Lawatan ke luar negeri seolah menjadi ritual tahunan anggota DPRA. Padahal, manfaat yang diperoleh tak sebanding uang rakyat yang dihabiskan.
Beberapa tumpuk dokumen berjilid yang tebalnya tak sampai setengah inci tergeletak di meja kantor GeRAK Aceh. Isinya laporan kunjungan kerja anggota DPRA ke luar negeri. Seluruhnya ada delapan dokumen.
Koordinator GeRAK Askhalani mengaku cukup sulit memperoleh dokumen-dokumen ini. Ia bercerita, laporan hasil kunjungan kerja anggota dewan tahun 2015 mulanya tak dapat diakses. Pihak sekretariat dewan keberatan menyerahkan dokumen tersebut. Karena merasa laporan tersebut berhak dibuka untuk publik, GeRAK Aceh pun melayangkan gugatan terhadap Sekretaris DPRA ke Komisi Informasi Aceh (KIA).
“Butuh waktu lama untuk bisa mendapat dokumen-dokumen ini. Harus menyelesaikan sengketa di KIA dulu, akhirnya diberikan,” kisah Askhalani kepada Pikiran Merdeka, Jumat (28/7) pekan lalu.
Saat dibuka tiap lembarannya, tak banyak ulasan, hanya beberapa lampiran seperti foto kopi surat keterangan izin dan persetujuan kunjungan ke luar negeri berkop Kementerian Sekretariat Negara. Selain itu, pengantar di halaman awal dokumen mengenai siapa saja anggota dewan yang melakukan lawatan ke luar negeri.
Komisi III misalnya, tahun 2015 lalu melakukan kunjungan kerja ke Kreditanstalt Fur Wiederaufbau (KFW) di Franfurt, Jerman. Mereka bermaksud membicarakan pinjaman dari Bank Jerman itu kepada Pemerintah Aceh guna mendukung pembangunan Rumah Sakit Regional, pengembangan pembangkit energi geothermal di Seulawah, dan perlindungan iklim serta konservasi di kawasan Leuser.
Sedangkan Komisi VI yang membidangi pendidikan, sains dan teknologi pada 2015 bertandang ke Jepang. Agenda kunjungannya dalam rangka mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang kebencanaan.
Lalu ada juga Komisi I yang berkunjung ke Universitas Uludag, Bursa,Turki pada November 2015 untuk bicara kerjasama bidang reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Berbeda dengan Komisi VII yang juga ke Turki sebulan setelahnya, namun dengan agenda peningkatan peran legislatif terkait pembangunan strategis Aceh di bidang agama, budaya, pariwisata dan kerjasama di bidang pendidikan Islam.
Pada November tahun yang sama, Komisi II DPRA menggelar kunjungan ke Yorkshire, Inggris. Komisi yang membidangi perekonomian, sumber daya alam, dan lingkungan hidup tersebut melakukan studi banding ke The Yorkshire Agriculture Society. Di sana mereka melihat bagaimana sentra produksi dan pemasaran hasil pertanian.
Adapun Komisi V pada 2015 berkunjung ke Amerika Serikat, tepatnya ke University Rhode Island. Selain bertemu sejumlah akademisi terkemuka, anggota dewan juga sempat melakukan pertemuan dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan magister maupun doktoral di sana.
KURANG MANFAAT
Kunjungan beberapa Komisi DPRA ke luar negeri pada umumnya menyajikan hasil laporan yang singkat. Banyak input yang seharusnya bisa didapat, namun minimnya korelasi antara hasil kunjungan tersebut dengan manfaat yang diperoleh masyarakat Aceh.
Bahkan, menurut Askhalani, beberapa lawatan tidak saling berhubungan dengan tujuan dari Kunker tersebut. “Contohnya Kunker ke Istanbul. Itu kunjungan kerja dalam rangka peran legislatif terkait dengan pembangunan strategis Aceh di bidang agama, budaya, dan pariwisata serta kerjasama bidang pelayanan pendidikan. Tapi yang didatangi hanya kampus. Jadi untuk apa repot-repot ke sana,” katanya.
Malah yang menggelikan, sambung Askhalani, adalah dokumen kunjungan Komisi VI ke Jepang. Laporan yang dihasilkan dalam dokumen pertanggungjawaban itu menggunakan tulisan Jepang. “Siapa yang bisa baca tulisan Jepang itu? Lucu kalau kita lihat. Tapi memang begitu yang tertulis dalam laporannya,” ujarnya.
Hasilnya pun nol besar. Sebab, sejauh ini tak ada pembaharuan apapun dalam fasilitas kebencanaan di Aceh. “Semua yang ada sekarang dibangun oleh NGO luar negeri dan BRR. Tidak ada yang dibangun oleh Pemerintah Aceh. Jadi untuk apa mereka ke Jepang?” lanjutnya.
Askhalani mempertanyakan minimnya hasil yang dibawa pulang setelah anggota dewan selesai berkunjung ke luar negeri. “Tidak lebih dari sekedar catatan-catatan biasa. Dan, itu sama sekali tidak dipakai, tidak ditindaklanjuti,” ujarnya.
Karena Kunker itu menggunakan uang rakyat, kata Askhalani, seharusnya bisa dirasakan manfaatnya oleh publik. Sebagai contoh, Kunker ke Jerman. Hingga kini tidak jelas ke mana arah kerjasama dengan KFW. “Seharusnya mereka mengkongkritkan perjanjian antara Aceh-Jerman untuk mempercepat Geothermal dan pembangunan fasilitas publik. Tetapi faktanya tidak ada.”
Bahkan, belakangan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati meminta Pemerintah Aceh membatalkan pembiayaan Bank KFW Jerman yang rencananya akan mengadakan proyek pembangunan tiga Rumah Sakit Regional di sejumlah kabupaten di Aceh. Mekanisme pembiayaan dalam bentuk pinjaman sebesar Rp1,3 trilliun itu dinilai berisiko besar. Dikhawatirkan, Aceh akan terjerat hutang yang sulit dilunasi di masa mendatang.
Yang terjadi selama ini, kata Askhalani, Kunker anggota DPRA ke luar negeri sama sekali tidak ada korelasi antara biaya besar yang dikeluarkan dibanding output untuk masyarakat Aceh. Karena itu, GeRAK secara tegas meminta dewan untuk menyetop agenda Kunker ke luar negeri.
“Seperti rencana pemerintah tahun depan meningkatkan kemampuan anak di bidang olahraga. Tak perlu mereka ke Portugal atau ke Spanyol. Undang saja pelatih dari sana untuk melatih anak-anak kita. Agenda lainnya, semisal mendrong kerjasama di tingkat kampus, juga tak perlu repot-repot untuk datang ke sana berbondong-bondong, cukup delegasikan rektor universitas misalnya,” ujar Askhal.
Namun demikian, GeRAK mengapresiasi beberapa komisi maupun anggota dewan yang tidak menggunakan jatah Kunker ke luar negeri. Pada tahun 2016, sebut Askhalani, Komisi IV yang membawahi bidang infrastruktur kabarnya tidak menggunakan jatah Kunker tersebut.
“Ada juga beberapa anggota dewan yang tidak mengambil. Mereka memiliki komitmen yang besar, tidak mau berangkat. Dia sudah terdaftar, tapi ikut menolak karena sebatas pelesiran,” sebut Askhalani.[]
Belum ada komentar