Saatnya Cafe di Kebun Kopi

Pengunjung Seladang Cafe
Pengunjung Seladang Cafe akan dijelaskan pengetahuan kopi oleh pemiliknya. FOTO: Pozan Matang

Gembel menghadirkan cafe bertema ekowisata. Ruang edukasi bagi penikmat kopi yang jenuh dengan kedai kopi di perkotaan.

Oleh Pozan Matang

Ketika perubahan perilaku penikmat kopi yang mulai beralih ke espresso single shot, para pemilik kedai pun berlomba mengubah tampilan warkop menjadi cafe berkonsep dan berkelas.

Espresso identik dengan gaya dan modernitas. Karena itu menjamurlah warkop mewah dan elegan di berbagai pusat kota yang menyajikan beragam cita rasa kopi arabika lengkap dengan pajangan alat-alat tempur barista.

Namun, bagi sebagian penikmat kopi, cafe bangunan megah dengan desain interior yang wah membatasi kesempatan menikmati pandangan indah. Lama-lama membosankan. Belum lagi suasana bising, malah tambah jenuh.

Hal itulah yang dirasakan Sadikin (39). Ia mengembangkan cafe berkonsep ekowisata di kebun kopi warisan keluarganya di pinggir jalan raya Desa Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Bener Meriah.

Di tengah-tengah lahan seluas satu hektare, didirikan sebuah bangunan mini ramah lingkungan sebagai dapur utama barista. Sisanya ruang untuk tamu menikmati kopi. Diberi nama Seladang Cafe.

Kedai kecil itu dikelilingi ribuan tanaman kopi berusia 16 tahun, yang dinaungi rimbunan pohon lamtoro.

Seladang Cafe
Seladang Cafe dibangun di tengah-tengah kebun kopi. FOTO: Pozan Matang

Suasana adem nan asri itu bukan alasan utamanya membangun bisnis kopi itu. Tapi ia ingin pengunjung yang datang untuk minum kopi bisa dekat dengan tanaman kopi itu sendiri juga dengan petani kopi.

Menurut penguhasa kopi berambut gondrong yang dikenal dengan nama Gembel itu, transparansi bukan soal uang saja, proses produksi kopi juga bagian dari transparansi.

“Kawan-kawan peminum kopi, wajib tahu apa jenis kopi yang diminumnya, bagaimana cara membuatnya. Itu yang kita tawarkan,” tutur Sadikin kepada Pikiran Merdeka, 18 Februari 2016.

Gembel juga mengedukasikan soal petani kopi. “Banyak orang ngopi sementara petani kopi itu sendiri terancam kelaparan, tempat tinggalnya rawan longsor. Seharusnya peminum kopi harus dekat dengan petani,” ungkapnya.

Konsep Tak Didukung Keluarga

Sadikin Seladang Cafe
Sadikin memperlihatkan manual drip untuk meracik espresso Seladang Cafe. FOTO: Pozan Matang

Bila dilihat dalam peta wisata Pemkab Bener Meriah, Seladang Cafe masuk dalam wilayah objek wisata Relung Gunung di Kecamatan Wih Pesam, sehingga memberi nilai tambah dan sangat sejalan dengan konsep ekowisata yang dirumuskan oleh komunitas TIES (The International Ecotourism Society).

Ekowisata menurut TIES adalah kegiatan wisata alam yang bertanggungjawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.

Bukan hal mudah bagi Gembel untuk mewujudkan konsep cafe di kebun kopi. Selain butuh waktu yang lama, ia juga tidak mendapat dukungan dari keluarganya.

Ia menyebutkan, butuh tiga tahun untuk meyakinkan keluarganya. Saat ide bisnis itu ia lontarkan, keluarganya siap bantu sewa ruko jika buka cafe di ibu kota kabupaten, tapi tidak setuju kalau buka cafe di kebun.

