Rekam Jejak Jubir dan Penyerobotan Fungsi Humas

Rekam Jejak Jubir dan Penyerobotan Fungsi Humas
Juru bicara minum kopi bareng Humas Pemerintah Aceh (foto statusaceh.net)

Kinerja juru bicara dinilai tumpang tindih dengan fungsi Humas Pemerintah Aceh.

Sejak ditunjuk oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 10 Januari lalu, keberadaan juru bicara telah menyajikan warna dalam pola interaksi Pemerintah Aceh terhadap publik, baik pejabat maupun masyarakat.

Terlebih, tensi yang kian meninggi antara legislatif dan eksekutif jelang pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh tahun 2018 ini, ditengarai gaya komunikasi antara kedua pihak yang dibekap ego masing-masing, sehingga tak kunjung terpaut ke titik temu.

Terkait: Usulan Fantastis Sang Penyambung Lidah

Benturan dua kubu pemerintahan ini menjadi polemik yang berlarut-larut. Masyarakat kerap dirugikan akibat keterlambatan pengesahan APBA, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sela-sela itu pula, penunjukan juru bicara Pemerintah Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 821.21/05/2018 memunculkan nama Wiratmadinata dan Saifullah Abdulgani.

Ditilik dari rekam jejaknya, Wiratmadinata selama ini dikenal sebagai dekan di Fakultas Hukum Universitas Abulyatama. Selain memiliki pengalaman di bidang jurnalistik dan public relation, baik di tingkat lokal maupun nasional, dirinya juga terlibat sebagai pengurus di DPW Partai Nasdem Aceh.

“Namun, saya sudah minta izin ke DPW dan DPP untuk membantu Pemerintah Aceh,” kata penerima HB Jassin Award dari Museum HB Jassin dan Institut Kesenian Jakarta tahun 1993 ini.

Berdasarkan kesepakatan dengan gubernur, ia pun melepas atribut kepartaiannya di Nasdem jelang penunjukannya sebagai juru bicara Pemerintah Aceh.

Sementara Saifullah Abdulgani atau akrab dipanggil SAG tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil yang juga memiliki pengalaman di bidang kehumasan. Baik Saiful dan Wira telah didapuk sebagai juru bicara Pemerintah Aceh hingga saat ini.

Layak juru bicara suatu institusi, di pekan-pekan awal keduanya kerap menemui wartawan dan menyambangi beberapa kantor media lokal di Aceh. Sesaat, peran biro humas yang selama ini diemban oleh kepala biro, Mulyadi Nurdin, tampak tergerus. Spekulasi mengenai hubungan antara jubir dan humas perlahan meruak di ruang publik.
Banyak pihak yang mempertanyakan di mana sekat peran antara keduanya, mengingat juru bicara maupun humas mengemban tanggung jawab yang sama, yakni menjadi corong resmi pemerintah.

Malah muncul kabar, pengangkatan juru bicara Pemerintah Aceh disebabkan kinerja humas yang tak maksimal menjalankan fungsinya. Belakangan, sebagian besar wartawan juga mempertanyakan, siapa di antara keduanya yang paling berwenang menyuarakan sikap-sikap resmi Pemerintah Aceh? Meski begitu, dalam berbagai kesempatan Wira menyampaikan tak ada tumpang tindih peran antara juru bicara dan biro humas.

“Jubir lebih pada pendalaman, koreksi, dan mengkaji isu-isu strategis yang belum sempat diakomodir pihak pemerintah,” kata Wira, suatu ketika.

Hubungan yang terkesan ‘dingin’ di mata publik itu, keburu diantisipasi oleh Wira dan SAG. Pada Jumat pagi (19/1) lalu, misalnya, keduanya terlihat tengah minum kopi bersama kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh Mulyadi Nurdin, di salah satu warung kopi di Banda Aceh.

