Tiga persoalan mendasar menjadi tumpuan harapan rakyat di masa-masa awal kepemimpinan Irwandi-Nova.
Dalam program kerja 100 hari mendatang, pemerintahan Irwandi-Nova akan fokus pada tiga hal, yaitu pembangunan rumah yatim, mengurai krisis energi listrik, dan program jaminan kesehatan. Mengenai pembangunan rumah yatim, Irwandi mengaku lebih dari 100 rumah telah dibangun menggunakan dana sumbangan para pendukung dan tim pemenangannya.
“Dana yang tadinya akan digunakan untuk syukuran usai menang Pilkada, kita alihkan untuk bangun rumah anak yatim. Pendirian rumah yatim ini akan terus berjalan, walaupun melewati 100 hari nanti. Sampai dana tersebut berhasil kita gunakan seluruhnya,” ujar Irwandi.
Mengenai program kesehatan, Irwandi bakal membenahi sistem Jaminan Kesehatan Aceh yang kian dikeluhkan masyarakat. “Sekarang, kalau ada pasien yang sakit harus mengurus surat ini-itu, menyusahkan. Kita akan persingkat masalah administrasi. Rakyat cukup bawa KTP dan Kartu Keluarga (KK), sedangkan mengurus rujukan dan adminsitrasi adalah tugas negara. Ini namanya pemerintahan yang melayani,” kata Irwandi pada awak media, Selasa (4/7) pekan lalu.
Irwandi-Nova bergerak cepat. Tak berlama-lama, dua hari setelah dilantik Wakil Gubernur Nova Iriansyah langsung menggelar rapat membahas pelayanan kesehatan masyarakat. Pertemuan itu dihadiri BPJS Kesehatan Divre Sumut-Aceh, Dinas Registrasi Kependudukan Aceh, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah dr.ZainoelAbidin, RumahSakitIbu Dan Anak (RSIA), dan Rumah Sakit Jiwa Aceh (RSJA).
Pertemuan itu menyimpulkan bahwa selama ini masalah yang muncul di lapangan lebih kepada persoalan registrasi dan administrasi. Seperti yang dikemukakan Direktur RSUDZA dr Fachrul Jamal, salah satu persoalan yang kerap dikeluhkan masyarakat adalah soal pelayanan terhadap korban kecelakaan di jalan raya. Di mana secara aturan yang berlaku, klaim biaya pengobatan untuk korban mengharuskan adanya surat dari kepolisian. Selain itu, sebagian masyarakat selama ini juga mengeluhkan proses rujukan berjenjang.
“Masyarakat dari berbagai kabupaten/kota ingin bisa langsung berobat di RSUZA tanpa melalui prosedur rujukan,” ujar Fachrul Jamal.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, diputuskan akan dilakukan beberapa perubahan pelayanan yang akan diuji-coba di RUDZA dan RS Meuraxa Banda Aceh. Di antaranya akan dibentuk sebuah desk kerja khusus bagian administrasi yang akan ditempatkan di dua rumah sakit tersebut. Desk yang dibentuk itu terdiri dari pihak rumah sakit, BPJS Kesehatan, Kepolisian dan Jasaraharja.
Desk ini nantinya akan bekerja mengurus berbagai kelengkapan administrasi pasien yang selama ini hal tersebut dilakukan oleh pasien sendiri maupun keluarganya.
“Segala kendala dan kesulitan masyarakat selama ini akan kita cabut, biarlah kesulitan itu dipundakkan kepada kita,” ujar Nova Iriansyah.
SEKTOR PEREKONOMIAN
Dalam pidatonya usai dilantik Rabu pekan lalu,Irwandi sempat mengurai catatan yang menjadi keresahannya terkait pembangunan di Aceh. Lambannya pergerakan ekonomi, misalnya, ditengarai akibat Aceh hanya mengandalkan anggaran belanja saja. Mental konsumtif masih membudaya di masyarakat sehingga ekonomi terus terpuruk.
“Boleh dikatakan Aceh hanya bergerak dengan anggaran belanja saja. Ekonomi hanya konsumsi, belum disertai dengan kemampuan produksi. Dukungan industri juga belum memadai. Perlu kita ingat, pada akhirnya nanti dana otonomi khusus akan habis, dan kita harus berdiri di atas kaki sendiri,” katanya.
Ia juga menyesalkan kegagalan Aceh memanfaatkan berbagai peluang dan kemudahan yang diperoleh dalam kesepakatan MoU Helsinki tahun 2005 silam, antara GAM dan RI. Ini menjadi pembelajaran bagi pemerintahannya mendatang.
“Berbagai kemudahan yang kita dapatkan usai janji damai MoU Helsinki, baik dalam anggaran belanja dan pembagian hasil sumber daya alam. Tapi ini belum lagi mewujudkan harapan masyarakat. Saya ingin menggugah kesadaran kita semua agar berpikir ke masa depan, berbenah dan lebih siap menghadapi berbagai tantangan yang ada,” tuturnya.
Persoalan ekonomi lainnya ia utarakan, dari sektor swasta yang belum begitu berkembang sampai mandeknya industri akibat krisis energi yang belum terpecahkan hingga kini, sehingga investor enggan menanamkan modalnya di Aceh. Ketimpangan pendapatan juga masuk dalam perhatian Irwandi.
