlalu, Tek Hus muncul di pintu depan. Ia mengenakan kain sarung dan baju tidur ala ibu rumah tangga.
“Inilah yang disebut pesta tujuh hari tujuh malam,” tuturnya saat saya pamitan pada Rabu 23 April 2014 malam itu.
Dia lantas menatap ke teras rumah, menunggu Hasanuddin pulang, untuk menikmati malam pertama mereka yang sesungguhnya.[]
*Diterbitkan di Rubrik BUDAYA Tabloid Pikiran Merdeka edisi 110 (8-14 Februari 2016)
Belum ada komentar