Hampir semua perempuan Lhoknga mewarisi keterampilan tangan mengolah rotan. Sebuah sampel berkualitasnya rotan Aceh yang dilirik dunia.
Hasil kerajinan tangan perempuan itu terlihat sepanjang mengemudi dari Banda Aceh menuju kawasan wisata Lampuuk dan Lhoknga. Tepatnya di KM 11, kedai-kedai yang umumnya berdiri di halaman rumah, menjajakan olahan rotan made in lokal.
Misal di Sentra Kerajinan Rotan Dua Saudara, di Gampong Lamgaboh, Kecamatan Lhoknga, tak jauh dari rumah Amiruddin.
Workshop ini menampung hasil olahan tangan perempuan dari beberapa desa di Mukim Kueh, Kecamatan Lhoknga, selain dikerjakan oleh karyawan tetapnya.
“Kerajinan rotan ini sudah bertahan empat keturunan di Lamgaboh,” tutur Sri Wahyuni, 54, tetua Lamgaboh yang juga karyawan tetap Dua Saudara, kepada Pikiran Merdeka, Kamis (18/08/16).
Tudung saji, keranjang baju, keranjang buah, kap lampu, topi, tas, dan vas bunga, menggayut di atap workshop berkonstruksi kayu itu, sebagiannya diletakkan di lantai dan dipajang dinding. Sisanya ditata rapi di atas meja yang menghadap jalan nasional Banda Aceh – Meulaboh.
Tarif dipasang mulai Rp30 ribu – 1 juta, tergantung model dan ukurannya. Soal model, calon pembeli boleh meminta dibuat khusus, seperti keranjang ‘ija tujoh’ untuk kebutuhan penikahan.
Dua Saudara kerap disinggahi pembeli dari luar Aceh Besar. Terutama di akhir pekan, hari besar, bulan Ramadhan, dan musim haji. “Kebanyakan mereka membelinya untuk oleh-oleh,” katanya.
Bahan baku rotan, terang Sri, dibeli dari masyarakat sekitar yang memetik rotan di kawasan kehutanan Aceh Besar seperti di Leupung, Lhoknga, Seulimum, dan Pulo Aceh. Ada kalanya dibeli dari Aceh Jaya.
“Yang kami jual benar-benar produk lokal yang dibuat oleh ibu-ibu rumah tangga di sekitar desa ini,” kata Sri. “Pekerja seperti kami saja, sehari minimal bisa menghasilkan Rp50 ribu.”
Dua Saudara memasarkan hasil kerajinan warga sejak 1990 yang dirintis oleh alm Juairiyah, kakaknya Sri Wahyuni. Saat ini dikelola oleh putri almarhumah, Aminah.
“Kita sekarang punya tiga karyawan tetap dan tujuh belas pekerja yang tersebar di desa, yang mengerjakannya dari rumah. Ketika sudah selesai dikerjakan, produk itu diantar ke workshop,” jelasnya.
Produk rotan Dua Saudara sudah menembus pasar Jabotabek. Pengelola mulai melakukan transaksi bisnis jarak jauh. Pemesanan via online maupun hotline. Ekspansi pasar ini menghasilkan omset rata-rata mencapai minimal Rp5 juta/bulan.
Selain Dua Saudara, kini setidaknya memiliki 4 kedai kerajinan rotan yang berlokasi di tepi jalan nasional di Lamgaboh. “Saya dulu sempat ada, tapi sudah setahun tidak buka lagi semenjak saya sakit,” ungkap Sri.
Di desa tetangga, Gampong Kueh, Mukim Kueh, juga memiliki 4 kedai kerajinan rotan di tepi jalan nasional. Semuanya berkonstruksi kayu dan tampil sederhana, dengan pajangan karya ketangkasan tangan mereka.
Salah satunya Nurhayati, 38, dia membantu suaminya menjual hasil kerajinan tangan suaminya sendiri dan produk rotan dari warga Kueh lainnya.
“Kadang kita tidak punya bahan baku, seperti hari ini. Sementara warga lainnya punya, jadi kita tampung dan jual karya mereka,” ujarnya.
Di gerai Nurhayati yang berdiri sejak 2006, ragam model kerajinan tangan tak sebanyak di Dua Saudara. Namun peminatnya tetap ramai di hari libur nasional, akhir pekan, dan hari besar tertentu.
“Seringnya wisatawan yang jalan-jalan ke Lampuuk dan Lhoknga. Kadang ada juga penumpang angkutan umum dari selatan Aceh yang pergi ke Banda Aceh.”
Kata Nurhayati, jika memasuki perkampungan Kueh, akan terlihat para perempuan dan ibu-ibu rumah tangga yang mengerjakan kerajinan rotan. Kebanyakan mereka membuat tutup saji.
Per satu jam, ada saja warga desa itu yang membawa pulang bahan baku rotan maupun penjual yang mampir menawarkan berikat-ikat rotan mentah.