Sebagai catatan, Ahmad Humam Hamid sebagaimana dilansir aceh.tribunnews.com pernah memaparkan rilis Badan Pusat Statistik pada 2014, bahwa rata-rata pendapatan perkapita Aceh Rp21.395.689, di bawah rata-rata Nasional Rp32.371.459. Ketimpangan itu juga sangat jauh dengan Kalimantan Timur (Kaltim), Rp117.952.472 ataupun Riau sebesar Rp84.695.182. Untuk Aceh saja, ketimpangan amat tajam antara Kota Lhokseumawe sebesar Rp62.340.000 dibandingkan dengan Subulussalam Rp5.830.000.
“Semua itu adalah problem nyata Aceh hari ini. Singkat kata, kemanapun pandangan kita, masih banyak yang belum selesai. Perlu konsep yang tepat dalam membangun kembali ekonomi kita, bukan hanya mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, tapi juga mempersiapkan pondasi ekonomi baru yang lebih kokoh untuk pembangunan Aceh yang berkelanjutan,” kata Irwandi.
Karena itu, lanjutnya, infrastruktur perlu kembali diberdayakan. Transportasi dan komunikasi memegang peranan vital, tentunya dengan perspektif pembangunan yang ramah lingkungan. “Insya Allah, kami belajar dari kekurangan dan kesalahan masa lalu, mengutip pelajaran untuk arah yang lebih baik. Yang kita jalankan adalah pemerintah yang lebih berkomitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi aktif semua elemen masyarakat,” ungkapnya.
Irwandi berjanji, pemerintahannya yang baru bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu tentu diukur dengan penurunan angka kemiskinan di bawah angka rata-rata nasional. Sebagaimana diketahui, tantangan Aceh cukup berat dalam hal ini. Meski mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015, tingkat kemiskinan di persentase 16,73 tak juga mampu mendongkrak posisi Aceh dari rangking kedua kemiskinan tertinggi se-Sumatera.
“Padahal, APBD kita adalah yang terbesar, tahun 2016 lalu saja jumlahnya 12,8 triliun,” sebut pakar ekonomi Aceh, Rustam Effendi.
Dengan kondisi tersebut, Aceh memang tengah berada dalam posisi genting. Anggaran yang besar tak juga mampu membangkitkan perekonomian. Hal itu diperparah dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia, yakni 0,45 persen. “Ekonomi tak tumbuh, pengangguran bertambah, Indeks pembangunan manusia kita terendah di Sumatera 0,45%. Padahal nasional naiknya lebih cepat dari Aceh,” katanya.
Untuk memperbaikinya, Irwandi coba membeberkan strategi pemerintahannya mendatang. Ia akan fokus pada peningkatan produksi berbagai komoditas masyarakat termasuk pertanian dan perikanan. Berdasarkan data mengenai lapangan kerja di Aceh, sektor pertanian yang seharusnya menjadi andalan bagi Aceh, turun menjadi 735.063 orang atau 35,32 persen dari total pekerja. Sedangkan di tahun sebelumnya berada pada 44,83 persen.
Rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor pertanian ini disebabkan oleh faktor cuaca, baik kekeringan maupun angin kencang. Selain itu, maraknya alih fungsi lahan juga mempengaruhi penurunan tersebut. Artinya, sebelum bicara produksi, pemerintahan Irwandi perlu menyoroti kembali regulasi alih fungsi lahan di Aceh, agar sektor ini kembali terbangun. Lantaran sumbangan terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) Aceh berada di sektor pertanian, yang berkisar hingga 29 persen.
Selain pembangunan ekonomi dan infrastruktur, Irwandi juga menyampaikan pentingnya pembangunan Sumber Daya Manusia. Irwandi menjanjikan penguatan pendidikan berbasis moralitas Islam sebagai jati diri generasi Aceh. “Dalam tiap tingkatan pendidikan, kita perlu memperkokoh eksistensi lembaga keislaman dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam. Ini akan kita prioritaskan,” ungkapnya.
RELASI DENGAN PARLEMEN
Pemerintahan Irwandi-Nova diharapkan dapat memulihkan kembali hubungan antara eksekutif dan legislatif di Aceh, yang belakangan sempat memanas. Dengan harmonisnya kedua tampuk kekuasaan di Aceh ini, maka perencanaan pembangunan akan lebih cepat direalisasikan.
“Kita berharap kepemimpinan yang baru ini menjadi satu titik berangkat ke arah Aceh yang lebih baik. Irwandi dan Nova menyebutnya sebagai Aceh Hebat. Kita semua masyarakat menaruh harapan besar, ada banyak peluang-peluang yang terlewatkan selama sepuluh tahun terakhir, target-target seperti perbaikan kehidupan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di Aceh dapat bisa segera dicapai,” kata anggota Dewan Pers asal Aceh, Nezar Patria kepada Pikiran Merdeka, Rabu (5/7) pekan lalu.
Untuk mempercepat pembangunan itu, kata Nezar, Irwandi perlu membina hubungan baik dengan DPRA. Dirinya yakin pemerintahan baru itu mampu menyatukan seluruh kelompok dan golongan di Aceh. “Saya pikir sejak niat awal, Irwandi sudah menunjukkan itikad baik untuk melakukan rekonsiliasi ke semua elit dan kelompok di Aceh. Misalnya saja pertemuan dengan Muzakkir Manaf, sebelum hasil Pilkada diumumkan,” ujar mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini.
Irwandi-Nova tampak memiliki political will yang cukup kuat untuk menyatukan masyarakat Aceh. Belajar dari beberapa kelemahan pemerintahan sebelumnya, keduanya menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik. “Dan konflik-knflik yang terjadi antar kelompok itu mestinya tidak mengganggu jalannya target pembangunan yang menjadi mimpi semua masyarakat Aceh,” ucapnya.[]
Belum ada komentar