Sebelum Bencana Datang

Sebelum Bencana Datang
Sebelum Bencana Datang

Deretan persoalan lingkungan menanti kesigapan pemerintahan baru.

PROGRAM Aceh Green yang digagas Irwandi-Nova menjadi terobosan penting dalam mengatasi masalah lingkungan di Aceh. Selama ini, eksploitasi secara berlebihan oleh pengusaha HPH dan pemilik HGU, melemahkan fungsi keseimbangan hutan Aceh. Bencana banjir, tanah longsor, gangguan gajah dan satwa liar seperti harimau, kian tak terelakkan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mencontohkan banjir bandang di Aceh Tenggara merupakan akumulasi kerusakan yang selama ini luput dalam penanganan pemerintah. Tingkat curah hujan yang tinggi, topografis, pembalakan liar dan pembukaan lahan mengakibatkan bencana ekologis saban tahun di wilayah tersebut.

Bicara soal lingkungan terkait Aceh Green, Pemerintahan Irwandi-Nova diharapkan dapat membendung laju deforestasi atau pengurangan luas hutan. Saban tahun, kata M Nur, terjadi pengurangan luas hutan rata-rata lebih dari 15 ribu hektare.

Hal itu dipicu buruknya tata kelola kehutanan dan aktivitas pembalakan liar di Aceh selama sembilan tahun terakhir. “Laju deforestasi di Aceh mencapai 32 ribu hektare per tahun atau sebesar satu persen per tahun,” ungkap M Nur. Dari 2000 hingga 2016, kata dia, mencapai sekitar 980 ribu hektare. “Untuk perkebunan saja, dari tahun 2016 ke 2017 sudah terjadi kerusakan mencapai 62 ribu hektare. Terjadi perubahan fungsi hutan karena alasan pembangunan.”

Data Walhi Aceh, kerusakan hutan terluas berada di Aceh Timur mencapai 4.431 hektare. Lalu di Aceh Selatan 3.061 hektare, Aceh Utara 1.771 hektare, Subulussalam 1.475 hektare, dan Gayo Lues 1.401 hektare.

Bahkan, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga menyusut akibat konsesi hutan menjadi perkebunan dan praktik merusak lainnya. Temuan LSM HakA (Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh) sekitar 200 ribu hektare luas tutupan hutan alam berada di dalam Area Penggunaan Lain (APL). Dari luas tersebut, ada 69 ribu hektare hutan alam berada di KEL. Sementara, luas tutupan hutan alam di KEL per Mei 2016 mencapai 1,8 juta hektare atau sekitar 79 persen dari total area KEL.

Selain itu, tambah M Nur, konflik agraria antara warga dengan perusahaan, baik tambang maupun perkebunan juga masih terjadi di beberapa daerah seperti Nagan Raya, Aceh Tamiang, Aceh timur, dan Aceh Utara. “Persoalan hukum yang ditempuh warga terkendala ketika akte kepemilikan menjadi alat ukur. Sertifikat jadi dasar hukum orang menggugat. Tanpa itu dianggap tak cukup syarat. Ini menjadi ancaman bagi penduduk Aceh yang tidak punya sertifikat dan akte. Artinya, jaminan dia dalam penguasaan tanah itu telah hilang,” ujar M Nur, Selasa pekan lalu.

Persoalan lain yang mesti ditangani pemerintah baru, lanjut M Nur, penambangan legal dan ilegal serta tambang rakyat. “Misalnya di Pidie. Tahun 2015, hanya beberapa beko. Tahun 2017, meningkat menjadi 27 beko. Penggunaan alat-alat berat ini berpengaruh pada kerusakan lingkungan. Jadi aneh juga dikatakan penambangan tradisional, tapi pakai alat seperti itu,” ujarnya.

Menurut M Nur, Aceh tidak mungkin dibangun dengan mengesampingkan persoalan lingkungan karena merupakan daerah rawan bencana. Di sektor pesisir, kata dia, rentan dengan abrasi dan erosi. Sementara dari pegunungan, rawan longsor dan banjir bandang.

Ia juga menilai pembangunan 14 ruas jalan yang bakal dilanjutkan oleh Irwandi-Nova berkontribusi pada peningkatan deforestasi. “Akses jalan menjadi pemicu semangat orang menebang hutan dengan jalur yang mudah dan cepat,” ujar M Nur.

Solusinya, kata dia, jika pembangunan jalan masuk ke dalam tutupan hutan, bisa diambil alternatif membuat jalan layang. “Yang terjadi di Jantho-Lamno itu kan membuka ruas jalan dalam tutupan hutan lindung. Tentu illegal logging itu tak bisa dibendung. Bukan pembangunan yang dilawan, tapi desain pembangunan yang harus sesuai dengan tempat,” ujarnya.

M Nur juga berharap pemerintah baru mendukung keberadaan Task Force. Tim ini berisi sejumlah lembaga yang bekerja mengawasi hingga menindak pelanggaran lingkungan. Surat Keputusan Task Force dituangkan melalui Keputusan Gubernur Aceh No 520.34/673/2016 673 tentang pencegahan dan penegakan hukum lingkungan hidup terpadu. Tapi masa kerja Task Force telah berakhir pada 31 Desember tahun lalu. “Keberadaan Task Force ini membantu pemerintah. Kita menanganinya bersama. Lembaga teknis tidak menyusun sendiri, tapi ada juga masyarakat sipil seperti Walhi yang membantu. Kampanye Aceh Green sebenarnya alat ukurnya pada kebijakan. Kalau (Task Force) ditutup, ini kecelakaan. Bisa kita simpulkan pemerintah tak peduli pada lingkungan,” ujar M Nur.

Selain itu, M Nur berharap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh direvisi oleh pemerintahan baru. “Karena tanpa merevisi RTRW seluruh kebijakan akan sia-sia. Karena pelestarian, pemanfaatan, dan sebagainya itu letaknya di dokumen RTRW dan  RPJM,” ujarnya.

Ke depan, tambah dia, RTRW menjadi landasan pertama tinjauan lingkungan hidup. “RTRW tidak mengatur secara spesifik soal lingkungan. Tapi untuk meluruskan tata guna lahan hutan, perlindungan kawasan penting seperti cagar budaya, memproteksi daerah rawan bencana, itu dimulai dari konsep ruang,” ujar M Nur.

Lingkungan Aceh, sambung M Nur, tak perlu terlalu dipaksakan untuk tambang dan perkebunan sawit. “Bukankah Aceh ini kaya dengan pertanian? Kembalikanlah ke situ, Kita berjaya dengan pertanian. Bikin kita lebih sejahtera.”

Jika tidak, kata dia, Aceh akan terus rugi. “Bencana itu kerugiannya ada sekitar Rp2 triliun setiap tahun. Jadi ketimbang menanggung beban, mending kembalikan saja ke pertanian. Irwandi bisa membangun jaringan internasional untuk menampung hasil produk Aceh. Bukan malah lobi untuk datangkan perusahaan sawit.”[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Lipat Surat Suara
Lipat Surat Suara

Lipat Surat Suara