Kasus pembungan bayi semakin marak di Aceh. Umumnya, buah hati yang terlahir dari hubungan di luar nikah.
Tubuh anak itu berlumuran darah. Setelah tali pusarnya dipotong, tak diikat lagi dengan baik. Ia menangis. Wajah mungil tak berdosa itu ditinggalkan oleh seseorang yang tak bertanggung jawab di depan emperan toko Gampong Kemumu Hilir, Kecamatan Labuhan Haji Timur, Kabupaten Aceh Selatan.
Warga menemukannya sekira pukul 06.00 WIB, Senin 1 Januari 2018. Mereka melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Selanjutnya, bayi yang diperkirakan baru berumur satu hari tersebut dibawa ke Puskesmas terdekat.
Beruntung, bayi tersebut dapat diselamatkan. Juanada, kepala Puskesmas Wilayah Pelumat Labuhan Timur, mengatakan bayi tersebut ditemukan dalam kondisi berdarah.
“Ketika sampai pada kita, kondisinya berlumuran darah. Setelah kita rawat dan kita bersihkan, bayi perempuan tersebut dalam kondisi sehat,” kata Juanda.
Menurut dia, setidaknya sudah ada 24 orang yang bersedia mengadopsi bayi yang diduga dibuang oleh orang tuanya tersebut. “Setelah melakukan rapat, bayi tersebut akan kami rawat satu hari lagi. Ketika kondisinya sudah benar-benar sehat, akan kita serahkan kepada pihak yang berhak merawat bayi tersebut,” jelasnya.
Seolah mengulang kejadian yang sama, di Tapaktuan, Aceh Selatan, 4 Desembar lalu. Seorang bidan di sana juga menemukan bayi laki-laki. Bayi tersebut diantarkannya ke Rumah Sakit Umum Yulidin Away, Tapaktuan, Aceh Selatan.
Menurut keterangan pihak rumah sakit, saat diantarkan, bayi tersebut dalam keadaan demam tinggi. “Saat kami terima, bayi laki-laki ini dalam kondisi demam tinggi dan sempat kejang-kejang kerena suhu tubuhnya mencapai 37,8 derajat celcius. Berat badannya 2,9 kg,” kata Mareva Wani, Kepala Ruang Picu/Nitu RSUD Yulidin Away, Rabu 6 Desember 2017.
Dia melanjutkan, setelah mendapat perawatan dari dokter, kondisi bayi tersebut mulai membaik. Atas inisiatif pihak rumah sakit, bayi yang tidak diketahui siapa orang tuanya tersebut diberi nama Muhamad Rizki.
Wani juga mengaku tidak mengetahui kronologis kejadian penemuan bayi tersebut.
Menurutnya, bayi malang itu diantarkan oleh seorang bidan bernama Faizah, yang juga merupakan warga Komplek Perumnas, Gampong Arafat, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. “Mengenai kejadiannya kami tidak tahu, tapi sekarang bayi ini sudah ditangani oleh Dinas Sosial Aceh Selatan,” ujarnya.
Sepanjang beberapa hari terakhir, Aceh memang dihebohkan dengan pemberitaan penemuan bayi. Tingginya angka pembuangan bayi di Aceh juga disoroti Indonesia Police Watch (IPW). Aceh berada di posisi ke empat dengan angka pembuangan bayi terbanyak di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data, IPW menyebutkan setidaknya ada 16 kasus pembuangan bayi yang terjadi sepanjang tahun 2017 di Bumi Serambi Makkah. Hal ini tentunya menjadi catatan buruk bagi masyarakat Aceh sendiri. Pasalnya, Aceh yang dikenal sebagai wilayah Syariat Islam, malah berada di posisi teratas dalam kasus ini. Kondisi ini bisa saja diasumsikan bahwa wilayah Aceh rawan seks bebas sehingga maraknya pembuangan bayi.
Sorotan tersebut juga menjadi perbincangan beberapa pihak. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Nevi Aryani menilai hal ini sangat mempermalukan Aceh. “Ini menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang yang belum dewasa. Ini sangat memalukan bagi kita semua,” katanya, Rabu (3/1).
Namun, menurutnya, data yang diterima pihaknya sepanjang 2017 tidak mencapai angka 17 kasus. Hanya ada 9 kasus yang ditangani pihak DP3A pada tahun 2017. Menurut dia, pembuangan bayi masuk ke dalam kasus penelantaran anak dan pelakunya akan dipidanakan. “Pelakunya rata-rata anak kost, akibat pergaulan bebas dan mereka tidak menghendaki bayi mereka sehingga membuangnya,” kata Nevi.
Lanjut Nevi, kebanyakan kasus pembuangan anak terjadi karena kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya. “Disebabkan kurang pengawasan dari orang tua yang tinggal di daerah kabupaten atau kota,” tutupnya.
Persoalan ini juga disoroti oleh pihak Dinas Sosial Aceh. Rita Mayasari, Kasi Rehabilitasi Anak dan Lanjut Usia mengatakan pada tahun 2017 dari pihaknya mencatat ada sebanyak tiga kasus pembuangaan anak yang terjadi di Aceh. “Di kami, datanya nggak sampai 16 kasus. Tahun 2017 hanya tercatat tiga kasus. Namun, dari segi pengalaman dari beberapa kasus yang kami tangani, memang kecenderungannya meningkat,” jelas Rita saat ditemui Pikiran Merdeka di ruang kerjanya, Rabu (3/1).
