Mantan guru yang seniman ini sempat berkali-kali jatuh dan terpuruk saat memasuki ranah politik praktis. Akhirnya, ia bangkit bersama PNA.
Menulis dan membaca puisi menjadi hobi yang tidak bisa ditinggalkan Drs Muhammad Arif, meski kini menjabat Wakil DPRK Bireuen. Di sela-sela kesibukannya sabagai wakil rakyat, ia selalu menyisihkan waktu menulis puisi dan kerap tampil di berbagai acara baca puisi.
Boleh jadi, ini dikarenakan dunia seni telah melekat didirinya sejak lama. Sebelum terjun ke dunia politik, pria dengan nama pena Arif Andepa ini memang pagiat seni, di samping sebagai tenaga pengajar di sekolah PT Arun.
Sejak SMA, Arif sudah akrab dengan seni lukis, puisi, teater dan sederet aktivitas seni lainnya. Makanya, saat sudah berada di arena politik pun alumni Universitas Jabal Ghafur ini tetap memainkannya dengan seni, bukan politik kasar dan tipu muslihat.
“Konsekwensinya, saya harus rela tersungkur berulang kali di dunia politik yang memang keras ini. Tapi Allah maha adil, setiap kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan pula, begitu juga sebaliknya,” ujarnya.
Arif mengisahkan, dirinya terjun ke dunia politik diawali pada Pilkada 2006. Kala itu ia menjadi tim sukses Irwandi-Nazar di Kabupaten Bireuen. Untuk mengembangkan karir politiknya, ia kemudian terlibat langsung dalam pendirian Partai Aceh. “Hasilnya, saya dipercaya sebagai Sekretaris DPW Partai Aceh Bireuen sejak 2007,” katanya.
Namun, dalam perjalanannya menjadi figur penting di Partai Aceh Bireuen, ia dihadapkan dengan kenangan pahit. Pada Pemilu 2009—Pileg pertama keikutsertaan partai lokal ini—Arif gagal masuk parlemen. Padahal, ia mengantongi suara sampai 5.000 lebih. Merasa ada yang menggunting haknya, ia pun hengkang dari partai tersebut.
Usai keriuhan Pileg 2009, di tengah kekecewaan, Arif tetap saja menata diri di dunia politik. Baginya, hidup terus berjalan. Tak bisa dihentikan. Kejadian demi kejadian berlalu, tertindih bahkan terlupakan. “Tapi kita harus menyelamatkan beberapa momen penting, sebagai pengalaman dalam menata hidup ke depan,” katanya.
Karena itu, pada Pilkada 2012 ia kembali memilih menjadi tim sukses Irwandi-Muhyan. Namun, di saat bersamaan Arif mendapat pinangan sebagai wakil Amirudin Idris di Pilkada Bireuen. “Saya sempat menolak dengan alasan minim modal, tapi akhirnya mandapatkan jalan keluarnya,” beber lelaki kelahiran Peudada, 1 Mei 1964 ini.
Hasil Pilkada Bireuen kala itu menempatkan pasangan Amiruddin Idris-Muhammad Arif di posisi kedua, di bawah pasangan Ruslan-Mukhtar Abda yang tampil sebagai pemenang. Kekalahan itu menjadi pil pahit yang harus ditelan Arif. Ia kehilangan rumah dan kendaraan, serta menyisakan utang ratusan juta rupiah yang digunakan selama proses Pilkada.
Keterpurukan itu tak membuatnya patah arang. Meski berstatus Cabup, ia tak malu menjadi buruh kasar demi menata hidup. Bahkan ia berkeliling ke berbagai pelosok dan bekerja pada sejumlah proyek pembangunan. Beruntung, istrinya yang guru PNS bisa menanggulangi kebutuhan hidup keluarga di saat Arif marasa tak berdaya.
“Saat itu, saya benar-benar merasa sendiri. Tidak ada teman yang peduli dengan apa yang saya alami. Untungnya, saya memiliki istri yang sabar dan tangguh. Ia selalu menjadi penyemangat hidup saya,” bebernya, mengenang masa-masa pahit yang dilaluinya.
“Sedangkan anak-anak, tak satupun tahu tentang kondisi saya itu. Kami memang merahasiakan, agar pendidikan mereka tidak terganggung,” sambung Arif.
Dalam perantauannya, Arif sempat setahun penuh ia menjadi kuli kasar sebagai pemasang bronjong di berbagai tepian sungai. “Setelah setahun berlalu, akhirnya saya diangkat sebagai supervisor lapangan,” katanya.
Pengangkatan tersebut bukan tanpa alasan. Selain tekun dalam setiap pekerjaan, Arif juga mengerti perancangan gambar proyek. “Makanya, selain supervisor lapangan, saya kerap terlibat dalam tim perancang gambar proyek,” katanya.
Seperti katanya, waktu terus berlari dan tanpa bisa dicegah, Pemilu 2014 kembali menyambanginya. Kali ini ia maju sebagai Caleg Partai Nasional Aceh (PNA) untuk DPRK Bireuen dari Dapil Peudada. “Alhamdulilah, saya lolos ke parlemen,” katanya.
Perlahan, kehidupannya pun kembali menemui titik normal. Sejumlah utang yang dicicilnya sejak menjadi kuli bangunan, semakin menyusut. Semangat menata hidup yang tidak pernah padam, berhasil mengembalikannya sebagai politisi yang diperhitungkan. Terlebih, PNA yang mengantongi lima kursi menempatkan Arif sebagai Wakil Ketua DPRK Bireuen.
“Semua ini tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan berlangsung dengan seizin Allah,” katanya.
Harapannya kini, PNA yang menjadi kendaraannya ke parlemen, kelak menjadi partai besar di bumi Aceh. “Tidak saya menjadi pemenang Pemilu, PNA ke depan benar-benar harus menjadi penyambung lidah rakyat. Inilah mimpi terbesar saya di dunia politik,” tandas pria yang tengah mempersiapkan peluncuran buku antologi puisi ini.[]
Belum ada komentar