Medco dikiritik karena syarat perekrutan pekerja tak mampu dipenuhi warga lokal. Diminta transparan soal tender proyek dan melibat perusahaan lokal sebagai subkontraktor.
SEJAK dibukanya penerimaan tenaga kerja oleh PT Medco E&P Malaka Blok A pada Maret lalu, anak perusahaan Medco Energi milik Arifin Panigoro kini terus menuai kritikan. Syarat-syarat rekrutmen dinilai memberatkan.
Perekrutan yang diumumkan pada 29 Maret 2017 tersebut berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Timur. Posisi yang dibuka untuk operator dan teknisi di fasilitas produksi Medco E&P Malaka. Rinciannya, mulai dari panel operator, process operator, utilities operator, mechanic, instrument technician dan electrician. Kualifikasi yang diminta usia maksimal 40 tahun dan memiliki ijazah SMA/SMK/D3 jurusan IPA atau teknik.
Namun, bukan itu yang memberatkan. Medco meminta pelamar berpendidikan diploma tiga memiliki pengalaman kerja minimal lima tahun sebagai operator atau teknisi di industri migas atau petrokimia. Sedangkan untuk lulusan SMA sederajat harus berpengalaman delapan tahun. Khusus panel operator, disyaratkan berpengalaman minimum tiga tahun di bidang industri yang sama. Syarat lainnya, tidak takut bekerja di ketinggian, bersedia bekerja malam dengan pola shift dan bersedia ditempatkan di Aceh Timur.
Ketua Forum Peduli Rakyat Miskin Nasruddin menilai syarat itu sangat memberatkan putra daerah. “Bisa dipastikan tidak mungkin ada yang memiliki pengalaman kerja dari lima sampai delapan tahun,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Aceh, kata Nasruddin, baru saja keluar dari bencana konflik dan tsunami. “Jangankan diminta pengalaman kerja di bidang migas lima tahun atau lebih, setahun saja belum tentu mereka mempunyai pengalaman. Jangan buat persyaratan yang sama dengan tidak memberikan peluang kepada masarakat Aceh Timur,” ujar Nasruddin.
Ia meminta Medco dan Dinas Tenaga Kerja Aceh Timur mengkaji ulang syarat tersebut. Nasruddin juga meminta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten merevisi kembali persyaratan itu. “Tujuan pemerintah mengundang investor ke Aceh untuk menyejahterakan rakyatnya bukan untuk mengeruk hasil bumi di Aceh,” ujarnya. Bahkan, Nasruddin meminta semua proses tender proyek di PT Medco E&P Malaka harus dilakukan di Aceh secara terbuka dan transparan.
Selain soal tenaga kerja, Nasruddin juga mengkritik Pemerintah Aceh Timur agar serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan hadirnya proyek migas Blok A di Kecamatan Indra Makmur. “Bukan tenaga kerja lokal saja yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dengan hadirnya investasi besar, namun yang lain juga lebih penting untuk menggaet pendapatan asli daerah,” ujarnya. Hal lain yang dimaksudnya tentang kendaraan operasional perusahaan tersebut agar menggunakan plat nomor polisi di wilayah Aceh yakni BL. “Ini patut mendapat perhatian pemerintah, apabila perlu, ada Perda khusus untuk mengatur hal ini. Sehingga, melalui pajak kendaraan dapat menjadi pendapatan daerah,” jelas Nasruddin.
Ia juga meminta Medco perlu melibatkan perusahaan lokal sebagai subkontraktor di Blok A. “Termasuk pengadaan material yang dapat dipasok oleh pengusaha lokal. Misalnya, perusahaan membutuhkan seng, batu bata atau material bangunan lainnya,” ujar Nasruddin.
Lalu, kepada Medco dan subkontraktor tersebut diharapkan memperhatikan jaminan kesehatan bagi tenaga kerja lokal yang bukan sementara. ”Kalau pekerja lokal yang temporary, boleh saja menggunakan BPJS biasa. Namun untuk tenaga kerja lokal yang telah berstatus karyawan tetap harus mendapatkan BPJS khusus tenaga kerja,” ujar Nasruddin.
