Rancangan Qanun Lembaga Keuangan Syariah mengharuskan bank konvensional angkat kaki dari Aceh. Jaminan transaksi keuangan menjadi pertaruhan, di samping ketidakpastian nasib bank tanpa unit syariah.
Dalam dua pekan terakhir, kabar rencana penutupan bank konvensional di Aceh menyeruak. Tak hanya di Aceh, pembahasan ini juga menjadi perhatian lembagakan perbankan di Jakarta dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat.
Wacana ini bergulir setelah diketahui bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama Pemerintah Aceh tengah menyusun qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah di Aceh.
Rencana Pemerintah Aceh menutup bank konvensional sebelumnya disampaikan Ketua Badan Legislatif DPR Aceh, Abdullah Saleh di Meulaboh, Senin (20/11) lalu. “Setelah qanun ini nantinya disahkan, maka bank konvensional ditutup, tinggal bank syariah saja,” tutur dia kala itu.
Dikatakannya, rencana itu masih dalam tahap pembahasan. Mekipun nanti akan diberlakukan aturan tersebut, dia juga mengatakan akan tetap ada lembaga keuangan tertentu di Aceh yang menganut sistem konvensional. Hal itu disediakan untuk melayani nasabah yang non-syariah atau non-muslim.
“Intinya, bank yang ada ribanya berhenti dan yang aktif bank syariah. Bank konvensional kita stop di Aceh, tapi yang syariah tetap jalan. Ada satu bank valuta asing yang tidak distop, yang melayani nasabah non-syariah, itu dibutuhkan,” tegasnya.
Politisi Partai Aceh ini memastikan qanun tersebut akan disahkan paling telat akhir 2017. Menurut dia, saat ini sudah selesai konsultasi dan rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), prosesnya hanya tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk pengesahan bersama pihak eksekutif di DPRA.
Meski begitu, wacana tersebut belum mempengaruhi transaksi di bank-bank konvensional di Aceh. Aktivitas perbankan konvensional masih terlihat normal. Untuk memastikannya, Rabu pekan lalu, Pikiran Merdeka mengunjungi beberapa bank konvensional yang ada di Aceh.
PT Bank Maybank Indonesia Tbk, misalnya. Perseroan yang memiliki satu Kantor Cabang (KC) di Banda Aceh dan satu Kantor Cabang Pembantu (KCP) ini mengaku sudah mengetahui rencana tersebut.
Di Kantor Cabang MayBank kawasan Simpang Lima Banda Aceh, kegiatan transaksi berjalan normal. Para nasabah masih melakukan transaksi dengan baik.
Kepala Cabang MayBank Banda Aceh tak bersedia ditemui. Menurut salah seorang pegawai yang ditemui Pikiran Merdeka, pihak MayBak sudah mengetahui rencana tersebut. Namun ia menolak memberikan penjelasan lebih jauh. Ia beralasan, belum dapat berkomentar lebih kerena sedang menunggu qanun tersebut selesai dibahas dan menunggu keputusan dari pusat.
“Kami sudah mengetahui wacana tersebut, tapi kami belum bisa berkomentar banyak. Karena kami sedang menunggu draft tersebut selesai dan menunggu arahan dari pusat,” sahut wanita muda ini, Rabu (29/11).
Hal serupa disampaikan oleh pihak Bank Sinarmas. Mereka mengatakan bahwa mereka belum bisa berkomentar sebelum mendapatkan arahan dari pimpinan Bank Sinarmas di Jakarta.
Rencana ini membuat banyak bank swasta khawatir. PT Bank OCBC NISP Tbk misalnya, juga mengaku belum mendengar soal rencana kebijakan itu. Apalagi, perusahaan tersebut belum memiliki kantor cabang konvensional di Aceh.
Kendati begitu, Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja melihat adanya aturan khusus dari Pemerintah Aceh yang sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai suatu peluang. Pasalnya, perusahaan juga memiliki unit bisnis syariah, meski belum ada kantor cabang di Aceh.
“Saat ini kami belum ada. Tapi suatu saat pasti kami harus buka, tinggal tunggu waktunya. Karena sebenarnya peluang selalu ada, tinggal prioritasnya seperti apa,” ucap Parwati seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Untuk saat ini, kata dia, perusahaan perbankan yang dipimpinnya masih fokus untuk memaksimalkan kantor cabang konvensional dan syariah yang sudah ada. Tercatat, jumlah kantor cabang OCBC NISP mencapai 337 kantor bisnis konvensional, office channeling sebanyak 270 kantor, dan syariah sebanyak 10 kantor.
Untuk kantor cabang syariah, saat ini baru tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Balikpapan, Palembnag, Batam, dan Pontianak.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga masih menanti informasi dari OJK mengenai rencana penutupan bank konvensional di Aceh. Pihak BCA memastikan, perusahaan akan mengikuti arahan dari regulator. “Kami lihat dulu, kalau memang sudah jelas tentu pemerintah akan komunikasikan ke regulator,” tutur Direktur BCA, Santoso.