Di Provinsi Aceh, lanjut dia, dari tahun 2014, 2015 itu sendiri ada kecenderungan peningkatan namun tidak signifikan. “Laporan dari masyarakat pun banyak,” katanya.
Rita sangat menyayangkan hal itu bisa terjadi di Aceh yang notabene negeri Syariat Islam. “Sangat menyayangkan itu terjadi, apalagi bayi itu dalam kondisi rentan terhadap perlindungan. Itu juga bukan solusi terbaik bagi permasalahan yang dihadapi oleh orang tuanya,” kata Rita.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus yang ditangani pihak Dinas Sosial, Rita menyebutkan ada beberapa penyebab yang melatarbelakangi pembuangan anak tersebut. “Kebanyakan alasannya anak tersebut adalah anak di luar perkawinan. Ada yang memang korban pelecehan seksual, bahkan ada beberapa pelaku berusia dini. Ada juga yang memang korban penipuan, mereka diiming-iming akan dikawinkan terus hamil dan tidak ada yang tanggung jawab,” jelas Rita.
Dia berharap, mayarakat dan keluarga juga perlu proaktif untuk mencegah terjadinya penzinaan, supaya angka pembuangan bayi tidak semakin bertambah.
“Memang kasus penelantaran bayi ini tidak semua terjadi karena anak tersebut merupakan anak di luar nikah, ada juga yang sengaja dititipkan ke dinas sosial karena keluarganya kekurangan finansial. Namun, untuk beberapa kasus pembuangan bayi seperti yang sering dikabarkan, ini patut mendapat perhatian dari masyarakat sekitar,” jelasnya.
Dia juga melihat sudah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Aceh. Sekarang ini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengawasi anak-anaknya, terlebih untuk anak perempuan. “Misalnya dengan tidak memberi ijin anak untuk keluar rumah sampai larut malam,” kata Rita.
Ungkapnya, kasus ini tidak hanya terjadi di perkotaan, namun kebanyakan terjadi di beberapa kawasan pedalaman. “Kejadiannya tidak hanya di ibukota provinsi, tapi di daerah juga banyak. Seperti Bireuen mungkin lebih tinggi dari pada kabupaten/kota lain, Lhoksemawe juga.”
Dalam menangani kasus pembuangan anak, pihak Dinsos melakukan beberapa langkah tanggap. “Pertama kita koordinasi ke pihak kepolisian. Bayinya diselamatkan dahulu. Selanjutnya, kita bawa ke layanan kesehatan terlebih dahulu. Dari pengalaman, ada beberapa kasus yang ditemukan sudah disemuti dan tidak selamat. Berikutnya, kita bawa ketempat penitipan sementara. Kami juga menerima permohonan calon orang tua angkat. Permohoan tersebut kami seleksi dulu,” jelas Rita.
DPRA PRIHATIN
Tingginya angka pembuangan bayi di Aceh juga mengundang keprihatinan anggota DPR Aceh dari fraksi PKS-Gerindra, Zaenal Abidin. Ia mengaku prihatin dengan kejadian tersebut. “Ini adalah sebuah hal yang menyedihkan. Kebanyakan terjadi karena lemahnya pemahaman pergaulan remaja masa kini,” kata Zaenal kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (6/1).
Dia juga menyangkan Aceh sebagai daerah syariat Islam, kasus-kasus seperti ini tidak seharusnya terjadi. “DPRA sudah melahirkan qanun yang mengatur tentang khalwat. Harusnya juga diikuti oleh pihak kabupaten atau kota dengan membuat aturan turunan. Contoh paling sederhana dengan membatasi jam malam untuk wanita,” kata anggota Komisi IV DPRA ini yang membidangi kesehatan, sosial, pemberdayaan massyarakat, dan bencana.
Menurutnya, masyarakat juga perlu proaktif dalam hal ini, terlebih orang tua dalam menungkatkan nilai-nilai keislaman pada anak-anak. “Dulu di Aceh, sesudah magrib itu kebanyakan orang mengaji. Nah, sekarang kebiasaan itu perlu digalakkan lagi,” tutupnya.
KESALAHAN GANDA
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Muslim Ibrahim menyatakan maraknya kasus pembuangan bayi patut mendapat perhatian serius semua kalangan di Aceh. Ditegaskannya, hal itu merupakan perbuatan salah yang berlipat ganda.
”Kesalahan pertama, pelaku telah membuang orang. Kedua, karena anak tersebut tidak diharapkan orang tuanya. Dan ketiga, kemungkinan besar karena anak tersebut merupakan anak dari hubungan penzinaan,” kata Muslim via telepon, Sabtu malam.
Meski begitu, kata Muslim, sejauh ini MPU Aceh belum memusyawarahkan terkait kasus pembuangan anak. “Kami belum membahas tentang permasalahan ini. Karena ini memang sudah jelas haram dari awal. Jadi, ini bukan suatu permasalahan yang perlu dibahas menurut saya. Hanya saja kita perlu meningkatkan perhatian akan haramnya membuang anak,” tutupnya.[]
Belum ada komentar