Medco pun diminta Nasruddin memakai keselamatan kerja dengan standar internasional. “Serta menjaga agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kearifan budaya masyarakat sekitar tambang.”
Keuchik dan Warga Juga Protes
Selain Forum Peduli Rakyat Miskin, protes soal tenaga kerja juga datang dari Forum Keuchik Kecamatan Aceh Timur. Saat pertemuan antara Komisi B DPRK Aceh Timur dengan Forum Keuchik pada Senin pekan lalu, terungkap adanya ratusan tenaga kerja di CCP Blok A yang berasal dari luar Aceh.
Informasi itu diperoleh dari seorang pekerja di CCP Blok A yang hadir ke rapat tersebut. “Pekerja itu mengaku mengetahui ada ratusan pekerja sebagai helper dari luar Aceh yang kini dipekerjakan oleh perusahaan mencon dan subcon di CCP Blok A PT Medco E&P Malaka,” ujar Ketua Komisi Amiruddin, Senin pekan lalu.
Bahkan, kata Amiruddin, pekerja tersebut mengatakan jika informasi tidak benar, dewan dipersilakan turun ke lokasi untuk membuktikannya. Para pekerja tersebut, kata Amiruddin, dipekerjakan oleh mencon dan subcon PT JEC.
Hal senada dikatakan Ketua Komisi D Abdul Hamid. Sebelumnya, Hamid pernah mengecek ke lapangan dan dan mendapatkan memang ada tenaga kerja dari luar Aceh. “Bahkan saya sempat pertanyakan ke PT JEC, kenapa tenaga kerja tersebut tidak direkrut melalui Forum Keuchik. Namun sampai hari ini belum ada jawaban dari PT JEC,” ujar Hamid.
Seharusnya, kata dia, tenaga helper diprioritaskan bagi putra daerah. “Bukannya memasukan tenaga kerja dari luar,” ujar Hamid.
Setelah pertemuan di gedung dewan tersebut, protes berlanjut. Rabu pekan lalu, ratusan warga Gampong Tanoh Anoe, Kecamatan Idi Rayeuk, berunjukrasa di halaman gedung dewan. Protes ini juga masih terkait persoalan tenaga kerja. Warga kesal karena tidak diberikan peluang bekerja di perusahaan tersebut. “Kami meminta PT Medco untuk menerima warga Gampong Tanoh Anoe bekerja baik itu sebagai office boy, cleaning service, security maupun driver,” ujar koordinator aksi, Asril Ibrahim.
Selama beroperasi, kata Asril, perusahaan penambang minyak bumi dan gas tersebut hanya mempekerjakan karyawan dari luar daerah. Sebelumnya, kata dia, perusahaan berjanji mengutamakan peluang kerja bagi warga setempat. “Kami menuntut adanya tenaga kerja dari masyarakat gampong kami melalui mekanisme perangkat gampong,” sebutnya.
Dalam orasinya, Asril juga menuntut adanya kepedulian sosial dari perusahaan dalam pembangunan gampong baik sarana maupun prasarana. Medco juga dimintanya berpartisipasi dalam memajukan ekonomi dan berperan aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan gampong.
Demo tersebut turut didukung oleh Forum Pembela Rakyat Miskin, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh dan Civil Society Center. Demonstrasi berakhir setelah DPRK Aceh Timur berjanji memfasilitasi perwakilan dari warga Tanoh Anoe untuk membahas solusi dari tuntutan warga.
Pekerja Luar Hanya 10 Persen
PT Medco E&P Malaka merupakan operator pengelola Blok A yang berada di tepi Selat Malaka tersebut. Medco E&P Malaka merupakan salah satu anak perusahaan PT Medco Energi Internasional Tbk, emiten minyak dan gas milik Arifin Panigoro. Blok A dikelola Medco Energi bersama mitranya mengelola Blok A sejak awal 2007. Pada Januari 2015,dilakukan penandatanganan Jual Beli Gas (PJBG).
