PM, TAPAKTUAN – Sekretaris Komisi C DPRK Aceh Selatan, Rasmadi mengatakan, keputusan pihak Rumah Sakit Umum Daerah Yulidin Away (RSUD YA) Tapaktuan membebankan pembelian obat menggunakan uang pribadi kepada keluarga pasien merupakan sebuah keputusan yang keliru karena langkah itu jelas-jelas melanggar aturan.
Pasalnya, terhadap pasien yang berstatus pasien Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, seluruh biaya yang dikeluarkan terkait pengobatannya tidak dibayar atau gratis karena telah ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Aceh sumber APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh).
Meskipun pihaknya mengaku tahu alasan pihak rumah sakit membebankan pembelian obat kepada keluarga pasien menggunakan uang pribadi, karena stok obat di rumah sakit sedang kosong, namun pihaknya menilai langkah itu tetap saja tidak bisa dibenarkan.
“Keputusan itu (pembelian obat menggunakan uang pribadi keluarga pasien JKRA), merupakan keputusan keliru. Jikapun langkah seperti itu dilakukan karena stok obat di rumah sakit sedang kosong, maka pihak rumah sakit wajib mengganti kembali uang keluarga pasien itu dengan menunjukkan bukti kwitansi pembelian obat,” kata Rasmadi saat dihubungi di Tapaktuan, Rabu (2/9).
Menurutnya, kondisi kekosongan obat-obatan yang sedang dialami oleh RSUD YA Tapaktuan saat ini, dapat dimaklumi oleh pihaknya sehubungan pemberlakuan aturan baru Permenkes Nomor 28 tahun 2014 tentang pengadaan obat harus melalui sistem e-catalog.
Politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini menyatakan, akibat pemberlakuan aturan baru tersebut telah berdampak pada terganggunya kelancaran pengadaan obat di rumah sakit. Kondisi itu, menurutnya, bukan saja dialami oleh pihak RSUD YA Tapaktuan tapi juga dialami oleh hampir semua rumah sakit di seluruh Indonesia.
Sebab, kata dia, sistem pembelian obat melalui e-catalog itu telah mengharuskan pihak rumah sakit mengentri data seluruh jenis obat yang dibutuhkan sesuai yang tersedia dalam daftar obat e-catalog. Setelah data obat itu selesai dientri secara online oleh pihak rumah sakit dan dipastikan telah masuk ke pusat data Kemenkes RI di Jakarta, kemudian pihak Kemenkes memesan obat tersebut ke pabrik pembuatan obat yang telah ditunjuk, kemudian obat itu diserahkan kepada distributor obat untuk disalurkan ke rumah sakit seluruh Indonesia.
“Sistem pembelian obat seperti ini tentu butuh proses dan memakan waktu yang lumayan lama, sehingga sangat wajar jika kemudian timbul persoalan kekosongan obat di rumah sakit tertentu di Indonesia tak terkecuali juga di Aceh Selatan,” papar Rasmadi.
Untuk mengatasi persoalan itu, pihaknya menyarankan kepada RSUD YA Tapaktuan agar menjalin kerja sama dengan pihak apotik di luar rumah sakit sehingga kebutuhan obat bagi pasien bisa tertangani dengan cepat.
“Bentuk kerja sama ini tentu harus dituangkan dalam bentuk kesepakatan kontrak kerja (MOU) yang saling mengikat dan mempunyai kekuatan hukum, sehingga dalam menanggulangi kebutuhan obat terhadap pasien, pihak apotik yang ditunjuk tidak merasa ragu-ragu takut obatnya tidak dibayar,” cetus Rasmadi.
Langkah ini, kata Rasmadi, penting harus dilaksanakan segera oleh pihak RSUD YA Tapaktuan sebab kondisi kekosongan obat di rumah sakit itu tidak boleh dibiarkan terus berlanjut karena hal itu sangat merugikan pihak pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan prima atau memuaskan dari rumah sakit milik Pemkab Aceh Selatan itu.
“Masyarakat tidak mengetahui penyebab kekosongan obat di Rumah Sakit Yulidin Awat Tapaktuan karena sistem pengadaan obat harus melalui sistem e-catalog. Masyarakat tetap menuntut pelayanan kesehatan yang mereka terima memuaskan serta berkualitas bagus. Untuk menyiasati persoalan itu, pihak RSUD YA Tapaktuan harus mengambil kebijakan yang tepat dan cepat, tidak kaku dalam menjalankan aturan,” tandasnya.
[PM005]
Belum ada komentar