Sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara perlu dikaji ulang. Presiden dinilai gegabah dalam penetapan tersebut.
Ketua Majelis Adat Aceh Badruzzaman Ismail mengatakan memang ada hubungan sejarah masuknya Islam ke Nusantara dengan Barus, Singkil, hingga ke Pariaman, Sumatera Barat.
“Karena yang pernah saya ikuti, pengaruh kultural Aceh itu sampai ke Pariaman. Jadi saya kira ada benang merahnya. Cuma mungkin para peneliti tidak meneliti secara lebih lengkap. Makanya sekarang muncul gagasan-gagasan baru, termasuk yang menyebutkan bahwa Islam pertama masuk itu di Barus,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Agar bisa sampai pada kesimpulan tersebut secara komperehensif, Badruzzaman mengimbau agar para ahli, seperti sejarawan dan arkeolog mengkaji ulang sehingga bisa dipastikan titik awal Islam itu di mana.
“Kalau dari kajian saya, memang ada dampak kedatangan Islam ini terhadap perilaku manusia, yaitu masyarakat Aceh sewaktu kedatangan Islam yang dari hasil seminar sejarah itu berpusat di Peureulak,” ujar penulis buku Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat Budaya itu.
Hal senada disampaikan arkeolog Unsyiah, Husaini Ibrahim. Para akademisi dan sejarawan sebelumnya sudah beberapa kali mengadakan seminar sejarah terkait persoalan masuknya Islam ke Nusantara ini.
Menurut doktor dengan konsentrasi Arkeologi Islam Nusantara di Universiti Sains Malaysia ini, mekanisme penetapan Barus sebagai titik nol Islam di Nusantara itu seharusnya dilakukan setelah adanya kajian atau seminar sejarah yang telah menyimpulkan hal serupa. “Karena dari seminar yang sudah dilakukan sudah ada penetapan beberapa tempat lain di Aceh sebagai salah satu kawasan Islam tertua,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Selain itu, hasil penelitian Husaini yang dimuat dalam bukunya, “Awal Masuknya Islam ke Aceh, Analisis Arkeolog dan Sumbangannya pada Nusantara” menyimpulkan bahwa jejak peradaban Islam tertua itu berada di Kampung Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh yang diperkuat dengan adanya temuan nisan-nisan kuno di kawasan tersebut.
“Dari temuan tersebut, didapatkan bahwa nisan-nisan di Kampung Pande berusia lebih tua dibandingkan nisan-nisan yang ada di Peureulak dan Pase,” ujar Husaini.
Ia juga sepakat dengan yang disampaikan Nab Bahany yang menyebutkan bahwa Barus lebih dikenal sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan ketimbang sebagai titik awal penyebaran Islam. “Kalau diklaim sebagai yang tertua, itu masih dipertanyakan. Karena kawasan Barus dan beberapa bagian Sumatera lainnya itu diislamkan oleh orang-orang Aceh,” ujar pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Banda Aceh itu.
Husaini berharap Pemerintah Aceh harus lebih peduli, terutama terkait kebijakan dan regulasinya dalam menyikapi persoalan ini. Salah satunya, dengan mengadakan seminar sejarah kembali terkait sejarah masuknya Islam pertama ke Nusantara sesuai dengan temuan dan bukti-bukti terbaru.
“Pemerintah Aceh harus membuat seminar ulang. Dari situ bisa dilihat. Kalau memang ada bukti Barus sebagai titik awal Islam masuk, ya, itu sah-sah saja. Ini kan tidak dilandasi oleh bukti-bukti yang ada, langsung ditetapkan. Jadi ini sudah menafikan hasil seminar yang sudah pernah dilaksanakan.”
Ketua Komisi VII DPRA yang membidangi masalah agama dan budaya, Ghufran Zainal Abidin meminta Pemerintah Pusat meninjau ulang penetapan Barus tersebut. Menurut Ghufran, referensi sejarah yang sudah ada selama ini menyebutkan bahwa Islam pertama kali masuk itu melalui Samudra Pasai, Aceh Utara.
“Saya berharap pemerintah menjelaskan kepada masyarakat Aceh terkait dengan penetapan Barus sebagai titik nol Islam di Nusantara itu. Kita harus tunjukkan itu (Islam pertama masuk di Aceh). Mungkin Presiden mendapatkan informasi yang kurang tepat atau kita sendiri yang tidak memberikan alasan yang kuat,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Ghufran juga mendesak Pemerintah Aceh menindaklanjuti persoalan dengan menyodorkan bukti-bukti sejarah yang menguatkan Aceh sebagai titik awal masuknya Islam. “Pemerintah Aceh harus proaktif dalam hal ini untuk memastikan penetapan titik awal Islam ini sesuai dengan bukti-bukti sejarah yang ada,” kata Ghufran.
Harapan Ghufran sepertinya tidak sejalan dengan Pemerintah Aceh. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Reza Fahlevi yang dikonfirmasi Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu, mengaku belum begitu paham terkait persoalan ini sehingga belum bersedia memberikan tanggapan. “Saya harus pelajari dulu terkait penetapan hal tersebut, karena belum memahami secara menyeluruh. Jadi mohon maaf belum bisa memberi komentar,” ujarnya.
MAHASISWA MENGGUGAT
Penolakan tegas justru datang dari mahasiswa. Sejumlah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa dari beberapa kampus di Banda Aceh dan Banda Aceh menolak Barus dijadikan Titik Nol Islam Nusantara. Dalam sebuah pertemuan di sebuah cafe di Banda Aceh, Selasa pekan lalu, para ketua tersebut menganggap peresmian tugu di Barus sebagai pendangkalan sejarah.
Mereka menuntut Pemerintah Aceh serius dalam menanggapi persoalan tersebut. Selain itu, Pemerintah Aceh diminta jangan hanya sibuk dengan urusan kelompok dan kepentingan pribadi. Kepada pemerintah pusat, para mahasiswa berharap agar menjaga stabilitas dan kondisi keamanan Indonesia agar tidak menimbulkan perpecahan sesama umat Islam.
Perwakilan dari BEM UIN Arraniry, Misran mengatakan bila hal tersebut tak diluruskan, mahasiswa se-Aceh akan menggelar aksi besar-besaran untuk memprotes peresmian tugu titik nol Islam di Barus. “Jangan mengorbankan Aceh lagi. Kami tidak ingin selalu dikhianati oleh pemerintah pusat yang seperti masa dahulu hingga mengakibatkan timbulnya konflik vertikal,” ujar Misran.
Pemerintah, kata dia, seharusnya memiliki kearifan tersendiri untuk menentukan titik nol Islam Nusantara. “Agar tidak ada yang tersakiti jangan main libas terus tanpa ada konsolidasi dengan daerah lain,” ujar Misran.[]
Belum ada komentar