Blok A sendiri hanya satu dari lima blok di Indonesia yang dipegang Medco.Informasi yang terpampang di situs resmi perusahaan, Medco juga menambang di Natuna (Riau), Lematang (Sumatera Selatan) dan Bengara di Timur Laut Kalimantan.Di luar negeri, Medco juga aktif menambang minyak dan gas di beberapa negara Timur Tengah seperti Tunisia, Libya, Oman dan Yaman. Di Libya, kontrak Medco habis pada 2038.
Sementara, sumber gas di Blok A Aceh Timur ditemukan pada 1972 oleh perusahaan migas asal Kanada yakni Asameras. Meski kandungan minyak bumi sudah diproduksi, pasokan gas belum terlaksana karena adanya hambatan infrastruktur dan komersial.
Saat dipegang Medco, fasilitas produksi lapangan gas Blok A dikerjakan oleh PT Medco E&P Malaka bersama dua mitra kerja, yaitu KrisEnergi dan JAPEX. Saat ground breaking fasilitas produksi gas Blok A pada Senin, 23 November 2015,Direktur Utama Medco Energi Internasional Lukman Mahfoedz berharap produksi gas dapat dimulai pada awal 2018 untuk memenuhi pasokan gas harian sebesar 63 BBTUD. “Gas tersebut akan dialirkan ke dalam sistem distribusi pipa Pertamina Arun Belawan untuk mendukung kelangsungan industri dan kelistrikan bagi masyarakat Aceh dan Sumatra Utara,” lanjutnya.
Kontrak Medco di Blok A berakhir pada 2031. Sementara pemegang hak partipisasi di blok tersebut, PT Medco E&P Malaka 41,67 persen, Premier Oil Sumatra 41,67 persen, dan Japex 16,67 persen.
Public Affair Lead PT Medco E&P Malaka, Akhyar menjawab diplomatis ketika diminta tanggapan soal perekrutan tenaga kerja tersebut. Meski tak secara tegas membantah, Akhyar mengatakan tenaga kerja yang dibutuhkan Medco adalah para profesional migas yang mempunyai kemampuan dan pengalaman sesuai bidangnya. “Hal ini lazim karena operasional migas menjalankan pekerjaan beresiko tinggi, menggunakan teknologi tinggi dan biaya tinggi,” ujarnya Rabu pekan lalu.
Rekrutmen tenaga kerja saat ini, kata dia, juga sesuai kebutuhan dan tahapan perkembangan proyek Blok A. Ia mencontohkan perekrutan 40 pekerja lokal yang dipersiapkan sebagai operator dan teknisi. “Saat ini ke-40 putra dan putri Aceh Timur sedang dalam pendidikan di Cepu. Dengan adanya pendidikan khusus, pengalaman dan bimbingan dari senior-senior pekerja migas lain nantinya, diharapkan ke-40 orang ini menjadi profesional migas di bidangnya masing-masing dan menjadi bagian dari sejarah penerus pekerja migas di Kabupaten Aceh Timur,” ujarnya.
Akhyar mengakui tenaga kerja luar memang ada. Namun itu hanya untuk pekerja yang mempunyai sertifikasi, spesifikasi khusus dan terbatas. “Setiap proyek migas sudah pasti hal ini tidak dapat dihindari karena bersifat nasional. Tapi kami pastikan bahwa jumlah pekerja luar tersebut tidak kebih dari 10 persen dari pekerja keseluruhan. Bisa dikroscek ke lapangan,” ujarnya.
Ia mengakui isu tenaga kerja dari luar daerah memang sangat sensitif. “Kami berharap para pemangku kepentingan bisa melihat hal ini secara objektif. Kemajuan proyek Blok A secara khusus juga merupakan kemajuan Aceh Timur. Semakin cepat Blok A berproduksi, semakin cepat Aceh Timur memperoleh tambahan Pendapatan asli (PAD).”[]
Belum ada komentar