PM, Jakarta – Pengungsi etnis Rohingya mengutuk upaya kudeta pemerintah yang dilakukan oleh militer Myanmar pada Senin (1/2). Militer Myanmar (Tatmadaw) pada Senin dini hari menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt, dan sejumlah tokoh lainnya.
“Kami komunitas Rohingya mengutuk keras upaya keji untuk membungkam demokrasi ini,” kata pemimpin Rohingya Dil Mohammed.
“Kami mendesak komunitas global untuk maju dan memulihkan demokrasi dengan cara apa pun,” ujarnya seperti dilansir dari Reuters.
Tudingan dan sikap prihatin juga membuat negara-negara anggota ASEAN terpecah dalam menyikapi penangkapan Suu Kyi. Indonesia, Singapura, Kamboja, dan Thailand menyatakan priahatin dan memilih untuk tidak ikut campr atas krisis yang melanda Myanmar.
Sebaliknya, PM Kamboja Hun Shen justru menyebut jika kudeta militer merupakan urusan dalam negeri Myanmar.
“Kamboja tidak mengomentari urusan dalam negeri seluruh negara, baik itu negara anggota ASEAN atau negara lainnya,”ujar Hun Sen yang telah menjabat sebagai pemimpin Kamboja sejak 1997.
Kecaman atas penahanan Suu Kyi juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PP Antonio Gueterres dan perwakilanan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan Guterres mendesak pimpinan militer untuk menghormati keinginan rakyat Myanmar terkait proses demokrasi di sana.
“Sekretaris Jenderal mengutuk kerasa penahanan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan para pemimpin politik lainnya. Perkembangan ini merupakan pukulan serius bagi reformasi demokrasi,” kata Dujarric dalam sebuah pernyataan seperti mengutip AFP.
Seperti diketahui bahwa etnis Rohingya selama ini menghadapi krisis kemanusiaan yang dipicu oleh operasi militer Myanmar yang ingin meringkus kelompok teroris pelaku penyeragan sejumlah pos keamanan di Rakhine.
Krisis kemanusiaan yang menyasar etnis Rohingya dan minoritas Muslim lain di Rakhine kembali memburuk pada pertengahan 2017. Penyelidik PBB mengatakan sekitar 10 ribu etnis Rohingy akemungkinan tewas dalam aksi brutal militer Myanmar.
Menanggapi tuduhan tersebut, Suu Kyi berulang kali membantah adanya pembantaian terhadap etnis Rohingya. Kendati demikian, ia mengakui adanya kemungkinan tentara telah menggunakan kekuatan secara berlebihan.
Dalam pengadilan tertinggi PBB, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu meminta untuk menghapus kasus pembantaian etnis Rohingya dari daftar. Menurutnya, pengadilan harus menolak permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh Gambia.
“Mengakhiri konflik internal yang sedang terjadi merupakan hal paling penting bagi Myanmar. Tetapi sama pentingnya untuk menghindari pengunduran diri dari konflik bersaudara di Rakhine utara pada 2016-2017,” ujar Suu Kyi dalam pengadilan di Mahkamah Internasional pada 2019 lalu.
Sumber: CNN Indonesia
Belum ada komentar