Bila sudah jelas, lanjutnya, perusahaan akan mengkaji langkah yang akan diambil selanjutnya dalam melayani nasabah di Aceh. Santoso menyatakan, ada beberapa kantor cabang BCA konvensional di Aceh. “Kami sejauh ini belum diajak bicara tentang itu, ini kan kebijakan mereka (Pemerintah Aceh),” pungkas Santoso.
BNI TAK TERPENGARUH
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Achmad Baiquni menilai, berlakunya qanun lembaga keuangan syariah tak bakal mengganggu bisnis BNI di Aceh. Sebaliknya, berlakunya aturan tersebut akan mendorong potensi keuangan syariah lebih besar yang dapat ditangkap pihaknya melalui anak usaha perseroan.
“Tentu kalau ini menjadi Perda, kami hormati. Ini juga justru bisa mendatangkan potensi bagi bisnis syariah dan kami tentu tidak ingin ketinggalan,” ujar Baiquni.
Saat ini, menurut Baiquni, pihaknya sudah memiliki layanan perbankan syariah di Aceh melalui anak usahanya, PT BNI Syariah. Di sisi lain, BNI juga memiliki kantor cabang konvensional di seluruh Aceh.
“Kalau memang konvensional sudah tidak bisa lagi di sana, tentu tidak bisa langsung dikonversi kantor cabangnya karena sudah entitas yang berbeda (anak usaha). Tapi nanti bisnisnya bisa kami serahkan ke BNI Syariah, tentu akan kami konsultasikan dulu dengan OJK,” terang dia.
Sementara pihak PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) optimistis, kalau pun wacana Pemerintah Aceh direalisasikan, dipastikan implementasinya berlangsung secara bertahap. “Tidak mungkin sekaligus, karena butuh transisi juga, seperti sosialisasi dan pergantian dari konvensional ke syariah,” papar Sekretaris Perusahaan BRI, Hari Siaga Amijarso.
Kendati demikian, lanjut Hari, pihaknya belum mengetahui wacana Pemerintah Aceh menyetop bank konvensional. Karenanya, sejauh ini belum ada pembicaraan dari internal terkait antisipasi dari wacana tersebut. “Ketentuannya seperti apa, saya kira tunggu saja regulasi resmi dari pemerintah,” sambung Hari.
BERALIH KE SYARIAH
Kepala Biro Humas Setda Aceh, Mulyadi Nurdin menegaskan, rancangan qanun tersebut dibuat bukan untuk menutup bank konvensional namun mensyaratkan seluruh bank konvensional agar membuka unit syariah. “Bank konvensional bukan ditutup, tapi wajib membuka usaha syariah,” ujar Mulyadi kepada Pikiran Merdeka, Kamis, 29 November lalu.
Meskipun qanun belum disahkan, menurutnya bank konvensional yang ada di Aceh sekarang ini sudah banyak yang membuka unit usaha syariah. “Selama ini juga banyak bank konvensional yang mulai menjalankan prinsip sesuai qanun tersebut, misalnya membuka unit usaha syariah di Aceh. Rata-rata sudah buka,” tambahnya.
Untuk itu, Mulyadi menghimbau agar pihak bank konvensional tidak panik dalam menanggapi wacana Pemerintah Aceh tersebut. Menurut Mulyadi, penyusunan qanun tersebut juga melibatkan unsur perbankan konvensional. Dalam RDPU di DPR Aceh, semua pihak terkait dilibatkan. “Setau kami, semua pihak tetap dilibatkan dalam pembahasan rancangan qanun tersebut,” tandasnya.
TAK PERLU PANIK
Otoritas Jasa Keuangan Aceh belum bersedia mengeluarkan pernyataan terkat wacana penutupan bank non-syariah di Aceh. Humas OJK Aceh, Rian dalam pesan WhatsApp mengatakan Ketua OJK Aceh sedang di luar daerah dan tak bisa diwawancara.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Wimboh Santoso meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan kemungkinan terganggunya layanan perbankan di Aceh. Kalau pun berpengaruh dengan penutupan bank konvensional nantinya, para nasabah bisa memperoleh layanan perbankan melalui sistem online.
“Masyarakat tidak usah khawatir, layanan perbankan itu bisa diperoleh di mana saja tanpa terkendala oleh restrik kawasan,” ujar Wimboh, seperti dilansir CNN Indonesia, Kamis (23/11) lalu.
Keyakinan Wimboh muncul berkat kemajuan teknologi yang menyediakan transaksi perbankan secara online, tanpa harus datang langsung ke kantor fisik. “Meskipun tidak harus pergi dari Indonesia, kita kan bisa mendapatkan jasa perbankan dari luar negeri dengan melalui jalur-jalur elektronik,” ujarnya.
Untuk saat ini, Wimboh mengaku belum mengetahui detail rencana tersebut mengingat pihaknya belum menerima permohonan resmi dari Pemerintah Aceh. Namun, seperti dikutip dari kontan.co.id, Wimboh berharap perbankan di Aceh bisa menyesuaikan diri dengan qanun yang berlaku. “Sekarang produk syariah banyak. Kami berharap, masyrakat dan pengusaha bisa mneyesuaikannya,” tandasnya.[]
Belum ada komentar