“Silaturahmi selalu menjadi hal utama dan penting dalam menjaga hubungan,” ujar Wira seperti dikutip dari laman resmi humas.acehprov.go.id.

Sementara menurut Mulyadi Nurdin, penunjukan juru bicara Pemerintah Aceh justru akan mempermudah kerja gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan demi mewujudkan Aceh Hebat.

Sampai di situ, komunikasi juru bicara masih terlihat baik-baik saja. Namun, belakangan saat pembahasan APBA tahun 2018 makin buntu, tensi antara DPRA dan Pemerintah Aceh kembali memanas. Keduanya saling berbalas pantun di media cetak, daring, sampai media sosial. Tak terkecuali Wiratmadinata. Dalam satu status Facebooknya, juru bicara Pemerintah Aceh ini terlibat bersitegang secara verbal dengan seorang pemimpin media lokal, hanya karena tak berkenan dengan judul berita media tersebut.

Posisinya sebagai juru bicara juga disebut-sebut sering melampaui wewenangnya sendiri. Sejumlah pihak menilai urusan lobi-melobi bukanlah tugas juru bicara. Peran juru bicara cukup pada penyampaian sikap resmi pemerintah mengenai segmentasi isu tertentu, itu pun setelah disetujui oleh pemerintah.

Rabu (7/2) pekan lalu, Wiratmadinata mengalami insiden tak enak. Pasalnya, ia kabarnya diusir dari ruang Badan Anggaran DPR Aceh saat rapat membahas APBA 2018 bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Kala itu, Wira datang sebagai bagian dari TAPA. Namun, di tengah pembahasan, seorang anggota Banggar memintanya keluar, merujuk pada tata tertib yang menjelaskan siapa saja peserta rapat hari itu.

Banggar menegaskan bahwa Wira tidak termasuk dalam sembilan orang yang direkomendasikan dalam surat Gubernur untuk hadir di rapat itu. Pihaknya lantas mempertanyakan legalitas Wira. Rapat yang sejatinya berlangsung secara tertutup itu akhirnya menyilakan Wira untuk keluar ruangan.

CABUT USULAN

Tak berhenti sampai di situ, berikutnya adalah tentang usulan dana operasional juru bicara Pemerintah Aceh. Sebuah surat bocor ke tengah-tengah publik. Salah satunya paling menyedot perhatian ialah usulan dana operasional sebesar Rp1 juta/hari untuk masing-masing jubir.

Wiratmadinata (FOTO:mercinews)

Menuai protes, Wira keburu meluruskannya. Berulang kali ia menyatakan bahwa permohanan operasional itu baru sebatas usulan. “Belum tentu disetujui,” ujar dia. Namun apa mau dikata, kritik terus mengalir, tak bisa dibendung. Puncaknya, Jumat (9/2) juru bicara Pemerintah Aceh dalam sebuah rilis mengumumkan bahwa usulan kebutuhan operasional itu telah dicabut.

“Sehubungan dengan beredarnya surat usulan fasilitas dinas operasional Juru Bicara Pemerintah Aceh di sosial media (facebook) dan bahkan kemudian diberitakan oleh sejumlah media massa online, maka dapat kami sampaikan sebagai-berikut,” tulisnya di awal pernyataan.

Di poin pertama, pihaknya menjelaskan bahwa juru bicara Pemerintah Aceh bertugas untuk menyampaikan informasi secara langsung maupun melalui media atau sarana informasi lainnya kepada masyarakat. Tugas tersebut dilakukan melalui pelbagai metode, antara lain, menjalin hubugan silaturahmi dengan mitra kerja utama dan pelbagai komponen masyarakat lainnya (stakeholders), agar proses komunikasi berlangsung dengan baik.

“Juru bicara dalam suatu forum, baik forum formal maupun non formal, acap dipersepsikan sebagai wakil lembaga/Pemerintah Aceh, maka dinilai tidak pantas dan negatif apabila tidak mengeluarkan biaya makan-minum secukupnya,” tulisnya.

