Jakarta—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Provinsi Aceh patut dipandang sebagai model perdamaian, diplomasi dan demokrasi.
“Aceh menjadi potret sejarah yang menggambarkan dengan jelas bahwa konflik dapat diselesaikan melalui mekanisme diplomasi dan demokrasi,” kata presiden, dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam Rangka HUT Ke-67 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (16/08).
Menurut kepala negara, pemerintah juga terus mengkonsolidasikan demokrasi dan pembangunan di provinsi berjuluk Serambi Mekah itu.
Konflik vertikal yang terjadi di Aceh berlangsung cukup panjang, dalam waktu sekitar 30 tahun telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan terhambatnya pembangunan.
Perdamaian antara pihak bertikai barhasil mencapai kesepakatan setelah ditandatanganinya perjanjian (MoU) damai Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Kesepakatan damai itu dicapai setelah delapan bulan pascatsunami yang meluluhlantakkan kawasan pesisir barat Aceh dan sejumlah negara lainnya.
Pascatsunami dan perjanjian damai, pembangunan di provinsi paling barat Pulau Sumatera itu mulai menggeliat dan saat ini dipimpin oleh Gubernur Zaini Abdullah serta Wakil Gubernur Muzakir Manaf dari pihak yang dulu bertikai melalui pemilihan kepala daerah langsung untuk periode 2012–2017.
Pemerintah memberlakukan “desentralisasi asimetris” di Yogyakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat. Desentralisasi yang tengah berjalan, sesungguhnya tidak mengalami perubahan prinsip.
“Pemerintah hanya melakukan pengaturan ulang agar lebih baik dan efektif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,” kata presiden.[ant]
Belum ada komentar