BERKUALITAS TINGGI
Dalam catatan Kementerian Perindustrin (Kemenperin), sekitar 80 persen bahan baku rotan dunia dihasilkan oleh Indonesia. Daerah penghasil rotan tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Sumatera.
“Di Sumatera, ada Aceh dan Jambi. Tapi hutan kita (Aceh_red) menghasilkan lebih banyak rotan, karena bisa tumbuh di mana saja tanpa harus dibudidaya,” imbuh Fajri, Kepala KPH Wilayah I Dinas Kehutanan Aceh.
Daerah potensial penghasil rotan di Aceh berada di wilayah barat selatan, yakni Nagan Raya, Aceh Barat, Singkil, Subulussalam, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Di belahan timur, ada di Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Tamiang.
Baca: Budidaya Jernang Aceh, Menyambut Kebutuhan Pasar Dunia
Sebagai daerah tropis, masyarakat Aceh awalnya cukup mudah mendapatkan bahan baku rotan. Potensi itu lantas dimanfaatkan para pengusaha lokal untuk mengekspor bahan baku rotan secara besar-besaran.
Aktivitas ekspor ini menyempitkan peluang masyarakat mengolah rotan menjadi produk rotan. Selain itu, barang ekspor tersebut akan menguntungkan pihak asing dalam pengolahan selanjutnya.
Kerajinan rotan Lhoknga itu, kata Fajri, mungkin tak sebergairah seperti saat ini jika saja Pemerintah Indonesia pada 2011 tidak menetapkan undang-undang yang melarang ekspor bahan baku rotan.
Pada masa Gita Irawan Wirjawan menjabat Menteri Perdagangan RI, ditetapkan Undang-undang No 35/2011 tentang ketentuan ekspor rotan dan produk rotan yang berlaku sejak 1 Januari 2012. Guna menguatkan kebijakan tersebut, Kemenperin mengeluarkan Permenperin No 90/2011 tentang peta panduan pengembangan klaster industri furnitur 2012-2016.
Semenjak itulah, masyarakat Indonesia bisa keciprat rejeki dari komoditas jenis hutan bukan kayu itu. “Kini ada banyak kalangan bisa mendapat rejeki dari kekayaan alam Aceh,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka.
Manfaat digulirkan kebijakan tersebut tak hanya dirasakan kaum perempuan. Kaum Adam pun sudah berani ambil bagian dalam menghasilkan produk kerajinan tangan berbahan rotan.
Ajir, 44, misalnya, pemilik workshop kerajinan rotan Awe Polem di Gampong Aneuk Paya, Mukim Kueh, Kecamatan Lhoknga.
Pada gerai di halaman rumahnya yang menghadap jalan nasional, ayah tiga anak ini dengan gembira merajut keranjang baju dari rotan, bersama beberapa perempuan dari desa setempat. Deru lalu-lalang kendaraan tak mengganggu aktivitas mereka.
Dia sudah dua tahun menjalankan usaha kerajinan rotan. Diakuinya ia masih menjalani ‘dunia baru’. Tapi usahanya cukup menjanjikan. Sebulan ia meraup omset rata-rata Rp3 juta.
“Cukup untuk biaya hidup keluarga,” ucapnya kepada Pikiran Merdeka.
Dia terdorong menggeluti bisnis kerajinan rotan setelah tersentuh melihat semangat beberapa janda dari Mukim Kueh hampir setiap hari membawa pulang rotan mentah dari perbukitan di sekitar Lhoknga.
“Saya dihadapkan dengan beban moral ketika melihat inong balee (janda_red) berjalan kaki mengusung rotan, kenapa tidak saya beli saja untuk kemudian saya olah?” ujarnya.
Saat ini dia punya 5 pemasok rotan baku tetap dari kalangan inong balee. Di samping ia akan membeli rotan mentah yang dibawa pihak lain. Sementara per minggu, ia membutuhkan rata-rata 50 kg rotan mentah.
Ajir juga tidak hanya menjual karyanya sendiri. Tapi juga menampung hasil kerajinan tangan dari para warga. “Kadang ibu-ibu itu butuh uang dan mengantarkan saya raga (tutup saji_red) yang sudah mereka buat di rumah.”
Jika di Lamgaboh sudah memiliki Koperasi Kerajinan Rotan yang memudahkan usaha tersebut, beda dengan di Aneuk Paya. “Kami belum punya kelompok usaha, sehingga sulit mendapatkan bantuan,” kata Ajir.
Dia memang pernah dibekali pelatihan pengolahan rotan oleh instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat. Namun belum pernah mendapatkan kesempatan pelatihan menciptakan variasi model produk rotan. Pantas saja, motif produk rotan Awe Polem tak variatif.
Kini Amir, Ajir, Sri, dan Nurhayati, sangat mengharapkan ada pihak yang membantu permodalan, sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal ke depannya.[]
Belum ada komentar