Maka, berdasarkan pengalaman kehumasan dan pengeluaran atas kebutuhan nyata seperti itu—termasuk selama bertugas sebagai juru bicara—maka biaya komunikasi dengan stakeholders sebesar Rp1 juta/hari atau total Rp750 juta mereka usul untuk dialokasikan dalam anggaran tahun 2018. Biaya komunikasi dengan stakeholders yang diusulkan itu, sebut jubir, masih sebatas usulan.

“Diharapkan dapat dialokasikan dalam anggaran belanja Biro Humas Setda Aceh dengan ketentuan; bila tersedia anggaran, bisa dialokasikan, dan dapat dibelanjakan, sesuai ketentuan perundang-undangan dalam pengelolaan anggaran daerah,” sambungnya.

Di poin ke enam, juru bicara Pemerintah Aceh menjelaskan bahwa biaya yang mereka usulkan berupa besaran alokasi (plafon) dalam bentuk program kegiatan Biro Humas Setda Aceh.

“Apabila usulan tersebut tertampung maka mekanisme penggunaannya akan dilakukan sesuai kebutuhan (at cost) dan pengeluarannya dilakukan sesuai mekanisme dan ketentuan pengelolaan anggaran pada Biro Humas Setda Aceh,” katanya.

Mereka juga menegaskan, biaya yang diusulkan itu untuk dialokasikan dalam bentuk anggaran belanja Biro Humas Setda Aceh. “Sama sekali bukan untuk diambil, dipegang, atau dikelola oleh juru bicara,” ungkapnya.

Apabila usulan biaya operasional silaturahmi dan komunikasi juru bicara dengan stakeholders tersebut dinilai tidak pantas dan bertentangan nilai-nilai kepatutan, maka pihaknya akan segera mencabut kembali usulan tersebut.

“Tugas-tugas juru bicara akan tetap kami jalankan sesuai kepercayaan dan mandat yang diberikan oleh Bapak Gubernur Aceh, meski dengan fasilitas seadanya (kenderaan, alat kerja, dan uang pribadi), seperti yang kami jalankan selama ini,” sambung jubir dalam rilis tersebut.

Di bagian akhir rilis, terdapat beberapa ungkapan yang tampak menyindir,“Bahkan kami mengucapkan terima kasih kepada oknum-oknum yang telah membantu menyebarluaskan surat usulan tersebut kepada masyarakat, sehingga masyarakat teredukasi dan menjadi maklum bahwa Juru Bicara Pemerintah Aceh tidak memiliki anggaran khusus dalam menjalankan tugasnya sehari-hari,” katanya.

“Langkah kami sebagai Juru Bicara Pemerintah Aceh pun menjadi semakin ringan karena tak terbebani lagi dengan ‘kewajiban’ membayar kopi, makan, dan minum, saat bertemu mitra kerja utama dan stakeholders lainnya di tempat-tempat umum. Bahkan memaklumi dan dapat memahami bila tidak pernah ada ‘Ucapan Selamat’ atau ‘Ucapan Turut Berduka Cita’, melalui papan bunga maupun melalui media massa, dari Juru Bicara Pemerintah Aceh,” sindirnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Atlet shorinji kempo Aceh Syifa Ataia
Atlet shorinji kempo Aceh Syifa Ataia melakukan selebrasi seusai memenangkan pertandingan pada final shorinji kempo randori perorangan putri kelas >60-65 kg PON XXI Aceh-Sumut 2024 di GOR KONI Aceh, Banda Aceh, Aceh, Kamis (19/9/2024). Atlet shorinji kempo Aceh Syifa Ataia berhasil meraih medali emas sementara atlet shorinji kempo DKI Jakarta Bella Sukma Wardan meraih medali perak. Foto: PM/Oviyandi Emnur

Aceh Raih Dua Emas di Cabor Shorinji Kempo PON XXI Aceh-Sumut 2024