“Urus sendiri kalau mau dilanjutkan. Menurut mereka (keluarga-red) tidak ada orang gila yang mau ngopi di kebun kopi. Saya orang gila pertama yang ngopi di kebun kopi,” ayah tiga anak itu tertawa lepas.

Ide Gembel saat itu justru didukung penuh oleh istrinya, Hasanah. Istrinya berpandangan, adanya cafe di kebun malah menguntungkan, di samping pekerjaannya sehari-hari juga mengurus kebun kopi.

“Sambil berkebun, income (pemasukan) dari cafe juga mengalir,” ungkapnya.

Bisnis yang Menjanjikan

Kopi Seladang Cafe
Mempelajari kopi yang akan diolah menjadi bubuk. FOTO: Pozan Matang

Walau baru berjalan hampir tiga bulan, pengunjung Seladang Cafe sudah ramai. Beberapa tokoh politik Aceh sudah menyeruput kopi yang diproses secara manual ini.

Untuk benar-benar menyajikan kesan “back to nature”, kopi espresso arabika Seladang Cafe tidak di-press dengan mesin espresso, melainkan dengan cara manual drip.

Biasanya sebut Gembel, segelas espresso single shot berisi 7-10 gram bubuk kopi jika di-press dengan mesin. Di Seladang Cafe, katanya, disuguhi 20 gram bubuk kopi untuk segelas espresso.

“Kenapa kita berani seperti itu? Supaya pelanggan benar-benar minum kopi. Kita bukan sekedar jual tempat, kopi juga berkualitas bagus. Semua diproses sendiri di kebun ini. Mulai panen merah, proses pulping, penjemuran hingga siap minum diolah di kebun,” terangnya.

Gembel merincikan, dalam satu kilogram bubuk kopi bisa untung Rp800 hingga Rp900 ribu. Artinya ada peningkatan nilai yang drastis jika kopi diolah dari hasil panen buah merah hingga menjadi kopi siap minum.

Ia pun mendesain cafenya dengan konsep sederhana, layaknya di perkampungan, namun tetap dibuat elegen.

“Daripada kita mulai dari konsep elegan, orang segan masuk walau punya uang ratusan ribu rupiah di kantong. Saya malah bilang ke kawan-kawan yang enggak punya uang, silakan ngopi dengan gratis.”

Istri Gembel berharap konsep cafe kebun yang mereka jalankan menjadi stimulus untuk petani kopi lain, bahwa ada nilai tambah lain di luar produksi buah kopi yaitu ekowisata kebun kopi.

“Ada tidaknya bantuan pemerintah, konsep cafe ekowisata harus kita yang memulainya.”

Konsep Seladang Cafe itu mendapat respon positif dari pelanggan bule, seperti diakui Patrick Walther (37) dan Eva Keller (29), dua turis asal Swiss yang belajar mengenal kopi arabika hari itu.

“Ada sesuatu yang besar di balik cafe dalam kebun kopi ini. Semua proses pembuatan kopi bisa dilihat langsung dan ini dikerjakan dengan seni,” ujar Patrick.

Sementara Eva membeberkan, cara minum kopi seperti di Seladang Cafe ini suatu ide yang luar biasa. Selain bisa belajar soal kopi, ia bisa merasakan kondisi kehidupan petani kopi itu sendiri. Juga suasana yang sangat rileks.

Mereka jalan-jalan ke Indonesia untuk menikmati kekayaan budaya. Sebelumnya, mereka juga sempat menikmati coffee plantation tour di Laos dan Kamboja. Mereka minum kopi di sana, tapi tak bisa mengalami proses pengolahan kopi.

“Kemarin kami di Kota Takengon dan sekarang menemukan tempat ini, seperti menemukan pelabuhan setelah terdampar lama di lautan. Tempat seperti inilah yang kami cari,” tutur Eva.[]

*Diterbitkan di Rubrik BISNIS Tabloid Pikiran Merdeka edisi 114

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait